- Ancaman kehilangan ruang hidup dan penghidupan masih terus dihadapi para nelayan kecil dan tradisional di seluruh Indonesia di tengah berlangsungnya pembangunan pesisir dan pulau kecil
- Walhi melihat ancaman ini menjadi gambaran bahwa negara gagal melindungi dan mengakui nelayan sebagai pahlawan protein bangsa. Padahal, jutaan nelayan yang saat ini hidup di pesisir Indonesia adalah pilar bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
- Melindungi nelayan dari segala ancaman dan bahaya, seharusnya menjadi tugas dari negara. Sayangnya, tugas itu tidak berhasil dijalankan dengan baik
- Perempuan nelayan hadapi persoalan. Selama ini, perempuan nelayan belum mendapatkan kesetaraan saat bekerja dengan peran mereka yang sentral pada keluarga nelayan.
Ancaman kehilangan ruang hidup dan penghidupan masih terus dihadapi para nelayan kecil dan tradisional di seluruh Indonesia. Ancaman ini menjadi gambaran bahwa negara gagal melindungi dan mengakui nelayan sebagai pahlawan protein bangsa.
Setidaknya, fakta ini terlihat di Kalimantan Timur, khusus Teluk Balikpapan, Jawa Tengah, dan Kepulauan Bangka Belitung. Para nelayan di ketiga provinsi tersebut sedang berjuang bisa bertahan menghadapi ancaman.
Manajer Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin mengatakan, jutaan nelayan yang saat ini hidup di pesisir adalah pilar bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
“Jika pemerintah gagal melindungi mereka dalam sepuluh tahuh ini, maka negara ini sedang menuju keruntuhan,” tegasnya kepada Mongabay, awal April 2024.
Nelayan Indonesia, katanya, terus terpinggirkan karena kebijakan pembangunan. Meskipun, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan kampanye tentang Indonesia menjadi poros maritim dunia, salah satu isinya menjadikan nelayan sebagai aktor utama dalam pengelolaan pangan laut.
Kenyataan, katanya, nasib nelayan terancam makin terpuruk kalau pemerintah tidak memberikan perhatian serius. Pasca Pemilu 2024 dan pergantian presiden, katanya, dinilai menjadi saat tepat bagi pemerintah untuk evaluasi dan menghentikan berbagai kebijakan yang meminggirkan nelayan dan memicu penurunan jumlah nelayan.
Baca : Dampak Pertambangan bagi Masyarakat Pesisir: Harapan atau Ancaman?
Menurut Parid, pemerintah harus bisa tegas melihat kembali mandat Undang-undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
UU tersebut mewajibkan pemerintah menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan. Adapun, skema perlindungan yang dimandatkan UU ini antara lain menyediakan prasarana usaha perikanan dan kemudahan berusaha.
UU juga memandatkan negara untuk memberikan jaminan kepastian usaha, memberikan jaminan risiko penangkapan ikan dalam bentuk asuransi nelayan, menghapus praktik ekonomi biaya tinggi, mengendalikan impor komoditas perikanan, serta jaminan keamanan dan keselamatan nelayan.
“Seluruh isi UU ini wajib dijalankan oleh pemerintah pusat dan juga setiap pemerintah daerah di Indonesia,” katanya.
“Nelayan adalah pahlawan protein bangsa. Keberadaan mereka juga menjadi penanda eksistensi negeri ini. Hilangnya mereka menjadi penanda runtuhnya Indonesia sebagai negara nelayan kepulauan terbesar di dunia.”
Kerusakan Teluk Balikpapan
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pesisir Kalimantan Timur Mapaselle menjelaskan, ancaman para nelayan di wilayahnya semakin meruncing sejak pemerintah memulai pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Sebelum ada pembangunan IKN, nelayan di Teluk Balikpapan sudah berhadapan dengan ancaman perampasan ruang laut karena Peraturan Daerah Kalimantan Timur Nomor 2/2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kalimantan Timur tahun 2021-2041. Dalam kebijakan itu, menyebabkan wilayah permukiman nelayan tidak diakui.
Berdasarkan perda itu, permukiman nelayan hanya diberikan alokasi lahan 31,80 hektar. Kebijakan ini dinilai menjadi upaya peminggiran terencana bagi lebih dari 10.000 nelayan di Teluk Balikpapan dan Kaltim, umumnya.
Perlu dibaca : Nelayan Teluk Balikpapan, Sudah Terhimpit Makin Terancam Kehadiran IKN Nusantara
Mapaselle yang berdarah Sulawesi Selatan ini, nyatakan, sudah menetap di sekitar Teluk Balikpapan sejak 1992. Kedatangannya ke pesisir yang masuk Kota Balikpapan itu karena perairan itu pynya sumber ikan melimpah.
