- Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan 1.215 wilayah pertambangan rakyat (WPR) di seluruh tanah air. Dari jumlah tersebut, 60 blok terdapat di Nusa Tenggara Barat
- Penetapan WPR ini pada daerah-daerah yang sebenarnya sudah lama terdapat aktivitas tambang ilegal. Penetapan WPR ini menjadi kesempatan untuk mengurus perizinan sehingga menjadi legal
- Dinas ESDM Provinsi NTB melihat penetapan WPR ini menjadi buah simalakama, antara solusi atas tambang ilegal dan kerusakan lingkungan yang terjadi, termasuk siapa yang bertanggung jawab tentang pascapertambangan.
- Aktivis Green Investmen Sendi Akramullah mengingatkan meski penetapan WPR bisa menjadi pelegalan aktivitas ilegal tambang rakyat, tetapi dia mengingatkan daya rusak tambang itu sangat besar. Sedangkan Aktivis Sahabat Bumi Musmuliadi Yowry cemas dengan kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal akan semakin bertambah dengan pemberian izin. Apalagi pengawasan yang sangat lemah
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan 1.215 wilayah pertambangan rakyat (WPR) di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 60 blok berada di Nusa Tenggara Barat (NTB). Penetapan WPR untuk NTB itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No.89 Tahun 2022.
Ke-60 blok WPR di NTB ini tersebar di beberapa kabupaten. Sejumlah 32 blok ada di Kabupaten Lombok Barat, tiga blok di Kabupaten Sumbawa Barat, 11 blok di Kabupaten Sumbawa, 13 blok di Kabupaten Dompu, dan satu blok di Kabupaten Bima. Dalam Undang-undang Minerba Nomor 4 tahun 2009, satu blok luasannya 25 hektar. Dengan demikian, 60 blok yang ditetapkan di NTB adalah seluas 1.469,84 hektar.
“Sebenarnya ini usulan sejak lama diusulkan kabupaten, sejak tahun 2019,’’ kata Kabid Minerba Dinas ESDM Provinsi NTB Iwan Setiawan saat dihubungi Mongabay Indonesia, Kamis (18/4/2024).
Iwan mengatakan pemerintah kabupaten/kota di NTB juga mengusulkan tambahan delapan blok WPR. Terdiri dari enam blok di Kabupaten Sumbawa, dan dua blok di Kabupaten Lombok Barat. Kondisi di lapangan, lokasi-lokasi yang diusulkan maupun sudah ditetapkan itu sebenarnya sudah lama terdapat aktivitas penambangan emas secara ilegal.
“Ini memang jadi simalakama. Disatu sisi jadi solusi atas tambang ilegal, tapi disisi lain ke depannya siapa yang akan bertanggungjawab setelah penambangan berakhir,’’ katanya.
Lanjutnya, pada tahun ini akan disusun dokumen pengelolaan WPR yang akan dilakukan oleh Kementerian ESDM. Kegiatan sosialisasi juga akan gencar dilakukan. Mendorong aktivitas tambang yang saat ini ilegal agar mau mengurus izinnya. Untuk pengurusan perizinan bisa secara pribadi maupun secara kolektif melalui koperasi. Dinas ESDM NTB mendorong agar pertambangan rakyat yang sudah berjalan saat ini agar bisa berkelompok membentuk koperasi.
“Kita arahkan koperasi nanti yang mengurus izin pertambangannya,’’ katanya.
Baca : Jerat Korupsi Hentikan Tambang Pasir Besi di Lombok
Aktivitas tambang rakyat mulai marak di NTB sejak tahun 2008. Saat itu di Pulau Lombok, marak penambangan di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Para penambang dari daerah lain, salah satunya Jawa Barat banyak datang ke Sekotong. Dari merekalah alih pengalaman pengolahan emas terjadi.
Dari Sekotong Lombok Barat aktivitas beralih ke daerah Kabupaten Lombok Tengah, di kawasan bukit-bukit di Kecamatan Praya Barat Daya. Termasuk juga paling banyak mendapat sorotan adalah pertambangan di kawasan Gunung Prabu. Aktivitas penambangan emas di daerah ini massif, sehingga terlihat jelas perubahan bentang alam di daerah ini. Aktivitas penambangan seperti bersaing dengan pengembangan pariwisata. Banyak hotel, villa, dan akomodasi dibangun. Desa-desa di kawasan ini juga menjadi desa penyangga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.
“Mungkin karena sudah ada peruntukan (pariwisata), makanya tidak ada tercantum WPR untuk Lombok Tengah,’’ kata Iwan.
