- Strategi konservasi hutan tak hanya skema negara seperti Perhutanan Sosial.Warga Bali memiliki cara unik konservasi tanaman endemik dalam bentuk hutan Yadnya.
- Hutan Yadnya adalah hutan yang berisi aneka tumbuhan yang dilestarikan karena fungsinya yang sangat krusial dalam ritual agama dan adat istiadat.
- Hutan Yadnya di Desa Adat Padangtegal, Ubud, dibuat untuk memenuhi kebutuhan sarana ritual yang biasanya sulit didapat karena tanamannya jenis endemik, tumbuh khas di suatu tempat, dan mulai langka.
- Hutan Yadnya ini sudah lebat dengan lebih dari 200 jenis tanaman untuk kebutuhan yadnya, bisa diakses warga dengan gratis. Baik warga desa setempat atau luar desa.
Warga Bali memiliki cara unik konservasi tanaman endemik dalam bentuk hutan Yadnya. Inilah hutan, berisi aneka tumbuhan yang dilestarikan karena fungsinya yang sangat krusial dalam ritual agama dan adat istiadat.
Yadnya artinya persembahan tulus ikhlas. Biasanya dalam bentuk dasar seperti puspam (bunga/daun), pujam (mantra/doa), dan tirtam (air). Desa Adat Padangtegal, Ubud, membuat Hutan Yadnya selama beberapa tahun ini untuk memenuhi kebutuhan sarana ritual yang biasanya sulit didapat karena tanamannya jenis endemik, tumbuh khas di suatu tempat, dan mulai langka.
Uniknya, hutan ini walau dibuat di lahan desa adat Padangtegal, namun terbuka bagi warga luar desa. Syaratnya tak sulit, menghaturkan canang (sesajen dari ketiga unsur dasar itu).
“Warga luar banyak yang mencari ke hutan ini. Cukup menghaturkan canang saja di tempat suci di sini,” ujar Made Karsana, salah satu warga yang menjaga. Ia menjaga bergiliran bersama 11 warga lainnya, tiap hari ada 2 orang.
Hutan buatan di lahan 48 are ini kini sudah rindang dengan koleksi lebih 200 jenis tanaman. Namun, menurutnya baru bisa memenuhi sekitar 70% kebutuhan sarana yadnya seperti ritual pernikahan, kematian, dan lainnya.
Baca : Memantau Tutupan Hutan Bali, Mencegah Bencana Terulang Lagi
Karsana mencontohkan buah utu, belum bisa ditanam di hutan ini karena cuaca dan kondisi tanah tidak cocok. Tak heran, ketika memerlukan dalam jumlah besar, misal saat ritual Ngaben (kremasi), ia dan rekannya mencari ke sejumlah kabupaten. Seperti Kabupaten Tabanan dan Karangasem.
Tanaman lain yang harus dicari di luar desa lainnya adalah Padang Kasna, buah Kamiloko di Pulaki, Kabupaten Buleleng, dan lainnya. “Sebulan sebelum upacara, kami sudah keliling, lokasi tanaman berdasar informasi teman. Harus tetap punya relasi,” ujarnya. Termasuk barter atau minta ke hutan desa lain.
Pada tengah April 2024 lalu, ia sibuk memenuhi kebutuhan sarana upacara dengan mengelilingi hutan. Di tangannya nampak buah bunga aren. Tanaman lain yang sudah dikumpulkan di antaranya duwi-duwi, kelor, kem, tebu ratu, sembung, gegirang, dan lainnya. Wajahnya penuh peluh, tangannya dihinggapi semut usai mengumpulkan aneka daun dan buah itu.
Setiap tanaman atau buah memiliki makna dan khasiat sendiri. Untuk memudahkan pencarian, ia mencatat nama-anama tanaman dan dikelompokkan dalam kebutuhan sarana yadnya. Sarana yang dipakai tidak sama untuk setiap desa, walau ritualnya sama karena upacara di Bali menganut prinsip Desa, Kala, Patra, sesuai ruang dan waktu. Atau Desa Mawa Cara, tiap desa memiliki keyakinannya sendiri.
Prinsip ini yang cenderung membuat keberlanjutan keanekeragaman biodiversitas karena mendorong hetergonitas serta perputaran ritual. Masih memberikan waktu bagi tanaman untuk berkembang, menumbuhkan buah atau daunnya. Walau di sisi lain, transaksi sarana yadnya dengan mendatangkan dari luar pulau dan luar negeri makin jamak kini.
