Dalam publikasinya tahun 2022, International Council on Monuments and Sites (ICOMOS), asosiasi profesional untuk konservasi tempat warisan budaya di seluruh dunia, menyatakan bahwa tradisi budaya dan pengetahuan lokal berpengaruh penting dalam upaya meredam dan menanggulangi dampak perubahan iklim.
Di satu sisi, perubahan iklim dapat mengancam kelestarian tradisi dan warisan budaya melalui berbagai kerusakan fisik dan tekanan pada praktik budaya. Namun, di sisi lain, tradisi dan warisan budaya juga menjadi kunci untuk mengatasi perubahan iklim.
Pengetahuan ekologi tradisional yang hidup dalam masyarakat pada umumnya diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan ekologi tradisional ini mencakup pengetahuan mengenai pengelolaan sumber daya alam, metode pertanian, pengelolaan hutan, dan penggunaan sumber daya air.
Pengetahuan ekologi tradisional sebagai bagian dari objek warisan budaya dapat mendukung upaya-upaya meredam dan menanggulangi dampak perubahan iklim. Sebab, menurut UNESCO, perlu ada sinergi dan kolaborasi antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern dalam upaya-upaya tersebut. Seperti contohnya, melalui wayang kulit Kedu.
Mengenal wayang kulit Kedu
Sejak tahun 2003, UNESCO mengakui wayang kulit sebagai warisan budaya tak benda dan budaya lisan. Wayang kulit Kedu merupakan salah satu gagrak (gaya) dalam wayang kulit purwa.
Wayang kulit purwa merupakan bentuk awal dari wayang kulit yang kemudian berkembang menjadi berbagai gagrak atau gaya, kata “purwa” memiliki makna yakni “awal”.
Wayang kulit Kedu berkembang di bekas wilayah Karesidenan Kedu yang meliputi Temanggung, Wonosobo, Magelang, Kebumen dan Purworejo. Gagrak wayang ini lebih dikenal sebagai wayang yang digunakan untuk pertunjukan ruwatan bersih desa dan diperkirakan telah memiliki sejarah panjang sejak masa Kerajaan Mataram Islam.
Pengetahuan agraris dan ekologis dalam wayang kulit Kedu
Dibandingkan gagrak wayang kulit purwa lainnya di Jawa, wayang kulit Kedu menonjol dengan unsur lingkungan budaya agraris serta pengetahuan ekologis.
Asal-usul karakter dan lakon dalam wayang kulit Kedu berasal dari kekayaan tradisi budaya agraris yang telah lama hidup dan berkembang di sekitar wilayah eks Karesidenan Kedu.
Wayang kulit Kedu tidak sekadar menyadur cerita dari epos Mahabharata (kisah keluarga Bharata karangan Vyasa) dan Ramayana (epos tentang kepahlawanan Ramawijaya karangan Walmiki) yang telah berkembang di Jawa sejak masa Hindu-Buddha. Wayang ini menampilkan juga karakter dan cerita-cerita rakyat yang erat kaitannya dengan kehidupan agraris masyarakat di wilayah Kedu. Beberapa di antaranya seperti pengusiran wabah atau pagebluk, permohonan keselamatan untuk memulai musim tanam, dan pembangunan sarana irigasi. Ada juga cerita yang terkait upaya pemuliaan tanah dan tanaman, perawatan hewan ternak, pengusiran hama penganggu, perhitungan pranata mangsa, serta doa dan upacara untuk keberkahan panen.
Cerita-cerita ini tidak hanya mencerminkan kekayaan budaya lokal masyarakat Kedu, tetapi juga menegaskan peran penting wayang kulit Kedu dalam melestarikan dan komunikasi pengetahuan, nilai, dan praktik tata kelola ekologi yang berkelanjutan kepada generasi berikutnya.