Seiring berjalan waktu, mulai era 2000-an, ekosistem di Teluk Balikpapan mengalami kerusakan karena mulai marak pembangunan industri. Saat itu, banyak hutan dan mangrove mengalami kehancuran juga berdampak pada kerusakan terumbu karang.
“Ekosistem mangrove semakin rusak sampai hari ini, apalagi dengan adanya pembangunan IKN. Beragam kerusakan ini berdampak terhadap kehidupan nelayan,” katanya dalam siaran pers Walhi, awal April 2024.
Kerusakan perairan Teluk Balikpapan yang diperparah oleh pembangunan IKN, membuat masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan merasakan kecemasan tinggi akibat sumber kehidupan dan penghidupan mulai tergusur secara perlahan.
“Bukan alat berat atau eskavator yang membuat kami hengkang, melainkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Jika pesisir dan laut rusak, maka tamatlah hidup kami,” ucapnya.
Mapaselle meminta, pemerintah mempertimbangkan kelanjutan pembangunan IKN yang secara administrasi masuk dalam Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim.
Menurut dia, pembangunan IKN hanya akan semakin menghancurkan ekosistem Teluk Balikpapan yang selama turun temurun sudah menjadi wilayah tangkap para nelayan. Sudah saatnya, pulihkan Teluk Balikpapan untuk kembali menjadi hijau dengan laut yang biru.
“Jika itu bisa dijamin oleh Pemerintah, maka kehidupan dan mata pencaharian nelayan akan terjamin pula. Jika tidak, maka kami akan punah,” tegasnya.
Baca juga : Bagaimana Nasib Kawasan Mangrove Teluk Balikpapan Kala Ada IKN Nusantara?
Dampak Pertambangan Timah Babel
Ancaman juga dialami nelayan di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), karena pertambangan timah. Luas lautan yang mencapai 6,5 juta hektare di provinsi tersebut, nyatanya tidak menjamin para nelayan yang tersebar di 309 desa pesisir untuk bisa mendapatkan wilayah tangkap yang aman dan nyaman.
Direktur WALHI Bangka Belitung Ahmad Subhan Hafiz menerangkan, limbah pertambangan timah berupa logam berat mengalir sejauh 6-7 mil di laut dengan daya rusak sangat berbahaya bagi ekosistem laut, juga bagi kehidupan nelayan.
Logam berat sangat berbahaya untuk jangka panjang dan mengancam kehidupan keanekaragaman hayati laut dan manusia. Ancaman itu ada, karena logam berat akan terakumulasi di dalam tubuh biota laut dan sangat berbahaya ketika dikonsumsi oleh manusia.
Selama lima hingga 10 tahun ke depan, logam berat akan memicu krisis ekologi di laut, dan itu akan menurunkan daya dukung lingkungan yang berimbas pada ekosistem di laut dan pesisir. Agar tidak semakin menurun, izin industri ekstraktif skala besar harus dipertimbangkan untuk ditambah atau diperpanjang.
“Mendesak pemerintah pusat dan daerah memoratorium izin-izin baru, baik di darat maupun laut. Kemudian segera melakukan penegakan hukum lingkungan dan pemulihan berbasis kearifan lokal,” ungkapnya.
Berdasarkan Analisa citra satelit WALHI Babel, luasan terumbu karang di Babel pada 2015 mencapai 82.259 ha dan menurun jadi seluas 12.474 ha pada 2017. Itu berarti, terumbu karang di Babel berkurang 64.514 ha dalam dua tahun terakhir, dengan 5.270 ha diketahui mati.
Baca juga : Dugaan Korupsi Tambang Timah Rp271 Triliun, Lingkungan Bangka Belitung Rusak Parah
Industri Bermekaran
Sementara, Direktur WALHI Jawa Tengah Fahmi Bastian menyebutkan kalau ruang tangkap nelayan di Jawa Tengah terus mengalami penyempitan, disebabkan karena wilayah pesisir dan laut sudah ditetapkan oleh pemerintah menjadi kawasan industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Contohnya, nelayan kehilangan wilayah tangkap di Kota Semarang, karena kawasan pesisirnya ditetapkan sebagai kawasan industri oleh pemerintah. Kemudian, hal serupa juga terjadi di pesisir Batang yang dijadikan kawasan ekonomi khusus (KEK) oleh pemerintah dan kemudian berdampak pada nelayan lokal.
Selain itu, nelayan di Jateng juga terancam oleh degradasi lingkungan sejak lama seperti di sepanjang Pantai Utara di Demak dan Kota Pekalongan. Kondisi itu memicu tenggelamnya desa-desa pesisir yang menjadi tempat tinggal nelayan.
WALHI Jateng menilai, jika proyek pesisir seperti pembangunan tembok raksasa di pesisir dilanjutkan, maka wilayah tangkap nelayan akan semakin hancur. Akibatnya, profesi nelayan akan semakin terancam dan kehidupan masyarakat pesisir semakin terpuruk.
