Krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup membuat bumi merana. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebut, pada 2023 temperatur bumi naik 1,5°C dibandingkan dengan era sebelum revolusi industri. Penyebabnya, akumulasi emisi gas rumah kaca yang tak terkendali, penggunaan energi kotor, eksploitasi hutan dan laut, gaya hidup masyarakat di berbagai wilayah dunia, terutama di negara-negara maju. Dalam jangka panjang, beragam aktivitas ini akan melahirkan dampak buruk sangat luas.
Di antara dampak krisis iklim adalah meningkatnya bencana hidrometeorologi di bumi. Bencana hidrometeorologi tak hanya berimplikasi pada lingkungan hidup, juga kestabilan kehidupan masyarakat. Bahkan pada masa mendatang, krisis iklim mampu memicu konflik perebutan sumberdaya alam. Dengan demikian, krisis sosial dan lingkungan hidup akan saling berkaitan.
Antara lain kelompok masyarakat yang paling rentan terdampak krisis iklim adalah generasi muda yang secara historis berkontribusi paling kecil terhadap kerusakan bumi, terutama yang hidup di negara-negara selatan, seperti Indonesia. PBB telah memperkirakan, pada 2050 akan ada 200 juta pengungsi akibat iklim.
Bicara peran, semestinya, umat beragama bisa ikut berkontribusi menyelamatkan bumi. Saat ini, populasi Muslim dunia mencapai 25,74% dari 8,045 miliar jiwa. The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) dalam laporan berjudul The Muslim 500: The World’s 500 Most Influential Muslims 2024 menempatkan Indonesia sebagai negara nomer satu berpopulasi Muslim terbanyak di dunia, berjumlah 240,62 juta jiwa pada 2023.
Dengan demikian, secara sosio-kultural masyarakat Muslim akan banyak jadi korban krisis iklim, bahkan pengungsi iklim dalam jumlah sangat besar. Pada titik ini, sangat penting bagi masyarakat Muslim untuk mengantisipasi atau mitigasi guna menyelamatkan generasi muda dari krisis iklim. Upaya mitigasi ini akan memberikan kontribusi nyata dalam mengatasi permasalahan dunia yang serius saat ini.
Akar masalah
Secara paradigmatik, antroposentrisme adalah akar masalah dari krisis iklim. Antroposentrisme memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Lebih jauh, paham ini meyakini hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Cara pandang antroposentrisme menyebabkan individu atau sekelompok orang melakukan kekerasan terhadap manusia dan lingkungan hidup dengan dalih keuntungan jangka pendek. Namun menyebabkan dampak jangka panjang lebih besar terhadap kerusakan sosial masyarakat dan lingkungan hidup.
Cara pandang antroposentrisme mengantarkan manusia masuk pada fase antroposen. Fase antroposen ditandai berubahnya komposisi atmosfer yang menyebabkan berlubangnya lapisan ozon bumi. Penanda utama antroposen adalah revolusi industri di Eropa, di mana alam ditafsirkan lebih inferior daripada manusia. Menurut hemat penulis, berlubangnya lapisan ozon karena perusakan alam sejak revolusi industri.
Lebih jauh, antroposentrisme hari ini mewarnai pendidikan formal, khusus di Indonesia. Buktinya, institusi pendidikan lebih banyak menyiapkan anak didik menjadi tenaga kerja untuk industri, pada saat sama tak ada keberpihakan pada upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan hidup yang rusak akibat ulah manusia.
Bukti antroposentrisme juga terlihat dari kurikulum pendidikan yang tidak menempatkan lingkungan hidup sebagai prioritas setara dengan manusia.
Sistem pendidikan Indonesia, misal, tidak memuat upaya penyelamatan dan pemulihan lingkungan hidup sebagai bagian penting. Ini terbukti oleh Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 (Fungsi, dasar dan Tujuan) dan Bab 3 (Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan), tidak memuat unsur tentang pemulihan dan perlindungan lingkungan.
Adapun upaya penyelamatan lingkungan dalam pendidikan saat ini hanya pelengkap pembelajaran. Seharusnya, upaya mendidik manusia setara dengan upaya penyelamatan lingkungan saat ini untuk masa depan. Alasannya, pelajar saat ini butuh bumi layak untuk dihuni di masa mendatang.
