- Warga Desa Wapsalit, Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru, Maluku, mulai terdampak eksplorasi proyek pembangkit panas bumi dengan pengelola, PT Ormat Geothermal (Ormat). Masyarakat merasakan getaran dan ledakan tak jauh dari pemukiman mereka. Pada Agustus tahun lalu, saat perusahaan lakukan pengeboran warga ketakutan dan lari masuk hutan.
- Pengeboran untuk eksplorasi panas bumi ini makin mendapatkan protes warga karena dilakukan di area sakral masyarakat adat di Pulau Buru. Mereka ingin perusahaan meninggalkan lokasi pengeboran. Lokasi sakral ini merupakan kepercayaan Masyarakat Adat Soar Pito Soar Pa atau 7 Soa.
- Deliana Behuku, Direktur SASI Pulau Buru, mengatakan, ada lima lokasi pengungsian warga terdampak eksplorasi panas bumi yakni kawasan Manumpang, Walumuha, Wakoni dan Waplahang Ngade serta Kayeli. Termasuk hutan Wailhukat, dengan 37 jiwa dari tujuh keluarga.
- Yoseph Wael, Kepala Desa Lele, Lolongguba, mengatakan, penolakan geothermal sejak awal, tetapi karena ulah beberapa pihak hingga perusahaan berani beraktivitas. Padahal, seluruh masyarakat pemilik petuanan tidak menginginkan perusahaan masuk.
Puluhan orang terbaring beralas beralas tikar di tengah hutan. Cahaya obor menerangi. Angin malam mendera. Tubuh-tubuh mereka terbaring lemas beralas tikar, setelah seharian mendaki gunung mencari tempat tinggal yang aman.
Mereka adalah warga Desa Wapsalit, Kecamatan Lolongguba, Kabupaten Buru, Maluku. Puluhan orang ini korban proyek panas bumi, PT Ormat Geothermal (Ormat).
Sekitar 37 jiwa ini ketakutan setelah eksplorasi panas bumi di desa mereka.
Dua minggu pada Agustus tahun lalu itu, warga Desa Wapsalit ini menempati tenda-tenda di hutan Walikuhat, Desa Wapsalit, Kecamatan Lolonguba. Mereka takut ledakan dan mengungsi karena lokasi pengeboran panas bumi sangat dekat dengan pemukiman. Titik sumur pengeboran diperkirakan 700 meter.
Saat Mongabay ke lokasi pengungsian, kondisi warga miris. Orang tua, bahkan lansia, pemuda, anak dan balita terpaksa mendiami tenda-tenda beralas tikar. Kebanyakan mereka yang mengungsi memiliki ikatan darah, atau punya hubungan kekerabatan satu dan lain.
Pengungsian berjarak 10 km dari kampung dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Harus melintasi hutan, semak belukar, rumpun bambu, menyeberangi sungai yang dalamnya mencapai paha orang dewasa.
Sesampai di tenda, warga terlihat curiga dan was-was. Mereka menjaga jarak. Mereka khawatir tertipu orang asing. Suasana jadi cair setelah kami mengenalkan diri.
Lukas Wael, warga yang mengungsi cerita, keberadaan mereka di hutan karena terusik pengeboran Ormat.
Eksplorasi awal perusahaan saja, katanya, sudah mengusik sendi-sendi kehidupan sosial di Desa Wapsalit dan sekitar.
“Masyarakat awam tidak tahu proses pengeboran dan segala risiko karena tidak pernah disosialisasikan. Hingga masyarakat sekitar dibiarkan hidup dalam ketakutan,” katanya.
Mereka ingin Ormat meninggalkan lokasi pengeboran karena wilayah itu meruoakan kawasan sakral adat. Lokasi sakral ini merupakan kepercayaan Masyarakat Adat Soar Pito Soar Pa atau 7 Soa. Empat Soa berada di Dataran Tinggi Petuanan Kayeli yang disebut Titar Pito, dan Air Keramat Waemkedan atau Air Tertua.
Ormat, katanya, harus angkat kaki dari tanah Titar Pito karena lokasi sakral leluhur mereka. “Itu tempat sakral, bukan tempat biasa. Di tempat itu identitas dan cultur Masyarakat Buru Dataran Tinggi” katanya.