Salah satu karakteristik unik dari pertunjukan wayang kulit Kedu adalah kemunculan karakter dan lakon yang terinspirasi langsung dari kehidupan agraris, seperti misalnya lakon Prabu Putut Jantaka. Lakon ini menggambarkan perjuangan masyarakat melawan hama yang menyerang lahan pertanian, sebuah tema yang sangat relevan dengan realitas kehidupan masyarakat agraris. Cerita ini mengandung pesan edukatif tentang pengelolaan lahan dan penentuan siklus tanam untuk menghindari atau mengurangi serangan hama yang dapat merusak hasil panen.
Cerita utama lainnya dalam wayang kulit Kedu adalah lakon Makukuhan yang menyajikan narasi yang kaya akan nilai-nilai pengelolaan lingkungan dan budidaya padi. Ini mencerminkan hubungan erat antara manusia dan alam dalam konteks budaya agraris.
Kisah ini berpusat pada Ki Ageng Makukuhan, atau Ki Ageng Kedu, dan istrinya, yang merupakan sosok penting dalam tradisi pertanian di wilayah Kedu. Menariknya, Ki Ageng Kedu dan istrinya dipercaya sebagai jelmaan Batara Wisnu, dewa tertinggi dalam kepercayaan masyarakat Jawa era Hindu-Buddha, dan Dewi Sri, dewi kesuburan dan padi. Dalam lakon tersebut, Ki Ageng Makukuhan dan istrinya memberikan edukasi tentang teknik dan nilai budaya dalam penanaman dan perawatan tata kelola pertanian kepada masyarakat.
Wayang kulit Kedu dan penanggulangan dampak perubahan iklim
Wayang kulit Kedu dengan akar tradisi budaya agrarisnya yang kental, menawarkan medium yang unik untuk pelestarian lingkungan dan edukasi tentang upaya meredam dan menanggulangi dampak perubahan iklim saat ini.
Melalui lakon-lakon yang menggambarkan interaksi antara manusia dan alam, wayang kulit Kedu tidak hanya mempertahankan relevansi budaya tetapi juga berfungsi sebagai sarana edukasi ekologis yang efektif.
Cerita-cerita dalam pertunjukan wayang kulit Kedu juga kaya akan pengetahuan tradisional tentang siklus tanam, pemuliaan benih padi dan tanaman pangan, pemberian pupuk alami, pengelolaan lahan, dan tata kelola irigasi. Ini menjadi sangat penting di tengah iklim yang berubah, ketika praktik pertanian berkelanjutan dan pemahaman tentang ekosistem menjadi kunci untuk menghadapi perubahan lingkungan.
Dengan kekuatan cerita tersebut, peran dan fungsi wayang kulit Kedu dapat berkembang menjadi lebih dari sekadar sarana ruwatan dan hiburan tradisional. Wayang kulit Kedu dapat menjadi medium penting untuk menyampaikan pesan tentang upaya meredam dan menanggulangi dampak perubahan iklim berdasarkan pengalaman budaya dan pengetahuan tradisional yang telah ada dan masih hidup di masyarakat.
Sayangnya, wayang kulit Kedu saat ini sedang berada di ambang kepunahan. Situasi ini membutuhkan peran pegiat seni bersama pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) dalam merangsang geliat wayang Kedu dengan tujuan pelestarian lingkungan.
Melalui narasi dan simbolisme yang kaya dengan relasi antara manusia dan alam, pertunjukan wayang kulit Kedu dapat memvisualisasikan konsep-konsep abstrak perubahan iklim menjadi cerita yang mudah dipahami oleh masyarakat luas. Lakon-lakon yang memperlihatkan interaksi antara manusia dengan alam, serta tantangan-tantangan yang dihadapi, dapat diinterpretasikan ulang untuk mencerminkan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan sehari-hari seperti kerusakan ekosistem, kegagalan panen, anomali cuaca, dan semakin berkurangnya keanekaragaman hayati.
Artikel ini juga mendapatkan saran dan masukan dari Indra Fibiona, pamong budaya ahli sejarah dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah Yogyakarta. Tim penulis mengucapkan terima kasih atas kontribusi pemikiran yang diberikan.