Para penambang emas ilegal yang berpengalaman di Sekotong Lombok Barat kemudian pindah ke Pulau Sumbawa. Kawasan Lantung dan Ropang di Kabupaten Sumbawa salah satu lokasi yang banyak aktivitas. Sementara itu di Kabupaten Sumbawa Barat aktivitas tambang dilakukan di Jereweh, bahkan di bukit-bukit yang mengelilingi Taliwang, ibukota kabupaten Sumbawa Barat.
Aturan Penambangan
Aturan turunan untuk penambangan rakyat ini masih perlu aturan turunan lagi. Salah satu isunya adalah standar penambangan. Saat ini sebagian besar aktivitas penambangan dengan cara membangun lubang-lubang (underground). Cara ini sangat berbahaya, apalagi masyarakat hanya mengandalkan kayu untuk penyangga lubang. Sudah banyak dilaporkan penambang yang tewas akibat lubang yang runtuh.
“Yang lebih aman itu open pit (terbuka), tapi ini jauh lebih mahal biayanya,’’ katanya.
Masalah ini juga menjadi perhatian Dinas ESDM NTB. Di beberapa tempat sudah ada aktivitas penambangan terbuka, menggunakan alat berat. Walaupun luasannya terbatas, tapi bukan rahasia umum jika usaha itu dibiayai oleh pemodal besar. Tapi nantinya, ketika mereka akan mengajukan izin pertambangan rakyat, harus mengikuti prosedur.
“Nanti atas nama masyarakat pasti yang urus izinnya,’’ katanya.
Pemerintah daerah yang menjadi lokasi WPR juga perlu memikirkan dampak jangka panjang. Menurut Iwan, sebenarnya lebih mudah jika tambang itu dilakukan oleh perusahaan. Pemerintah mudah mengontrol dan menuntut pertanggungjawaban mereka. Salah satunya reklamasi pascapenambangan. Perusahaan memiliki aturan yang ketat dalam reklamasi ini.
“Nanti kalau rakyat, selesai satu lubang pindah. Ditinggalkan. Mau ribut sama rakyat sendiri juga,’’ kata Iwan.
Karena itulah Iwan meminta perlu pendampingan ke masyarakat yang nantinya tergabung dalam koperasi agar memikirkan kondisi lingkungan ke depannya. Jangan hanya mengambil manfaat dari tambang saja, tapi tidak memikirkan kerbelanjutan lingkungan. Dinas ESDM NTB sendiri akan ketat dalam memantau sejak mulai proses perizinan. Jangan sampai karena beralasan tambang rakyat, menyepelakan dampak lingkungan.
“Waktu urus izin nanti harus lengkap dokumen pengelolaan lingkungan,’’ katanya.
Jangan Memperparah Kerusakan Hutan
Penetapan ini memang membawa angin segar bagi para penambang yang selama ini dicap ilegal oleh pemerintah. Organisasi lingkungan yang fokus pada investasi di NTB, Green Investment mengingatkan para penambang rakyat di NTB, agar bisa menjaga prinsip dan syarat-syarat keberlangsungan dan keselamatan hidup mereka. Adanya aktivitas penambangan rakyat ini akan banyak mengubah bentang alam, lanskap kehidupan masyarakat akan banyak berubah.
Kalau dulu biasa menikmati keindahan-keindahan alam di lokasi tersebut, sekarang itu hanya akan menjadi angan-angan. Keindahan itu akan menjadi dongeng yang hanya bisa diceritakan oleh pendahulu pada anak cucunya. Dampak yang dikhawatirkan dari tambang rakyat adalah pengelolaan lingkungan dari aktivitas tersebut. Banyak risiko yang akan diditerima antara lain tumbuh pemilik modal di internal para penambang rakyat, reklamasi pascatambang, pengelolaan yang ramah lingkungan. Konflik sosial pun bisa terjadi.
Baca juga : Oligarki Tambang dan Energi di Balik Capres-Cawapres, Apa yang Rawan Tersandera?
Sendi Akramullah perwakilan Green Investment di NTB mengungkapkan, tidak ada yang menginginkan alam itu rusak, tapi di sisi lain rakyat butuh makan. Mereka harus mencari jalan alternatif untuk dapat bertahan hidup. Di tambah lagi pemerintah tidak mampu memberikan akses pekerjaan yang layak bagi masyarakat.
“Padahal di NTB terdapat industri pertambangan besar seperti PT. AMNT (Amman Mineral Nusa Tenggara) dan sekarang PT. STM (Sumbawa Timur Mining), tapi tidak bisa mengakomodir. Tapi nanti tambang rakyat ini jangan seperti perusahaan ini,’’ kata Sendi, Sabtu (06/4/2024).