Pada pertengahan Juli 2022, di Desa Waepsalit, berlangsung “Sosialisasi dan Ground Breaking.” Sosialisasi mengenai survei pendahuluan dan eksplorasi (PSPE) proyek panas bumi oleh Ormat dengan menggandeng CV. Bumi Namrole, yang ditunjuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Eksplorasi awal di Titar Pito.
Dalam sosialisasi itu tidak dihadiri tokoh-tokoh adat dari Tujuh Soa (Tujuh Marga) Soar Pito Soar Pa Petuanan Kayely.
Masyarakat Adat Buru Soar Pito Soar Pa, dan 24 marga lain di Buru menolak setelah sosialisasi karena Titar Pito merupakan tempat sakral.
Pada 2022 pula, katanya, perusahaan panas bumi beraktivitas. Penggusuran untuk akses jalan kendaran proyek mulai dilakukan. Debu mulai banyak jadi polusi.
Tak hanya itu, akses mereka berkebun untuk memenuhi kebutuhan pangan pun dibatasi. Beberapa titik lokasi ada pos penjagaan. Sebelumnya, masyarakat bebas beraktivitas.
Di pintu utama, katanya, sejumlah aparat TNI-Polri melakukan penjagaan, dibantu sejumlah pemuda mengenakan seragam sekuriti. Di sana juga akses jalan menuju kebun.
Lice Tasane, perempuan Desa Wapsalit menceritakan, kondisi mereka pasca perusahaan masuk memburuk. Perekonomian warga pun terdampak. Saat berada di hutan selama dua pekan lebih, katanya, setiap malam mereka harus menahan dingin.
“Kami takut, jadi kami lebih baik menyingkir ke tengah hutan. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi karena kami tidak diberitahu,” katanya.
Mereka sebagian besar adalah petani atau pekebun. Kehidupan terancam karena lahan masuk areal operasi panas bumi Ormat.
Belum lagi untuk keperluan itu, berbagai keperluan pangan harus dipenuhi selama di pengungsian. Biasa untuk membeli kebutuhan pokok warga harus menempuh 10 kilometer perjalanan dengan berjalan kaki. Kalau ingin membeli keperluan lebih lengkap, mereka harus ke pasar sentral di Kota Namlea, sekitar 64 km.
Saat ini, yang bisa mereka lakukan di pengungsian adalah mengais rezeki dari mengepul daun minyak kayu putih untuk dijual.
“Dua minggu sudah kami menempati tenda pengungsian. Untuk bertahan hidup kami terpaksa mengumpul daun minyak kayu putih untuk disuling untuk dijual. Itu pun kalau laku, kami bisa beli keperluan makan.”
Lice berharap, perusahaan panas bumi ini bisa angkat kaki dari Desa Wapsalit, agar aktivitas mereka kembali normal seperti sediakala.
“Cepat sudah perusahan harus angkat kaki, kami menderita, tiap malam kami harus menahan dingin, karena kami tidur di tenda,” katanya.
Deliana Behuku, Direktur SASI Pulau Buru, mengatakan, ada lima lokasi pengungsian terdampak eksplorasi panas bumi, yakni kawasan Manumpang, Walumuha, Wakoni dan Waplahang Ngade serta Kayeli, termasuk hutan Wailhukat dengan 37 jiwa dari tujuh keluarga.
Di Kayeli, kata Deliana, yang mengungsi warga Dusun Sunderlale karena letak di bawah lokasi pengeboran.
Perempuan yang tetap konsern isu hak adat dan lingkungan ini menerangkan sejak awal eksplorasi sudah dapat penolakan warga.
“Entah kenapa mereka bisa menguasai tanah Adat. Sosialisasi ditolak. Katong punya tanah adat yang perusahaan serobot untuk pembangunan panas bumi. Waktu masuk tidak tahu izin. Sosialisasi pun dong hingga eksplorasi ditolak warga sampai sekarang,” katanya.
Puncaknya, masyarakat adat protes ke perusahan 16 Agustus 2023. Warga minta perusahaan keluar karena aktivitas menyerobot tanah adat.
Agus Nacikit, Sekretaris Desa Wapsalit, mengatakan, tak mau kehadiran pembangkit panas bumi berdampak buruk bagi masyarakat Desa Wapsalit dan anak dusunnya.
Dari awal eksplorasi sudah dapat penolakan warga karena lokasi di kawasan sakral sebagai identitas Masyarakat Adat Soar Pito Soar Pa. Di lokasi itu, rumpun masyarakat adat dataran tinggi Petuanan Kaiyeli, Pulau Buru.