Karsana menunjukkan sebuah buku besar berisi catatan sarana yadnya dan jenis tanamannya ini. Sudah usang, ada yang robek, atau tinta pulpennya mulai luntur. “Saya berharap ada mahasiswa yang buat penanda nama tanaman dan jenis yadnyanya di hutan ini,” harapnya.
Baca juga : Asa Masyarakat Adat Batui Kembalikan Kelestarian Hutan Bakiriang
Dalam buku ini misalnya tertulis untuk kebutuhan Dewa Yadnya, jenis sesajen Pesel-peselan Pula Gembal, terdiri dari daun kayu puring, daun mas, cemara Bali, kayu sugih, dan daun andong. Sesajen Soroan Bebangkit, terdiri dari blangsah (bunga buah), daun bandil/penyalin.
Ada juga sesajen unik, dari biji-bijian atau batu-batu soroan bebangkit, dilengkapi dengan batu jali-jali, biji klagi, biji waluh, biji blego, dan biji pare.
Sedangkan sesajen dari kelompok umbi-umbian atau temu-temu sorohan terdiri dari temu poh, temu agung, temu tis, temu ireng, temu kunci, dan temu lawak. Bahkan ada jenis sesajen dari aneka tebu untuk tebu canang yasa, terdiri dari tebu malem, tebu ratu, tebu arjuna, dan tebu ireng.
Untuk sesajen kelompok sayur atau jangan/jukut suci, terdiri dari daun jepun, kacang, kelongkang, tabia bun, dan daun kara. Paket atau pesel-peselan Soroan Bebangkit terdiri dari daun kayu puring, daun kayu mas, daun cemara, daun kayi sugih, daun kayu andong, blangsah, dan daun bamdil.
Dari contoh catatan tersebut, betapa banyak pengetahuan akan tanaman, fungsi, dan maknanya yang bisa dipelajari di hutan ini. Sayangnya pengunjung awam harus dipandu warga penjaga hutan untuk mengenali nama dan fungsinya dalam yadnya.
Agar hutan ini selalu hidup, ada warga penjaga yang diizinkan memelihara ternak sekaligus merawat hutan setiap hari dari rerumputan dan gulma. Ada seekor sapi dan beberapa bebek di areal hutan ini. Saluran air kecil atau telabah membuah tanah lebih lembab dan subur, dari salurna irigasi sawah sekitar.
Jika memanfaatkan teknologi seperti memotret dan mengecek di Google Lens bisa saja, tapi ada istilah lokal yang tidak terdokumentasikan di direktorinya. Sedangkan untuk yadnya, cenderung menggunakan nama lokalnya.
Baca juga : Ranjuri, Hutan Warisan Pelindung Beka
Kehadiran hutan yadnya ini sangat membantu warga. Hal ini diakui I Made Widana, Bendesa (pimpinan) Desa Adat Taman Kaja di Ubud karena merasa makin kesulitan mendapatkan berbagai sarana ritual. Berbagai tanaman endemik makin sulit ditemukan karena berkurangnya lahan hijau.
Karena itulah konsep hutan tanaman ritual atau Taru Pramana perlu dilestarikan. Ia mengatakan bantuan yang sangat dibutuhkan adalah bibit sejumlah tanaman untuk upacara agama.
“Tiap upacara perlu tanaman untuk sesajen. Inilah bentuk keseimbangan hubungan
manusia dengan Tuhan, antar manusia, dan alam,” katanya. Sejumlah bibit pernah disumbangkan sebuah komunitas dan ditanam di area sumber air desa serta rumah warga yang masih memiliki lahan untuk tanaman besar. Misalnya pohon Bila, Cemara Bali, Sokasati, Nagasari, Kelapa Bulan,
Ancak, dan Pala Bali. Inilah sebagian tanaman yang diperlukan daun atau buahnya untuk berbagai sarana upacara dan makin sulit dicari.
Hutan yadnya juga terlihat dalam hutan desa adat Desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Ada tiga tanaman yang dilindungi di hutan desa yang juga menjadi hutan yadnya ini. Pohon itu adalah kemiri, teep, dan durian. Buah-buahan ini tidak boleh dipetik dari pohonnya, hanya menunggu buah matang yang jatuh. Jika melanggar ada sanksi, denda beras.
Ketiganya memiliki fungsi penting dalam ritual dan keseharian warga. Kemiri misalnya selain bahan rempah penting, juga dipakai untuk melukis daun lontar. Bahkan daun lontar dengan cerita, kalender Bali, dan gambar-gambar pewayangan menjadi suvenir khas bagi turis yang berkunjung ke desa ini. Namun, saat ini beberapa tanaman yadnya juga sulit dicari dan sulit dibudidayakan di tanah desa. (***)