- Persoalan sampah plastik yang mengotori pesisir ataupun lautan merupakan permasalahan klasik yang hingga saat ini masih terus menghantui nelayan tradisional, selain krisis iklim, rusaknya laut akibat tambang dan reklamasi.
- Plastik polimer yang dihasilkan dari pengolah minyak bumi ini tidak hanya merusak baling-baling perahu, namun juga dapat memicu perginya ikan-ikan di area tangkapan. Akibatnya, nelayan semakin sulit mendapatkan ikan dan merugikan pendapatan nelayan hingga jutaan rupiah
- Atas permasalahan tersebut masyarakat diharapkan lebih bijak mengelola sampah. Selain itu, kesadaran tentang sampah melalui pendidikan formal maupun non formal perlu ditingkatkan
- Berbagai cara telah dilakukan DLH DKI Jakarta untuk mengatasi sampah, seperti membangun saringan sampah di perbatasan sungai yaitu di TB Simatupang agar sampah tidak bocor ke laut, pembersihan pesisir pantai setiap hari, dan pembangunan TPS3R di Pulau Sabira, Pulau Tidung dan Pulau Panggang di Kepulauan Seribu
Sampah plastik yang mencemari pesisir dan lautan kerapkali mengganggu nelayan skala kecil saat menangkap ikan. Plastik polimer yang dihasilkan dari pengolah minyak bumi ini tidak hanya merusak baling-baling perahu, namun juga dapat memicu perginya ikan-ikan di area tangkapan. Akibatnya nelayan semakin sulit mendapatkan ikan.
Seperti dirasakan Mustaghfirin (53), nelayan harian asal Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Menurut pria yang biasa disapa Bobby ini, kondisi tersebut bisa lebih parah apabila ada sampah kiriman dari luar perairan Pulau Pari. Ia menduga sampah yang datang itu berasal dari pesisir Jakarta seperti Muara Angke atau juga Tangerang.
“Sampah plastik ini sangat mengganggu sekali. Apalagi baling-baling yang kami gunakan untuk mendorong perahu ukurannya kecil, sehingga seringkali nyangkut,” ujar pria yang juga Ketua Kelompok Nelayan Camar Laut ini, Kamis (18/04/2024).
Untuk menangkap ikan di kawasan perairan Pulau Pari, Bobby mengaku menggunakan perahu berukuran 2 Gross Tonnage. Untuk itu, peluang terganggu sampah plastik ini sangat besar. Frekuensinya, selama seminggu melaut atau 7 kali trip, minimal 2 hari baling-balingnya mengalami gangguan plastik.
Bila sudah terganggu, perjalanan untuk menangkap ikan jadi tidak normal. Sebab, mesin perahu menjadi berat dan mudah panas. Bahkan, mesinnya pernah sampai rusak. Kondisi itu menyebabkan ia harus putar balik.
Selain itu, dampak lain akibat banyaknya sampah yang mencemari lautan ini membuat ia seringkali mengubah jalur menuju daerah penangkapan ikan alternatif. Padahal, ia sudah mahfum beberapa spot yang bagus untuk menangkap ikan.
“Kalau normal rata-rata per hari bisa dapat 100 kilogram ikan sekali trip. Jika ada sampah itu paling dapat 15-25 kilogram ikan, itupun kadang malah tidak dapat ikan,” imbuhnya. Bila dirupiahkan, lanjutnya, bila tidak bisa melaut kerugiannya bisa mencapai Rp1-2 juta dalam sehari.
Baca : Menjaga Ekosistem Pesisir dan Laut Bebas dari Sampah
Senasib dengan Bobby, Tono, nelayan Pulau Pari lainnya mengaku, akibat sampah plastik yang mencemari perairan pulau yang memiliki luas 41,32 hektare itu, hasil tangkapannya juga seringkali berkurang. Biasanya, dalam sehari ia mancing ikan dapat 20 kilogram. Namun karena sampah, paling hanya membawa pulang ikan 5-6 kilogram.