Kalau pembangkit terus lanjut, katanya, bisa berdampak pada ruang hidup sekitar 227 keluarga atau 1.613 jiwa di Wapsalit termasuk Desa Darlale, anak Desa Wapsalit.
Pendidikan terdampak
Tak hanya mempengaruhi kondisi sosial masyarakat Desa Wapsalit, kehadiran perusahaan panas bumi ini juga mempengaruhi aktivitas pendidikan anak di sana. Sebagian anak ikut mengungsi ke hutan bersama orang tua mereka. Guru pun takut mengajar karena ada eksplorasi hingga sekolah tutup.
“Guru-guru takut. Mereka memilih menghindar, anak anak juga tak diizinkan ke sekolah oleh orang tua, hingga sekolah kosong. Ketakutan ini karena jarak areal dan bangunan sangat dekat dengan lokasi pengeboran,” kata Lice.
Popi, siswi SMP Negeri Wapsalit juga mengungsi ini bilang, tak bisa belajar saat tinggal di hutan.
“Mudah-mudahan perusahaan bisa setop agar Popi bisa kumpul dan belajar bersama teman-teman di sekolah.”
Yusel, siswi SD juga sama tidak bisa ke sekolah karena harus mengungsi ke hutan. Dia juga takut dengan aktivitas pengeboran di belakang kampungnya.
“Dua minggu lebih idak ke sekolah karena ada bor.”
Mongabay menelusuri desa, SD Negeri 9, Lolong Guba, sunyi bak bangunan kosong tanpa penghuni. Begitu juga dengan kantor desa tak ada aktivitas.
Warga Wapsalit memilih mengungsi ke hutan atau ke desa tetangga. Informasi warga, saat subuh sering ledakan disertai goncangan hingga mereka berlarian ke luar rumah mencari lokasi terbuka. Bahkan, warga juga sering mencium bau seperti belerang di sekitar lingkungan tinggal.
Keramat Titar Pito terancam
Nampe Behuku, Tokoh Adat Kaiyeli dari Soa Matlea Gewagit, ungkapkan kekecewaan terhadap perusahaan panas bumi. Dia tegas mengatakan, pengeboran mengakibatkan masyarakat adat di Dataran Tinggi Kaiyeli sengsara.
“Katong (kita) samua menangis, pohon-pohon menangis, hewan-hewan menangis, keramat dan pamali juga menangis,” katanya.
Pria paruh baya dengan khas lestari (penutup kepala adat) ini mendesak perusahaan segera angkat kaki dari wilayah adat mereka.
Dalam keyakinan dan adat istiadat mereka, Titar Pito adalah tempat pertemuan leluhur Pulau Buru. Kalau tempat keramat itu hancur, batu pamali (keramat) dan air tua terusik maka siap siap hadapi bencana.
“Kami protes, busu-busu kami punya tempat sendiri, perusahaan jangan merusak tempat sakral kami. Jangan merusak adat kami. Jika ini dibiarkan bisa ada lumpur, semua lokasi didekat pengeboran akan tenggelam,” kata Behuku.
Senada dikatakan Bantu Wael, Kepala Adat Desa Lele, Lologguba. Menurut dia, pengeboran mengancam eksistensi nilai-nilai adat dan budaya mereka, terutama tempat-tempat sakral masyarakat Pulau Buru.
“Dong kasih masuk perusahaan, katong seng tahu. Soalnya itu tempat keramat pamali,,” ucap Wael.
Titar Pito, katanya, tempat keramat dan situs adat masyarakat dataran tinggi Pulau Buru.
“Seng boleh bongkar, kalau bongkar, Pulau Buru akan hancur.”
Menurut Wael, Masyarakat Adat Noro Pito Noro Pa atau sering disebut Soar Pito Soar Pa adalah masyarakat adat di Pulau Buru yang mendiami wilayah itu sebelum Indonesia ada.
Sebelum Indonesia merdeka, mayoritas masyarakat di pulau ini menganut agama bersandar pada para leluhur. Kegiatan kebudayaan, pemujaan dan kegiatan adat lain terpusat di Titar Pito.
Jadi, Titar Pito sebagai tempat sakral atau keramat. Dari tempat ini pula, lahir pembagian Pulau Buru jadi tiga bagian dengan sebutan Kayeli Petak Telo (Kayeli Tiga Bagian). Yakni, Kayeli Gunung dipimpin Soar Pito Soar Pa, Kayeli Rata dipimpin Hinolon Baman, dan Kayeli Pante dipimpin raja.
