Selama beberapa dekade terakhir, ada sebagian orang asli Papua (OAP) yang lekat dengan citra separatisme, meskipun mereka bukan bagian dari gerakan separatisme. Ini diperparah dengan eksistensi gerakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang kerap dilaporkan melakukan pemberontakan hingga mengakibatkan korban jiwa dari masyarakat sipil dan dari aparat keamanan sendiri.
Tuntutan untuk “merdeka” yang bergaung di tengah masyarakat Papua itu bukan tanpa alasan. Sebab, mereka memiliki memoria passionis, yakni suatu kenangan akan penderitaan khususnya akibat ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, yang traumatis.
Namun, dari hasil observasi antropologis saya selama beberapa waktu terakhir ini terhadap para akademisi, elit politik, birokrat OAP dan masyarakat biasa di Papua dalam menanggapi masa lalu yang menyakitkan ini, terlihat ada nuansa baru.
Alih-alih termakan oleh trauma, mereka secara strategis mengubah mentalitasnya dari “korban” menjadi “agen perubahan” yang berfokus untuk memajukan masyarakat Papua, serta menjadi lebih realistis dan terbuka terhadap pemerintah Indonesia.
Para OAP kini bersikap lebih konformis dan berupaya memperkuat identitas kepapuaan mereka dengan cara mempromosikan kesenian, bahasa, dan olahraga Papua, serta mengembangkan wirausaha ekonomi. Mereka juga mendidik generasi penerus dan membentuk kepemimpinan dari dalam masyarakat Papua. Ini semua menjadi “strategi” baru yang digunakan oleh OAP yang dulunya dianggap sebagai kelompok tertindas.
Bagi OAP, pergeseran ini tidak sepenuhnya meniadakan aspirasi untuk merdeka. Terutama jika memoria passionis ini semakin parah, misalnya ketika pelanggaran HAM terus terjadi, keadilan minim dan diskriminasi terus berlanjut. Namun, setidaknya OAP kini berusaha maju melalui usaha mereka sendiri dan menerima realitas sosial politik yang ada sambil tetap mengadvokasi pengakuan eksistensi OAP yang telah lama diabaikan.
Berikut tiga hal tentang perubahan sikap OAP dalam upaya mendapat pengakuan dan penghormatan dalam ‘bingkai’ NKRI:
1. Menjadi lebih konformis
Walau gerakan separatisme terus berlanjut, beberapa OAP membangun agenda strategis baru melalui sikap yang konformis. Secara diskursif, konformitas adalah kesadaran kolektif pada sikap seseorang untuk mengubah perilaku agar sesuai dengan aturan dan konteks yang ada. Intinya, ada kesadaran kolektif di antara OAP bahwa untuk mencapai kemajuan tidak harus dengan cara konfrontasi terbuka dengan negara atau pemerintah Indonesia.
Ini terjadi karena, dari hasil observasi penulis, khususnya dalam memahami percakapan OAP di media sosial seperti WhatsAap, sebagian besar OAP melihat kemerdekaan sebagai “jalan buntu” karena kuatnya komitmen negara yang menyatakan bahwa Papua sudah final berada di bawah pemerintahan Indonesia. Tuntutan untuk meninjau kembali sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI yang kontroversial juga dipandang sebagai upaya yang sia-sia karena prosesnya sudah dianggap sah dan diakui secara internasional.
Pada fase konformis ini, berdasarkan observasi saya, OAP melihat sikap konfrontatif pada negara sangat menguras tenaga dan pikiran serta berdampak negatif pada kohesi sosial mereka.
Dari aspek kognitif, OAP kini lebih rasional dan realistis dalam melihat situasi. Mereka mulai mengkritik rekan-rekannya yang berperilaku menyimpang, seperti calon anggota legislatif yang menipu dan menghasut masyarakat atau yang suka mabuk-mabukan. Mereka juga mulai menyuarakan kritik terhadap kelompok separatis yang melakukan penculikan terhadap pilot Susi Air dan menentang aksi kekerasan yang dilakukannya. Hal ini terlihat dengan “tawaran” dari tokoh gereja di Papua untuk membantu membebaskan pilot Susi Air tersebut.
Bahkan, sebagian OAP termasuk dari anggota DPD Papua juga mulai menaruh harapan kepada aparat keamanan untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban. Hal ini menarik karena selama ini terjadi antipati antara OAP dengan aparat keamanan.
Terlepas dari sikap konformis yang dinamis ini, perilaku OAP tersebut tetap didasarkan pada memoria passionis yang belum terselesaikan. OAP masih berpotensi menjadi kelompok masyarakat yang subversif atau suatu sikap politik yang menyimpang untuk melawan penindasan. Ini karena pada dasarnya mereka tetap memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan pengakuan atas hak-haknya. Sikap subversif akan terus ada selama eksistensi mereka “direndahkan” oleh perlakuan negara.
2. Identitas sebagai kekuatan
Dari hasil observasi saya, para OAP mulai gencar memperkuat identitas mereka dalam berbagai dimensi. Ini mereka lakukan tidak serta merta untuk melawan memoria passionis, tetapi lebih sebagai alat perjuangan untuk memajukan dan membangun pengakuan terhadap OAP yang telah terpinggirkan sekian lama.