“Jauh banget hasilnya. Kalau sampah lokal masih bisa kita atasi. Tapi kalau sampah kiriman ini yang sulit kami tangani. Padahal kami juga seringkali gotong royong membersihkan sampah yang di laut,” katanya.
Tono juga pernah mengalami baling-baling perahunya patah dan mesinnya jebol karena tersangkut sampah plastik, lanjut Tono. Ia harus merogoh kocek Rp3 juta untuk memperbaikinya. Jumlah yang tidak murah bagi Tono yang saat ini berpenghasilan kotor dari melaut rata-rata Rp250-Rp500 ribu sekali trip ini.
Menurutnya, pendapatan yang ia dapat itu lebih sedikit dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Sebab, saat ini tantangan yang dihadapi saat melaut semakin beragam. Selain sampah yang mencemari lautan, cuaca belakangan juga semakin sulit diprediksi. Saat musim tertentu perahunya juga tidak dapat berlayar karena anomali cuaca terkait perubahan iklim dan La Nina.
“Bila sudah begitu kerugian yang saya alami bisa sampai dua kali lipat,” terang laki-laki yang tergabung dalam Kelompok Nelayan Bara Kuda.
Menyadari kian terhimpitnya posisi sebagai nelayan membuatnya mencoba peruntungan lain dengan membudidayakan ikan kerapu di keramba.
Hasil tangkapan menurun akibat sampah plastik juga dialami, Mashudin (49), nelayan Gresik, Jawa Timur. Imbas dari sampah plastik yang mencemari bibir pantai membuat ikan enggan menepi lagi. Padahal, dulunya ditepian pantai atau di bawah tegakan pohon-pohon bakau itu mudah sekali dijumpai udang maupun ikan.
“Sampah plastik ini kalau nyangkut di jaring itu susah sekali dibersihkan. Parahnya lagi kalau plastinya sudah ditumbuhi tiram kecil-kecil, itu bisa mengakibatkan jaring senarnya putus,” ucapnya.
Baca juga : Gerakan Menghadap Laut, Gerakan Bersihkan Sampah Plastik dari Lautan
Lebih Bijak Kelola Sampah
Penyebaran sampah plastik di laut yang mengganggu nelayan ini merupakan problem lintas batas. Bukan hanya antar negara, namun juga terjadi antar daerah. Selain itu, plastik merupakan bagian terbesar dari sampah di lautan di seluruh dunia.
Devi Dwiyanti Suryono, Peneliti Bidang Lingkungan Pusat Riset Konservasi Sumber Daya Laut dan Perairan Darat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat dihubungi Mongabay, Minggu (21/04/2024) mengatakan, plastik merupakan penyusun sampah di lautan hingga 90% dari total sampah secara keseluruhan. Rinciannya, pantai (32-90%), air muka laut (86%), dan dasar laut (47-85%).
Keberadaan sampah plastik di pesisir maupun lautan, tidak hanya menghantui para nelayan dalam mencari ikan, akan tetapi masuknya bahan-bahan toksik tersebut juga dapat menimbulkan dampak buruk terhadap satwa laut.
Diduga kuat bisa melalui proses ingesti dari partikel-partikel renik yang diikuti proses bioakumulasi merunut alur rantai makanan yang lebih tinggi. “Bukan hanya itu, sampah-sampah juga dapat mengganggu ekosistem mangrove,” terang perempuan yang pernah riset tentang sampah plastik di perairan dan laut pesisir Jakarta itu.
Dengan begitu, katanya, fungsi mangrove sebagai nursery ground bagi berbagai jenis ikan, kepiting maupun udang menjadi berkurang. Padahal, ekosistem mangrove merupakan salah satu spot yang baik bagi nelayan dalam mencari hasil tangkapan.
Atas permasalahan tersebut Devi mengajak masyarakat agar lebih bijak dalam mengelola sampah yang dihasilkan. Selain itu juga kesadaran masyarakat tentang sampah melalui pendidikan formal maupun non formal perlu ditingkatkan.
