Indonesia berkomitmen mengurangi 100% emisi karbonnya pada 2060, sebuah target yang bahkan baru-baru ini Presiden Joko Widodo usulkan untuk dicapai lebih cepat.
Usaha pemenuhan target berdampak terhadap industri minyak dan gas (migas) nasional. Saat ini sektor migas memasok sebesar 43% dari total kebutuhan/kapasitas energi dan 17% khusus untuk kelistrikan Indonesia. Peningkatan kebutuhan produksi listrik juga mendorong Indonesia untuk mencari solusi inovatif dalam merancang peta jalan bauran energinya di masa depan.
Per 2021 lalu, emisi dari sektor migas untuk pembakaran mencapai 271 juta ton CO2, yang mencakup hampir separuh dari total emisi pembakaran bahan bakar. Sektor ini juga menghasilkan emisi sebesar 38 juta ton CO2–setara 16% dari total emisi pembangkitan listrik.
Untuk mencapai emisi nol bersih, Indonesia bersama Badan Energi Internasional (IEA) meluncurkan peta jalan untuk sektor energi, serta berencana menerbitkan revisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagai pedoman hukumnya. Dalam RUEN, industri migas berperan aktif dalam transisi energi dengan melakukan perubahan strategi bisnis. Ini mencakup peningkatan efisiensi energi, penggunaan sumber energi baru dan terbarukan, dan peralihan teknologi bahan bakar fosil.
Jadi, bagaimana cara industri migas bisa menjadi lebih bersih dan berkelanjutan dengan menggunakan teknologi yang diterapkan selama ini?
Menangkap hingga memanfaatkan karbon
Untuk mengurangi emisi karbon, industri migas di Indonesia dapat menggunakan teknologi penangkapan, penyimpanan, hingga pemanfaatan karbon (Carbon Capture/Utilization and Storage (CCS/CCUS)). Teknologi ini dapat menangkap karbon dioksida (CO2) yang terlepas ke udara akibat proses ekstraksi, pengolahan, dan pembakaran migas.
Setelah ditangkap, karbon kemudian disimpan di bawah permukaan tanah, tepatnya di lapisan terpendamnya minyak/gas (reservoir) dan saline aquifer (lapisan bawah tanah yang mengandung air berkadar garam tinggi), guna mencegahnya terlepas ke atmosfer. Karbon juga dapat dimanfaatkan kembali untuk memproduksi migas lebih banyak melalui metode Enhanced Oil Recovery (EOR) dan Enhanced Gas Recovery (EGR).
Sebagai pijakan, Indonesia sudah memiliki Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2023 yang mengatur penyelenggaraan CCS/CCUS. Penerbitan aturan ini sekaligus menjadi regulasi CCS/CCUS pertama di Asia Tenggara.
Menurut IEA, teknologi CCS/CCUS dapat meredam 190 juta ton karbon per tahun pada 2060. Saat ini, Indonesia telah memiliki 16 proyek CCS/CCUS. Beberapa di antaranya sedang dalam tahap studi dan persiapan.
Ada pula proyek percobaan CCS/CCUS untuk dioperasikan sebelum 2030. Kebanyakan proyek berada di blok migas yang dikelola PT Pertamina (Persero).
Meski potensi pengurangan emisinya besar, tantangan dalam proyek CCS/CCUS juga tidak kecil. Misalnya, biaya operasional untuk menangkap dan mengangkut CO2 cukup tinggi, berkisar di antara US$20-200 (Rp325.000-Rp3,25 juta) per ton CO2 berdasarkan aplikasi, volume, sumber, dan jarak angkut. Maka dari itu, pemerintah perlu menerapkan ketentuan mengenai pajak karbon dan penebusan karbon carbon offset agar memicu lebih banyak kontraktor migas menangkap karbon hingga memanfaatkannya di ladang mereka.
Memproduksi hidrogen biru
Hidrogen dalam peta jalan energi bebas emisi versi IEA menjadi sorotan utama dalam upaya global menuju energi bersih dan berkelanjutan. Sebab, hidrogen dapat menghasilkan lebih banyak energi tanpa emisi karbon. Selain tidak adanya emisi langsung CO2, hidrogen juga menjadi bahan bakar untuk transportasi, pembangkit listrik, dan sarana penyimpan energi dengan densitas yang tinggi.
Di Indonesia, PT PLN sedang menggarap proyek hidrogen hijau yang dibuat dari proses elektrolisis atau menyetrum air dengan energi terbarukan.
Industri migas memang tidak bisa membuat hidrogen hijau. Namun, sumber daya migas masih bisa dimanfaatkan untuk membuat hidrogen biru. Hidrogen jenis ini diproduksi dengan energi gas alam yang dilengkapi teknologi CCS/CCUS. Dua raksasa migas yaitu Chevron dari Amerika Serikat dan ADNOC dari Uni Emirat Arab sudah memulai proyek hidrogen biru.