Sendi juga mengingatkan pemerintah daerah tempat lokasi WPR harus mewaspadai alih fungsi lahan besar-besaran. Saat ini saja, kondisi lahan di Pulau Sumbawa dalam kondisi kritis. Alih fungsi lahan untuk pertanian jagung sudah massif, termasuk juga lahan yang digunakan untuk tambang ilegal. Jangan sampai pemberian izin tambang rakyat nantinya menambah parah kondisi lahan di Pulau Sumbawa dan NTB pada umumnya.
“Tingginya angka deforestasi menjadi pemicu krisis iklim di Pulau Sumbawa, akibatnya hampir semua wilayah terdampak bencana krisis iklim,’’ katanya.
Sendi mengatakan, areal pertambangan yang dua perusahaan besar, PT. AMNT dan PT. Sumbawa Juta Rayat (SJR) beroperasi di sekitar DAS Moyo. DAS Moyo sendiri merupakan penyangga kehidupan bagi sebagian besar masyarakat Sumbawa. Ada sekitar 17.000 hektar lahan kritis dengan tutupan hutan yang minim di sepanjang DAS Moyo ini. Hal ini sangat berdampak pada kurangnya pasokan air ke bendungan, yang secara otomatis mengakibatkan kekeringan pada lahan pertanian.
“Pada musim hujan, kawasan DAS ini juga langganan banjir,’’ katanya.
Siapa Bertanggungjawab ?
Ketua Sahabat Bumi, organisasi lingkungan berbasis di Sumbawa Barat, Musmuliadi Yowry menganggap penetapan WPR di Kabupaten Sumbawa Barat akan menjadi bencana ekologis. Saat ini saja, daerah-daerah yang dulunya lestari berubah menjadi lokasi tambang emas ilegal. Adanya WPR dan nantinya diikuti pemberian izin, bukan menyelesaikan masalah tapi akan menambah masalah baru. Yowry yakin akan bertambah lagi titik-titik penambangan emas ilegal.
“Sekarang tambang emas ilegal sudah di dekat kantor bupati, sudah di tengah kota,’’ katanya.
Baca juga : Refleksi Hari Bumi: Bencana Mendera Kala Lingkungan NTB Rusak
Pada Januari 2024, Yowry mengajak Mongabay Indonesia melihat lokasi penambangan emas ilegal. Dia juga mengajak ke lokasi pengolahan emas yang berada di pinggir Sungai Banjar, dan dekat dengan permukiman warga.
Salah satu lokasi penambangan yang mencolok adalah bukit di belakang RSUD As Syifa. Rumah sakit daerah Sumbawa Barat ini berada persis di pinggir jalan utama dan di belakangnya berdiri bukit. Sekarang dari pinggir jalan terlihat tenda-tenda terpal. Sudah lumrah di tengah masyarakat, jika melihat banyak tenda terpal di atas bukit, berarti ada aktivitas penambangan di tempat itu.
Sementara itu salah satu lokasi pengolahan material tambang itu ada di pinggir Sungai Banjar. Terdapat tong besar. Nantinya bebatuan yang diambil dari lokasi penambangan akan dihaluskan menjadi tanah. Selanjutnya akan dimasukkan ke dalam tong itu, dicampur air, lalu diberikan bahan kimia agar bisa memisahkan emas dengan tanah dan batuan lainnya.
“Mereka buat penampungan limbah, gali tanah, tapi persis di pinggir sungai. Sudah jelas akan merembes ke sungai,’’ katanya.
Yowry yang besar di pinggir sungai Banjar itu pernah menikmati masa-masa bermain dan ikan berlimpah. Sungai itu menjadi kehidupan masyarakat di sepanjang aliran sungai. Sungai menjadi sumber protein, tinggal membawa jaring dan pancing sudah bisa mendapatkan ikan dengan mudah.
“Sejak banyak alih fungsi lahan dan sekarang tambang, susah dapat ikan,’’ katanya.
Menurutnya, dengan penetapan WPR semestinya menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menertibkan tambang ilegal tanpa izin dengan tegas. Sementara yang nantinya memiliki izin harus ketat dikontrol. Pemerintah harus mengawasi pengolahan dan pembuangan limbahnya. Termasuk juga memastikan rehabilitasi lahan setelah penambangan. Jangan sampai setelah selesai mengeruk emasnya, ditinggalkan begitu saja.
“Bencana di Sumbawa Barat akan semakin sering kalau dibiarkan terus,” pungkasnya. (***)
Dampak Pertambangan bagi Masyarakat Pesisir: Harapan atau Ancaman?