Baca juga : Sampah Plastik Bertebaran di Laut, Teknologi Pirolisis Terus Dikembangkan
Pengelolaan Sampah Jakarta
Asep Kuswantoro, Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengatakan, untuk mencegah sampah masuk lebih jauh ke pusat kota pihaknya melalui Unit Pelaksana Kebersihan Badan Air telah membangun saringan sampah di perbatasan sungai yaitu di TB Simatupang. Saringan sampah rencananya juga akan dibangun di muara sungai untuk menghalau sampah agar sampah tidak bocor ke laut.
Dalam mengatasi sampah pesisir daerah dengan penduduk sekitar 11,34 juta jiwa ini, pihaknya juga setiap harinya telah mengerahkan petugas Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP) di Marunda Kepu, Ancol, Muara Baru, Muara Angke, Pantai Mutiara dan Kali Adem dengan menggunakan kapal katamaran.
“Pengolahan sampah di Kepulauan Seribu telah dibangun TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle) di Pulau Sabira dan Pulau Tidung yang sudah beroperasi melakukan pengolahan sampah di sumber,” terangnya melalui keterangan tertulis kepada Mongabay, Selasa (30/04/2024).
Sementara di tahun anggaran 2024 ini dibangun juga TPS3R di Pulau Seribu bagian lain yaitu di Pulau Panggang. Sedangkan untuk tahun anggaran 2025 sudah diusulkan untuk dibangun TPS3R di Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Upaya lain dalam pengurangan sampah di Kepulauan Seribu yang dikirim ke darat Jakarta pihaknya juga telah melakukan pembinaan bank-bank sampah yang ada di wilayah tersebut.
Ratusan Kilogram Sampah
Secara rutin, para petugas DLH DKI Jakarta membersihkan kawasan pesisir pantai Jakarta bersih dari sampah, seperti “pasukan orange” dari Sudin LH Kepulauan Seribu yang membersihkan kawasan Marunda Kepu, Jakarta Utara.
Selama April 2024, dalam sehari sebanyak 8 hingga 12 petugas dibantu satu unit kapal, dan satu unit truk diterjunkan untuk membersihkan kawasan tersebut.
“Setiap harinya, petugas kami berhasil mengumpulkan rata-rata 700 kg sampah dari kawasan tersebut,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Sudin LH Kepulauan Seribu, Lukman Dermanto dalam siaran persnya.
Menarik dibaca : Foto : Sampah Plastik Di Lautan Indonesia
Ia mengatakan jumlah tersebut akan terus meningkat seiring dengan penambahan alat berat di lokasi yang menjadi ujung dari Banjir Kanal Timur itu.
“Saat ini, kendala utama dalam upaya penanganan sampah di Marunda Kepu adalah sampah yang terbawa arus dari Muara Kali Bekasi yang bercampur dengan sedimen lumpur, sehingga menyulitkan proses pembersihan,” ujar Lukman.
Sementara itu, Pejabat Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Yogi Ikhwan mengatakan DLH juga akan mempercepat proses penanganan sampah di kawasan itu dengan melakukan operasi “Grebek Sampah Pesisir Jakarta” yang melibatkan ratusan personil, belasan kendaraan khusus atau berat.
“Berdasarkan Instruksi Kadis LH, kita akan menerjukan 20 petugas tambahan dari Sudin LH Kepulauan Seribu, 210 petugas dari Unit Penanganan Sampah Badan Badan Air (UPS BA), dan 12 kendaraan operasional,” ujarnya.
Menurutnya, operasi tersebut akan dilaksanakan pada Rabu, (1/5), dan akan terus berlanjut sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan. Pihaknya terus berkomitmen untuk mengoptimalkan upaya-upaya pembersihan sampah di kawasan pantai utara Jakarta.
“Kami berharap dengan kerja keras petugas kami dan dukungan masyarakat, pantai Marunda Kepu dan seluruh kawasan pesisir Provinsi DKI Jakarta dapat terbebas dari sampah,” pungkasnya. (***)