Dalam konteks ini, pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas OAP. Saat ini, semakin banyak OAP disekolahkan di luar negeri atau di kampus lain di luar Papua. Semakin banyak juga OAP yang meraih gelar master dan doktor. Sebagai contohnya adalah Kenius Kogoya, Ketua KONI Papua yang berhasil meraih gelar doktor bidang Antropologi dari Universitas Cendrawasih. Kampus-kampus baru juga mulai banyak didirikan di Papua.
Selain itu, kesenian dalam bentuk tarian, film, dan musik misalnya, dalam film berjudul Orpa dan Indonesia dari Timur adalah contoh dari penguatan identitas kepapuaan. Festival Budaya Papua 2024 di Biak dan Deklarasi 46 bahasa daerah di Provinsi Pegunungan Papua, misalnya, diselenggarakan untuk memahami akar bahasa sebagai alat pemberdayaan untuk mencapai masa depan.
Di bidang pariwisata, keindahan alam Papua dipromosikan melalui berbagai paket wisata. Prestasi di bidang olahraga seperti sepak bola juga memperkuat identitas kepapuaan. Perempuan asli Papua yang selama ini sering dirundung mulai disorot melalui kompetisi kecantikan. Di bidang kesehatan, OAP didorong untuk menjadi tenaga medis.
Di semua dimensi ini, menghidupkan kembali dan memproyeksikan identitas Papua yang beraneka ragam dengan penuh percaya diri memiliki dua tujuan. Pertama, menanamkan kebanggaan secara internal di antara OAP sendiri. Kedua, menuntut pengakuan dan penghormatan dari dunia luar. Penguatan identitas merupakan bagian dari pemberdayaan dan penyeimbang terhadap narasi memoria passionis yang traumatis.
3. Ambisi kepemimpinan
Hal yang paling signifikan di bidang politik, berdasarkan observasi saya, adalah ambisi yang makin kuat bagi OAP untuk menjadi pemimpin level pemerintahan.
Mereka punya keinginan kuat untuk terlibat dalam politik praktis, termasuk memegang kepemimpinan di Papua, baik di tingkat eksekutif maupun legislatif. Sejak diterapkannya Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan tambahan empat provinsi baru, OAP semakin menuntut hak-haknya untuk menjadi pemimpin.
Peraturan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus telah memperkuat kebijakan afirmatif untuk kepemimpinan OAP, khususnya di legislatif. Salah satu muatan dalam Otonomi Khusus tersebut adalah kebijakan afirmasi di sektor politik. UU No. 2 Tahun 2021 memperbolehkan orang asli Papua (OAP) untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) melalui mekanisme pengangkatan.
Dimensi kepemimpinan ini sangat penting untuk diperjuangkan demi kemajuan di Papua. Hal ini ditunjukkan oleh kepemimpinan Velix Wanggai sebagai Penjabat Gubernur Papua Pegunungan yang dicintai dan dipuji karena sikapnya yang responsif terhadap kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakat setempat.
Wanggai dinilai telah memimpin Papua dengan hati. Wanggai awalnya ditentang oleh beberapa orang setempat karena dianggap bukan berasal dari daerah Papua Pegunungan. Sikap antipati tersebut akhirnya memudar setelah melihat kinerja Wanggai.
Namun, meski masyarakat asli Papua dapat menerima pemimpin dengan identitas yang berbeda, bukan berarti aspek primordialisme (nilai-nilai yang dipegang erat suatu kelompok) menjadi melemah.
Jika ada pemimpin di sana, khususnya yang non-OAP, lalu “gagal”, etno-fanatisme atau fanatik kesukuan akan kembali muncul untuk mendorong OAP menuntut dan mengambil posisi kepemimpinan di Papua. Faktor identitas akan dengan mudah dimainkan.
Pentingnya dukungan negara
Pada akhirnya, waktu dan keadaan yang akan menentukan pilihan dan sikap OAP untuk terus memperjuangkan kemerdekaan mereka sendiri atau tetap dalam kesatuan Republik Indonesia. Meskipun hal ini menjadi pilihan pribadi masing-masing individu, negara memiliki peran penting dalam membangun sikap yang mendukung atau justru mendistorsi pilihan orang asli Papua tersebut.
Sebagai contoh, jika negara mempertahankan perilaku yang tidak adil atau kekerasan, maka hal tersebut akan mendistorsi pilihan orang asli Papua untuk menjadi bagian dari NKRI dan akan menyuburkan perjuangan untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh aparat TNI dan menimpa tiga OAP di Kabupaten Puncak yang dituduh menjadi anggota TPNPB dan videonya sempat viral jelas akan menyuburkan sikap subversif ini.
Pemerintah justru harus membuka lebih banyak kesempatan untuk mengakomodasi kemajuan yang telah dicapai oleh OAP ini. Tidak kalah penting, negara harus memastikan bahwa memoria passionis yang dialami OAP tidak menjadi semakin kronis dan terus berupaya untuk menyelesaikan akar permasalahannya. Termasuk di dalamnya kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM.
Selain itu, untuk dapat mewujudkan kepemimpinan yang baik diperlukan upaya serius untuk memperbaiki proses pemilu dengan meningkatkan kapasitas aparat serta memperkuat penegakan hukum, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang berpotensi menimbulkan konflik. Jangan lupa bahwa penguatan identitas kepapuaan yang didukung oleh kepemimpinan yang baik merupakan modalitas untuk mewujudkan Papua yang lebih adil dan makmur.