Tak cukup di situ, ancaman juga dirasakan nelayan, karena pemerintah menetapkan Demak sebagai salah satu lokasi pengerukan pasir laut dengan luas mencapai 574.384.627,45 meter persegi (m2) dan volume sebanyak 1.723.153.882,35 meter kubik (m3).
“Ini jumlah yang sangat besar sekali. Penambangan pasir ini akan semakin menghancurkan kehidupan nelayan,” tegasnya.
Fahmi menyebut, akumulasi dari berbagai kehancuran itu telah menyebabkan pengurangan jumlah nelayan di Jawa Tengah lebih dari 10 ribu orang dalam lima tahun terakhir. Pada 2018, jumlah yang tercatat sebanyak 266 ribu jiwa, menjadi 254 ribu jiwa pada 2022.
Baca juga : Nasib Abu-abu Nelayan Tradisional dan Kecil
Nasib Perempuan Nelayan
Di antara yang menjadi perhatian nasib nelayan, adalah perempuan nelayan. Selama ini, nasib mereka belum sebagus nelayan yang didominasi kaum pria. Perempuan nelayan seharusnya bisa mendapatkan kesetaraan hak-hak yang selama ini didapatkan nelayan pria.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan bahwa perempuan nelayan harus mendapatkan ruang inklusif saat terlibat dalam sektor kelautan dan perikanan. Perjuangan itu harus diteruskan, karena selama ini perempuan nelayan tidak mendapatkannya.
“Pelibatan dan partisipasi yang bermakna dari perempuan nelayan sangat minim, terutama dalam pengambilan keputusan yang nantinya akan berdampak kepada mereka,” jelasnya.
Perlunya menerapkan kesetaraan hak bagi perempuan nelayan, adalah karena peran mereka sangat sentral bagi perekonomian keluarga nelayan yang menyebarluas di 12.510 desa pesisir seluruh Indonesia. Peran mereka ada sejak pra dan pascaproduksi, dan berjalan hampir 17 jam setiap hari.
Akan tetapi, peran krusial perempuan nelayan dalam profesi nelayan ini belum dilihat sebagai sesuatu yang penting oleh pemerintah. Itu berdampak pada keberpihakan dan apresiasi kepada mereka dalam profesi Nelayan masih sangat minim diberikan Pemerintah.
“Salah satu penyebabnya, karena masih kentalnya budaya patriarki yang terwujud dalam sistem sosial yang menempatkan perempuan hanya sebagai objek tanpa kesetaraan hak yang sama,” paparnya.
Susan menyebutkan, perempuan nelayan kini tengah menghadapi berbagai persoalan, khususnya perampasan ruang laut (ocean grabbing) yang saat ini sangat masif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Praktik tersebut adalah bentuk penindasan baru yang juga berakar dari budaya patriarkis dan disahkan oleh sistem negara melalui berbagai bentuk kebijakan, peraturan, dan orientasi pembangunan, serta ekonomi yang bersifat diskriminatif dan tidak berpihak pada perempuan.
Tegasnya, dia menyebut kalau negara sampai saat ini masih belum mengakui perempuan sebagai subjek yang berdaya dan berdaulat atas sumber daya laut. Fakta itu berpotensi menjadikan perempuan nelayan sebagai korban dan akan merasakan dampak paling besar dari perampasan ruang laut tersebut.
Baca juga : Perempuan Nelayan, Profesi Berat tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?
Dampak paling dirasakan akibat ocean grabbing, adalah hilangnya hak dan kedaulatan perempuan untuk mengakses laut, dan mengelola laut sesuai praktik-praktik berbasis kearifan lokal perempuan yang telah dikerjakan dan diwariskan secara kolektif sebagai kekayaan intelektual perempuan Indonesia.
Menurut Susan, itu semua merupakan fakta diskriminatif yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010 yang menjamin hak untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan ruang laut, serta Inpres No.9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Namun demikian, walau resiko dan ancaman terus meningkat cepat, pemerintah dinilai masih belum paham dan tidak berniat memahami akan fakta dan ancaman yang dihadapi para perempuan nelayan di seluruh negeri. Semua itu menjadi beban ganda yang harus dihadapi para perempuan nelayan selama bertahun-tahun.
Baginya, untuk mengatasi semua persoalan yang dihadapi perempuan nelayan, adalah pemerintah menjalankan amanat konstitusi untuk melindungi dan memberdayakan perempuan nelayan. Juga, mengevaluasi serta menghentikan proyek ekstraktif yang eksploitatif dan berpotensi merampas ruang hidup perempuan nelayan.
“Pemerintah harus berbenah, membuktikan bahwa perspektif dan budaya pemerintah bukan patriarki,” tegasnya. (***)
Ironi Hari Nelayan: Peringatan Formal vs Nasib yang Tak Berubah