- Beberapa desa-desa di Pasuruan berinisiatif mewujudkan kondisi nol sampah dengan mengelola sampahnya secara mandiri dengan mengubahnya menjadi kompos dan refused derived fuel (RDF) sebagai bahan bakar pengganti batubara.
- Sebelumnya, sampah memang menjadi salah satu persoalan akut di desa Randupitu, karena dibakar dan dibuang sembarangan
- Dengan dibentuknya KSM Pemuda Peduli Sampah, Desa Randupitu berhasil mengelola sampah bahkan menghasilkan jutaan rupiah untuk PAD
- Keberhasilan pengelolaan sampah di Desa Randupitu, ditiru oleh beberapa desa di Kabupaten Pasuruan. Dan diharapkan dapat diterapkan oleh seluruh desa di kabupaten itu
Praktik baik ditunjukkan sejumlah desa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur untuk mewujudkan kondisi nol sampah. Bahkan, beberapa di antaranya berhasil mengolah sampah menjadi sumber penghasilan dan menambah pendapasan asli desa (PAD) hingga ratusan juta rupiah per bulan.
Salah satunya Desa Randupitu, Kecamatan Gempol. Dalam kurun lima tahun belakangan ini, desa berpenduduk sekitar 7.300 jiwa ini berhasil mengelola sampahnya secara mandiri dengan mengubahnya menjadi kompos dan refused derived fuel (RDF) sebagai bahan bakar pengganti batubara.
Kepala Desa Randupitu, M. Fuad mengatakan, selama ini, sampah memang menjadi salah satu persoalan akut di desanya. Selain dibakar, sampah-sampah banyak dibuang di lahan-lahan kosong hingga menimbulkan aroma tak sedap. “Sampah banyak berserakan dimana-mana. Kondisi desa menjadi kotor, tidak enak dilihat. Sungai-sungai penuh oleh sampah,” ujarnya kepada Mongabay.
Gagasan untuk mengelola sampah lebih produktif pun datang setelah pihaknya mendapat pendampingan dari Forum Komunikasi Peduli Lingkungan (FKPL) Ahmad Fatoni. Pada 2017, pihaknya kemudian membentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Pemuda Peduli Sampah yang disingkat Pempes.
Fuad menjelaskan, salah satu tujuan pembentukan KSM ini adalah untuk mewujudkan Desa Randupitu sebagai desa yang mandiri dan berkesadaran lingkungan. Salah satunya melalui pengelolaan sampah domestik secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Namun demikian, karena cara berpikir masyarakt perihal sampah masih miring, usaha itu pun tak mudah. Hingga kemudian, anggota Pempes mengumpulkan sampah-sampah dari rumah-rumah warga. Langkah itu ia lakukan secara sukarela dan terus menerus dengan menggunakan mobil bak pribadinya. Sampai kemudian, inisiatifnya itu mampu menarik simpati masyarakat.
“Awalnya ya susah. Tapi karena komitmen kami untuk mewujudkan desa yang bersih, kami akhirnya mengambil sampah-sampah itu dari rumah warga secara swadaya, tidak ada yang bayar,” terang Fuad menceritakan ihwal pembentukan kelompok ini.
Baca : Cerita dari Banyumas: Kelola Sampah Jadi Berkah, Sekaligus Kurangi Emisi
Lambat laut, kerja keras anggota Pempes itu membuka kesadaran. Mereka akhirnya sepakat untuk tidak membuang sampah sembarangan dan meletakkannya di tempat sampah yang telah disediakan. Tidak hanya itu. Mereka juga bersedia membayar iuran Rp15.000/bulan.
Bagi Fuad, kesediaan warga itu membuat Pempes kian bersemangat. Sembari menghimpun sampah dari rumah-rumah warga, mereka juga memberikan sosialisasi akan pentingnya pengelolaan sampah. Sosialisasi yang disampaikan agar masyarakat mengerti ragam jenis sampah sehingga mampu memilahnya.
Tak hanya itu. Secara bertahap, pemerintah desa juga mengalokasikan anggaran secara khusus untuk pembangunan sejumlah peralatan dan juga infrastruktur. Jika ditotal, dalam tiga tahun terakhir ini, total anggaran desa yang masuk untuk pengadaan peralatan dan pemeliharaa itu mencapai Rp600 juta lebih.
Desa Randupitu memiliki luas wilayah 371,20 hektar dan terdiri dari tiga dusun. Meliputi Dusun Babat, Dusun Gesing dan Dusun Randupitu. Berdasar informasi dasar kependudukan per 2019 lalu, jumlah penduduk desa ini mencapai 7.559 jiwa yang terdiri dari 3.808 laki-laki dan 3.751 perempuan.
Fuad mengemukakan, pengelolaan sampah di Randupitu didasarkan pada empat program utama. Yakni, pendidikan dan pelatihan, pengumpulan, daur ulang dan jual beli. Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan melalui pengelolaan sampah bertangung jawab.
Sementara itu, kegiatan pengumpulan sampah difokuskan pada tiga sub sektor. Selain sampah rumah tangga, pengumpulan juga dilakukan pada sampah yang dihasilkan dari kegiatan pasar desa atau pusat perbelanjaan, serta dari perusahaan.