Meskipun konsumsi hidrogen di Indonesia pada 2023 mencapai 1,75 juta ton per tahun, penggunaannya masih terbatas pada sektor industri pupuk, amonia, dan kilang minyak. Pada 2060, kebutuhan hidrogen tahunan Indonesia dapat meningkat hingga 18 kali lipat, dengan penggunaan energi terbarukan sebagai bahan bakunya.
Produksi hidrogen juga memerlukan biaya produksi yang tinggi, memakan biaya sekitar US$4-7 per kg. Proses pengangkutan hidrogen dari fasilitas produksi ke konsumen akhir juga menjadi tantangan tersendiri.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan dan regulasi yang mendukung pengembangan hidrogen dan energi terbarukan. Namun, kebijakan insentif agar hidrogen lebih digunakan secara massal untuk beragam sektor juga perlu disediakan.
Memproduksi panas bumi
Di Indonesia, pemanfaatan energi panas bumi atau geotermal mungkin dapat menjadi opsi paling menarik untuk transisi ramah lingkungan industri migas. Sebagai negara yang berada di daerah cincin api, Indonesia memiliki cadangan energi geotermal terbesar di dunia.
Pemanfaatan energi geotermal dapat dilakukan dengan cara mengonversi energi panas yang diekstrak melalui sumur-sumur geotermal menjadi energi listrik. Perusahaan migas seperti Pertamina dan Medco Energy pun memanfaatkan energi geotermal.
Untuk berpindah lini usaha ke panas bumi, industri migas dapat beradaptasi lebih cepat. Sebab, industri migas dan panas bumi memiliki kemiripan teknologi dan faktor resiko. Keduanya memiliki metode pencarian dan eksploitasi sumber daya yang serupa, karena sama-sama mengandalkan pengetahuan geologi bawah tanah.
Selain di wilayah kerja panas bumi, kontraktor migas juga dapat melakukan studi kelayakan pemanfaatan kembali sumur-sumur migas tua atau tidak produktif menjadi sumur geotermal. Pemanfaatan sumur-sumur bekas migas ini dapat meredam biaya terutama untuk proses pengeboran.
Studi dapat mempelajari kelayakan lokasi hingga profil temperatur sumur agar menghasilkan energi yang diinginkan. Saat ini, Departemen Energi Amerika Serikat sedang melakukan studi senada melalui proyek Wells of Opportunity.
Selain itu, energi geotermal pun berpotensi untuk memproduksi hidrogen hijau. Di Indonesia, studi kelayakan sudah dipelopori oleh PT Pertamina Power Indonesia—anak usaha Pertamina—bersama Tokyo Electric Power Company (TEPCO) dan Yamanashi Hydrogen Company (YHC). Proyek ini bertujuan untuk memanfaatkan surplus listrik dan panas buangan dari pembangkit energi geotermal untuk memproduksi hidrogen secara efisien.
Integrasi teknologi
Dengan segala sumber daya yang dimiliki, industri migas dapat melakukan berbagai terobosan dengan mengintegrasikan teknologi baru dan terbarukan untuk berperan dalam transisi ke kondisi bebas emisi.
Misalnya, selain kombinasi dengan energi hidrogen, penangkapan karbon dapat diselaraskan dengan energi geotermal untuk menghasilkan listrik melalui teknologi CO2-plume geothermal (CPG). Teknologi ini menginjeksikan CO2 yang ditangkap ke dalam reservoir bawah tanah. CO2 kemudian dipanaskan oleh energi geotermal untuk menghasilkan listrik. Proses injeksi dan ekstraksi CO2 berlangsung di dalam tanah secara tertutup (closed-loop) sehingga nantinya karbon akan disimpan secara permanen di reservoir.
Saat ini, pengembangan teknologi CPG dipimpin oleh kampus ETH Zurich bersama dengan beberapa lembaga lainnya dan pilot project akan segera dibangun.
Integrasi antara energi baru dan terbarukan ini tidak hanya mendukung pencapaian target emisi nol karbon, tetapi juga membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Migas di masa depan
Seiring dengan peningkatan kesadaran akan dampak lingkungan, inovasi teknologi terbarukan, dan target emisi nol bersih pada 2060, pelaku industri migas harus beradaptasi menyongsong transisi energi di Indonesia.
Dengan memperhatikan empat aspek tersebut, pelaku industri migas dapat melakukan transisi ke arah energi terbarukan dengan tetap memanfaatkan keterampilan dan teknologi yang sudah dimiliki. Harapannya, peralihan dari aktivitas migas ke berbagai kegiatan ramah lingkungan dapat berjalan lancar sambil tetap mempertahankan kemajuan ekonomi.
Dengan demikian, Indonesia tidak hanya dapat memenuhi komitmen internasionalnya dalam mengurangi emisi karbon, tetapi juga meningkatkan ketahanan dan keberagaman sumber energinya.