Selain pembagian wilayah kekuasaan, di sini juga lahir pembagian jabatan Soar Pito Soar Pa termasuk penentuan dan penunjukan jabatan raja oleh Noro Pito Noro Pa atau sering disebut Soar Pito Soar Pa. Dari Titar Pito ini diabadikan sebagai tempat atau tanah perjanjian dari para leluhur, yang patut dijaga dan dilestarikan.
Yoseph Wael, Kepala Desa Lele, Lolongguba, mengatakan, penolakan geothermal sejak awal, tetapi karena ulah beberapa pihak hingga perusahaan berani beraktivitas. Padahal, seluruh masyarakat pemilik petuanan tidak menginginkan perusahaan masuk.
“Disitu ada peninggalan dan situs sejarah hingga masyarakat menolak. Sebetulnya, penolakan sudah lama, hanya karena kepentingan segelintir orang kini kawasan itu dimasuki.”
Mereka beberapa kali aksi penolakan dengan unjuk rasa namun tetap saja perusahaan meengebor.
“Bentuk sasi adat juga tidak mempan, bahkan sejumlah pihak seenaknya membuka palang dan sasi adat di lokasi sudah dimasuki perusahaan,” sesalnya.
Dugaan intimidasi
Akhir Agustus 2023, sejumlah pria berseragam diduga TNI melakukan intimidasi terhadap seorang tokoh adat hingga menimbulkan reaksi masyarakat.
Dugaan intimidasi ini viral setelah terrekam beberapa warga di kediaman Kaksodin, tokoh adat Desa Wapsalit. Kaksodin memiliki kedudukan strategis dalam jabatan adat di Tanah Buru.
Dari rekaman video terlihat, suara histeris sejumlah perempuan seolah tidak terima dengan tindakan sejumlah pria yang mengenakan busana loreng itu.
Mereka menendang pintu rumah Kaksodin. Pimpinan dataran tinggi dalam pranata adat di Pulau Buru ini diduga dipermalukan dengan melontarkan kata-kata yang tidak pantas.
Selang beberapa menit setelah masuk, adu mulut pun terjadi.
Saat itu, Kaksodin yang masih mengenakan kaos berwarna putih mencoba membela diri. Dia menjelaskan, tindakan oknum TNI tidak mendasar dan menyudutkan dirinya.
“Lebih baik perusahaan angkat kaki, karena dalam jabatan sakral dimaki, dihina,” kata Kaksodin.
Kedatangan sejumlah pria ini untuk mengambil kunci keran air yang diamankan Kaksodin. Keran air untuk keperluan pengeboran.
Dia bilang, kunci itu bukan dicuri tetapi diberikan perusahaan setelah dia meminta.
“Beta terima kunci kontak air itu karena beta minta. Saya meminta karena telah ada kesepakatan agar pekerjaan dihentikan sebelum ada penjelasan kepada masyarakat, tentunya kunci itu sebagai jaminan,” kata Kaksodin.
Jalaludin Salampessy, Penjabat Bupati Buru, kepada Mongabay mengatakan, telah berkoordinasi dengan KESDM.
“Itu yang paling penting. Harapan kami, akan disesuaikan dengan adat masyarakat,” ucap Salampessy.
Masalah yang terjadi, katanya, perlu didiskusikan dengan baik untuk kepentingan masyarakat.
Dia meminta masyarakat tidak perlu khawatir, bahkan dalam komunikasi pemerintah kabupaten telah berkoordinasi mengupayakan rencana mitigasi.
“Kami meminta perusahaan menghargai. Jika perusahaan tidak menghargai kami, kami akan menempuh jalur aturan dan adat kami, karena adat kami pun diakui dunia internasional.”
Mongabay mencoba konfirmasi kepada Ormat. M Adjie Hentihu, Humas Ormat tidak beri tanggapan.
Awal ketika dihubungi, lewat telepone, dia bilang sedang rapat.
“Saya sedang rapat, maaf saya bukan lagi bagian dari ASN,” jawabnya via WhatsApp. Mungkin dia mengira akan wawancara terkait posisi sang humas sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Buru.
********
Warga Was-was Ngungsi ke Hutan, Mahasiswa Protes Eksplorasi Panas Bumi di Pulau Buru