Dalam perkembanganya, inisiatif oleh KSM ini mendapat respons positif warga setempat. Bahkan, karena dinilai berhasil membawa Randupitu menjadi lebih bersih, oleh warga, pada 2022 lalu, Fuad pun didorong untuk maju sebagia kepala desa dan berhasil menang.
Baca juga : Teba Modern, Cara Desa Celuk Bali Bebas Sampah Organik
Jadi Bahan Bakar
Berdasar data Pemdes setempat menyebutkan, pada saat awal dibentuk, KSM ini hanya beranggotakan 217 orang. Tetapi kini, angkanya terus bertambah menjadi 203 di 2018; 597 pada 2019 dan meningkat menjadi 941 di 2020 lalu.
Sejalan dengan itu, jumlah timbunan sampah yang berhasil dikumpulkan terus meningkat. Pada 2017 misalnya, sebanyak 108,5 ton sampah berhasil dikumpulkan. Kemudian, meningkat menjadi 153 ton di 2018; 298,5 ton di 2019. Pada 2020, jumlah sampah yang dihimpun meningkat drastis hingga 2.648 ton.
Ketua KSM Pempes, Harinono menjelaskan, meningkatnya volume sampah tersebut tak lepas dari bergabungnya dua dusun lain di Randupitu. “Karena awalnya dulu kan cuma satu dusun, yakni Dusun Babat. Sekarang, dua dusun lain, yakni Gesing dan Randupitu ikut bergabung juga. Jadi semuanya sudah bergabung,” ungkapnya.
Hariono menuturkan, sampah-sampah yang dikumpulkan itu kemudian dilakukan pemilahan. Untuk sampah basah (organic) diubah menjadi composting. Termasuk sisa makanan. Sedangkan sampah kering (anorganik) dijadikan RDF (refuse derived fuel) untuk pengganti bahan bakar batubara yang kemudian dijual ke perusahaan.
Di sisi lain, kabar keberhasilan Pemdes Randupitu wujudkan nol sampah akhirnya sampai ke daerah lain. Salah satunya Yogyakarta. Secara berkala, DLH setempat bahkan mengirimkan sampah organiknya ke Randupitu untuk diolah.
Atas capaian ini, Pemkab Pasuruan pun memberikan penghargaan kepada Desa Randupitu sebagai satu-satunya desa di Kabupaten Pasuruan yang berhasil wujudkan nol sampah. Penghargaan diberikan saat peringatan Hari Bumi beberapa waktu lalu.
Perpanjang Umur TPA
Randupitu bukanlah satu-satunya desa di Kabupaten Pasuruan yang bisa menjadi contoh baik bagaimana pengelolaan sampahnya. Data FKPL, beberapa desa yang lain juga sukses mengambil inisiatif serupa. Sebut saja misalnya Desa Ngerong, Kecamatan Gempol; Desa Suwayuwo, Kecamatan Sukorejo dan juga Desa Martopuro, Kecamatan Purwosari.
Di Desa Ngerong, keberhasilannya untuk mengolah sampahnya secara mandiri terbukti berhasil menekan biaya operasional yang harus dikeluarkan pihak desa sebelumnya. Sebagai catatan, sebelumnya, pihak desa harus mengeluarkan biaya hingga Rp9 juta per bulan hanya untuk membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Baca juga : Menariknya Produk Olahan Sampah dari Desa Hutan Monyet
Kini, setelah diolah secara mandiri di fasilitas 3R miliknya, KSM Desa Ngerong justru meraup untung dari menjual sampah dan juga produk turunnya. Seperti kompos dan juga pupuk cair. “Ini juga peluang untuk membuka lapangan kerja baru karena ada lebih dari 50 orang yang terlibat di pengelolaan sampah ini dan dibayar,” ungkap Muzayin, ketua KSM setempat.
Penyuluhan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pasuruan, Diana Indah Kusumawati mengungkapkan, pihaknya terus mendorong agar praktik baik oleh beberapa desa tersebut dapat direplikasi di desa lain. Sebab, dari 360 desa yang ada di kabupaten, baru sebagian kecil yang berhasil mengelola sampahnya secara mandiri.
“Karena pada dasarnya, tanggung jawab untuk mengelola sampah itu tidak hanya ada di Pemerintah, tetapi juga masyarakat secara umum. Jadi, masing-masing memang harus ikut berperan,” katanya kepada Mongabay. Secara khusus, Pemkab juga berkepentingan untuk mendorong agar praktik baik tersebut semakin meluas. Dengan begitu, sampah yang masuk ke TPA juga akan semakin berkurang.
Diana bilang, saat ini, volume timbunan sampah di kabupaten mencapai 5000 ton per hari. Jika kemudian seluruh sampah itu masuk ke TPA, bisa dipastikan fasilitas yang baru diresmikan dua tahun lalu itu tidak akan berumur panjang.
“TPA kita itu hanya seluas 200 hektar dan diasumsikan bisa bertahan selama 10 tahun. Tetapi, jika semua timbunan sampah itu masuk ke sana, bisa dipastikan umurnya lebih pendek dari itu alias over kapasitas,” katanya. Karena itu, sebelum dibawa ke TPA, seyogyanya sampah-sampah yang dihasilkan dikelola terlebih dulu untuk mengurangi beban TPA. Sekaligus memperpanjang umurnya. (***)