Tawaran solusi
Menempatkan pendidikan sebagai cara untuk menyelesaikan krisis iklim adalah keniscayaan. Pasalnya, pendidikan merupakan suatu cara yang didesain untuk menanamkan sesuatu ke dalam diri manusia dalam jangka panjang. Pemahaman ini hendak menyampaikan bahwa terdapat tiga unsur penting yang membentuk pendidikan, yaitu: proses pendidikan, kandungan atau nilai yang ditanamkan dalam pendidikan, dan penerima atau anak didik yang merupakan manusia.
Kita tidak dapat membayangkan model manusia macam apa yang akan lahir dan bagaimana nasib planet bumi dari proses pendidikan yang selama ini menanamkan antroposentrisme sebagai nilai utamanya. Dalam konteks ini, perlu ada upaya mengkritik secara mendasar paradigma pendidikan yang selama ini berjalan karena terkesan sangat anti ekologis, bahkan anti kemanusiaan itu sendiri.
Ekopedagogi dapat dipahami sebagai pendidikan yang kritis dan transformatif melalui refleksi yang diperdalam dan diperluas untuk mengakhiri ketidakadilan sosial lingkungan, kekerasan dan dominasi terhadap alam. Ekopedagogi berakar dari dua akar penting, yaitu, pedagogy yang dikontruksi oleh Paulo Freire, pemikir kelahiran Brazil, dan deep ecology (ekologi dalam) yang dirumuskan Arne Naess, filsuf Norwegia.
Ulasan lebih lanjut mengenai ekopedagogi diartikulasikan oleh banyak sarjana, salah satunya, Greg W Mesiazek, Direktur Institut Paulo Freire di Universitas Californias Los Angeles, Amerika Serikat.
Secara umum, ecopedagogy menawarkan sejumlah pendekatan sebagai berikut, pertama, pengajaran tentang ruang lingkup sosial dan lingkungan hidup, terutama terkait teks- teks yang berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup untuk anak didik. Hingga mereka mampu mengungkapkan isu-isu lingkungan hidup terkini yang berhubungan dengan kehiduan sosial masyarakat. Poin ini terkait penanaman nilai mengenai hubungan timbal balik yang berkesinambungan antara manusia dan alam.
Kedua, mendorong anak didik untuk dekat dengan alam sekitar dan masyarakat di luar kelas serta menekankan kedekatan dengan lingkungan hidup yang mengarahkan siswa sadar hubungannya dengan lingkungan hidup.
Ketiga, mengajar dengan cara mengadaptasi tugas kelas, latihan menulis, kelompok pekerjaan, pengalaman langsung dari lapangan untuk refleksi serta mengubah pengetahuan menjadi tindakan sosial dalam mewujudkan keadilan ekologis dan keberlanjutan multi spesies.
Konsep ekopedagogi yang berakar dari pedagogy dan deep ecology sangat sesuai dengan tantangan atau permasalahan sosial dan ekologis saat ini. Di antara prinsip penting dari deep ecology terhadap permasalahan lingkungan saat ini antara lain penyelesaian melalui pendidikan.
Bagaimana prinsip ekopedagogi dapat terwujud dalam lembaga pendidikan? Dengan meminjam tiga pendekatan ecopedagogi, kita dapat melihat apakah di dalam sebuah institusi pendidikan kurikulumnya memuat ekapedagogi atau tidak? Apakah anak didiknya didorong untuk memiliki kedekatan dengan masyaraat dan lingkungan hidup, serta apakah metodenya mendorong anak didik untuk refleksi serta mengubah pengetahuan menjadi tindakan sosial dalam mewujudkan keadilan ekologis dan keberlanjutan multispesies? Jika ketiganya dijalankan, maka lembaga pendidikan itu sedang menjalankan prinsip-prinsip ekopedagogi.
*****
Hilirisasi Nikel di Halmahera Bisa Perparah Krisis Iklim dan Susahkan Warga
Penulis: Putri Rahmayati adalah peneliti ekopedagogi dan Mahasiswa Magister Ilmu Agama Islam Universitas Paramadina. Tulisan ini merupakan opini penulis.