Pagi itu, gerimis tipis menyambut kedatangan kami. Bandan (70 tahun), bersama dua kemenakannya sudah menunggu kami di muka ladangnya yang berada di tepi jalan lintas Putussibau – Badau, 755 km dari Pontianak. Bandan adalah anggota masyarakat kampung Ngaung Keruh dari suku Dayak Iban yang kehidupannya banyak bergantung pada keberadaan hutan hujan di Kalimantan Barat.
Mereka membawa kami menelusuri jalan setapak yang bersisian dengan hutan sekunder. “Itu bekas ladang. Sudah lebih dari lima tahun tak dibuka,” ujar Bandan, sambil menunjuk hutan sekunder yang sebenarnya adalah bekas ladang yang telah lama ditinggalkan dan tumbuh kembali menyerupai hutan.
Ladang Bandan berbentuk memanjang di bagian muka. Bagian belakangnya membulat seperti kantong. Ladang ini berbatasan dengan sungai kecil berair bening kecoklatan, khas warna air di daerah bergambut.
Ladang Bandan hanya berjarak sekitar 1 km dari rumah betang (rumah panjang) khas suku Dayak Iban di Kampung Ngaung Keruh, Desa Labian, Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ia bersama istri, bibi, dan dua kemenakannya tengah memanen padi ladang seluas sekitar 2 ha. Ada enam jenis padi yang ditanam; termasuk beras putih, merah, hingga pulut (ketan).
“Lahan ini sudah enam kali kami jadikan ladang. Sesudah pesta gawai adat, pesta panen pada Juni mendatang, kami akan pindah, siapkan lahan untuk ladang baru. Lahan ini akan kami biarkan, mungkin 5-6 tahun mendatang, kami akan kembali lagi ke sini,” kata Bandan.
Tradisi ribuan tahun
Bandan dan keluarganya menerapkan pertanian ladang (swidden agriculture) atau perladangan gilir-balik. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk penggunaan lahan yang melibatkan masa tanam dan masa bera.
Masa tanam dilakukan di ladang atau umai dalam Bahasa Iban—dulunya lahan berhutan yang dibersihkan untuk menumbuhkan tanaman pangan. Adakalanya tanaman pangan dikombinasikan dengan tanaman keras semusim lainnya seperti manggis, cempedak, dan sebagainya, baik dalam satu kurun waktu atau dalam beberapa periode dalam pola wanatani (agroforestry).
Sementara itu, masa bera adalah saat lahan itu dibiarkan. Di masa ini, beragam vegetasi tumbuh secara alami.
Praktik perladangan gilir-balik telah berlangsung sejak jaman neolitik (sekitar 10.000 tahun yang lalu) dan hingga kini masih ditemukan di banyak tempat di dunia, khususnya di Asia Tenggara. Sistem pertanian ini dianggap yang paling awal berkembang setelah sistem berburu dan meramu.
Bandan mengelola ladang hasil membuka hutan puluhan tahun silam bersama ayahnya, ketika Kampung Ngaung Keruh pindah ke lokasi saat ini. Lokasi kampung sebelumnya dianggap tanah angat, yakni banyak orang yang sakit dan berakhir dengan kematian di tempat tersebut dalam waktu berdekatan. Orang Iban meyakini bahwa tanah atau rumah panjang tersebut telah diganggu roh-roh jahat sehingga membawa bala dan tidak subur.
Bandan mengawali pembukaan lahan dengan menebang pohon-pohon kayu besar. Kayu yang bagus dijadikan bahan untuk memperbaiki rumah betang. Kayu lainnya untuk membangun pondok.
Kayu-kayu kecil biasanya dijadikan kayu bakar, sedangkan sisanya dibiarkan 3-4 minggu hingga kering dan siap dibakar. Itulah sumber unsur hara yang menyuburkan tanah.
Sistem tebas – tebang – bakar dalam praktik gilir-balik sering mendapat stigma negatif, padahal sistem ini menjadi strategi adaptasi masyarakat terhadap tanah Kalimantan yang keasamannya tinggi. Sebab, sistem ini dapat mengurangi kadar asam tanah dan menambah hara atau kesuburannya.
Setelah menebang dan menebas, Bandan dan keluarganya akan menanam benih-benih aneka jenis padi dan pulut untuk dipanen tujuh bulan kemudian.
Sesudah masa panen dan tanam hingga beberapa tahun, lahan yang dianggap sudah kurang kesuburannya akan dibiarkan. Harapannya, lahan dapat ditumbuhi berbagai belukar yang lama kelamaan menjadi hutan muda, bahkan menjadi hutan sekunder.
Banyak juga bekas ladang yang dikelola dengan pola wanatani, dengan ditanami tengkawang (buah meranti penghasil minyak nabati), aneka buah lokal, karet, rotan, aren dan tumbuhan hutan lainnya, hingga membentuk ekosistem dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
Sejak masa lalu, tujuan, orientasi dan prioritas utama peladang gilir-balik adalah menghasilkan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten). Ini sejalan dengan temuan beberapa kajian yang memperlihatkan bahwa kendati pola penghidupan masyarakat adat banyak yang sudah berubah, sistem ladang gilir-balik di Asia Tenggara dan Asia Selatan berperan penting menjaga ketahanan pangan dan mempertahankan aneka benih padi lokal serta budaya masyarakat di daerah-daerah tropis.
Segudang manfaat gilir-balik
Bagi masyarakat Ngaung Keruh, praktik gilir-balik telah memberikan aneka sumber penghidupan dan pangan yang kaya nutrisi.
Ada biji tengkawang yang diolah menjadi mentega untuk dicampur langsung dengan nasi hangat, minyak goreng, obat tradisional maupun bahan kosmetik. Daun dan kulit kayu tengkawang juga menjadi bahan pewarna alami tenun tradisional. Mereka juga menanam beragam tumbuhan seperti sirih, pinang dan kunyit untuk pengobatan dan upacara adat.
Sistem perladangan gilir-balik juga berkontribusi pada [ketahanan ekonomi]. Selain menanam padi, masyarakat Dayak Iban juga menanam jagung, sayuran dan rempah-rempah untuk diperdagangkan, baik di pasar maupun antar masyarakat. Praktik ini sudah berlangsung sejak masa pra kemerdekaan. Melalui sistem ini, masyarakat dapat bertahan dengan produksi pangan mereka sendiri saat harga komoditas, seperti karet atau merica, menurun. Dengan menanam lebih banyak jenis tanaman, masyarakat juga memiliki berbagai jenis produk yang dapat dijual.
Kegiatan tersebut mematahkan mitos yang kuat bahwa perladangan gilir-balik hanya bersifat subsisten dan terputus dengan dunia luar atau non-komersial.
Selain menghasilkan beragam komoditas, praktik ladang gilir-balik juga memberikan masyarakat kesempatan mengerjakan pekerjaan lain di antara masa tanam dan panen, seperti bekerja sebagai tukang bangunan, menoreh karet, menangkap ikan, menenun kain tradisional dan sebagainya*. Hal ini berbeda dengan sistem pertanian sawah yang menuntut kehadiran petani setiap saat di sawahnya.
Bagian kedua artikel perladangan gilir-balik dapat diakses di tautan ini
Valentinus Heri dari Yayasan Riak Bumi Indonesia berkontribusi dalam penulisan artikel ini.