- Sumber energi matahari di Indonesia, berlimpah, tetapi pemanfataan terkendala. Realisasi kapasitas PLTS terpasang pada 2022 baru 271,6 MW, jauh di bawah rencana 893,3 MW, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), KESDM.
- Data KESDM (2022) menunjukkan, Indonesia memiliki potensi teknis energi surya 3.294 gigawatt-peak (GWp), meningkat dari 207 GWp pada perhitungan sebelumnya dalam encana Umum Energi Nasional (RUEN).
- Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menyayangkan, capaian rendah itu. Terlebih lagi, PLTS dapat menjadi kunci pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) khusus sektor ketenagalistrikan.
- Beyrra Triasdian, Program Manager Energi Terbarukan Trend Asia mengatakan, meskipun PLTS skala residensial perlu biaya dan perawatan lebih tinggi, skala komunitas dan rumah tangga menjadi solusi terbaik untuk memenuhi target bauran energi terbarukan. Seharusnya, pemerintah tak membatasi pemanfaatan PLTS atap pada skala komunitas dan rumah tangga. Sebaliknya, pemerintah kini justru fokus membangun PLTS skala besar yang sarat masalah dan belum memenuhi kebutuhan masyarakat secara adil.
Desa Ilomata berada di Kecamatan Bulango Ulu, Bone Bolango, Gorontalo merupakan wilayah terisolir. Jarak sekitar 19 kilometer dari Kota Gorontalo, dan 31 kilometer dari pusat Pemerintah Bone Bolango. Akses jalan kurang baik, desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) ini awalnya tak teraliri listrik negara. Masyarakat di sana pun pernah penuhi energi dengan sinar mahatari.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) memberikan bantuan PLTS berkapasitas 15 Kwp pada 2014. Mahmud Idris, warga Ilomata mengatakan, saat aktif sekitar 75 keluarga menikmati listrik dari tenaga matahari itu. Setiap keluarga dapat meteran dengan kapasitas 250 Watt dan pembayaran sekitar Rp20.000 per-bulan.
Saat dapat bantuan PLTS itu seperti “hujan di siang bolong.”
“PLTS itu membawa keterangan di Desa Ilomata yang sudah puluhan tahun mengalami kegelapan. Kami sangat bersyukur karena anak-anak kami saat itu bisa belajar dengan cahaya cukup terang,” kata Mahmud kepada Mongabay.
Namun, katanya, PLTS hanya bertahan beberapa tahun saja karena sering mengalami kerusakan. Puncaknya, pada 2018 menjadi tahun akhir sumber energi terbarukan itu beroperasi. Saat itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mulai masuk di Desa Ilomata, dan masyarakat ramai-ramai beralih dari energi bersih ke energi dari bakar fosil itu.
PLTS di Dusun III, Desa Ilomata sudah tidak sama sekali berfungsi atau terbengkalai. Ada sekitar 30 penal surya digunakan di PLTS itu terlihat rapuh dan berkarat. Peralatan pendukung lain pun mengalami hal serupa. Masyarakat sekitar juga sudah pakai listrik PLN.
“Masyarakat di Desa Ilomata sudah menggunakan PLN. Jika PLTS ini tidak rusak, mungkin masih ada yang pakai sumber listriknya,” kata Mahmud.
Andai, warga mendapatkan pendampingan dan pengetahuan mengenai perawatan dan perbaikan PLTS saat terjadi kerusakan, sumber energi terbarukan itu masih terus mereka gunakan. Desa Ilomata, hanya dari contoh dari begitu banyak desa atau daerah lain alami serupa. Sumber energinya berlimpah, tetapi pemanfataan terkendala.
Data KESDM (2022) menunjukkan, Indonesia memiliki potensi teknis energi surya 3.294 gigawatt-peak (GWp), meningkat dari 207 GWp pada perhitungan sebelumnya dalam encana Umum Energi Nasional (RUEN).
Bahkan, menurut hitungan Institute for Essential Services Reform (IERS) dan Global Environmental Institute (GEI) 2021 menemukan, potensi teknis energi surya di Indonesia dapat mencapai sekitar 20.000 GWp tergantung asumsi kesesuaian lahan.
Meskipun potensi energi sangat besar, realisasi kapasitas PLTS terpasang pada 2022 baru 271,6 MW atau jauh di bawah rencana 893,3 MW, berdasarkan data Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), KESDM. Angka itu masih sangat kecil dibandingkan pemanfaatan energi surya di negara lain yang mencapai orde gigawatt.
Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR menyayangkan, capaian rendah itu. Terlebih lagi, PLTS dapat menjadi kunci pencapaian target energi terbarukan dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) khusus sektor ketenagalistrikan.
“Potensi pasar PLTS cukup baik. Namun, regulasi dan kombinasi kerangka kebijakan belum sepenuhnya mendukung, membuat tenaga listrik dari sumber energi matahari ini belum maksimal,” kata Marlistya melalui pesan WhatsApp kepada Mongabay, 29 April lalu.
Padahal, katanya, kebijakan Pemerintah Indonesia untuk moratorium pengembangan proyek pembangkit listrik berbahan bakar batubara baru dan target jangka panjang net-zero emission (NZE), dapat menciptakan peluang memaksimal potensi energi terbarukan, terutama tenaga surya.
KESDM mencatat, capaian bauran energi terbarukan sampai 2023 baru 13,09%, dan penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara masih mendominasi. Padahal, katanya, kurang lebih dua tahun lagi, target bauran energi terbarukan harus mencapai 23% pada 2025.

Studi Asian Development Bank (ADB) memprediksi, Indonesia bakal gagal mencapai target bauran energi melalui energi terbarukan. Penyebabnya, antara lain, biaya proyek energi terbarukan lebih tinggi dibandingkan penetapan harga tertinggi pembelian, ketidakmampuan mengintegrasikan energi terbarukan serta tidak memadainya panduan perencanaan dan biaya tinggi serta risiko energi terbarukan di Indonesia.
ADB juga menginventarisir penyebab lain, misal, perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) tak berimbang hingga berdampak pada PPA menjadi kurang bankable. Juga potensi benturan kepentingan dalam peran PLN sebagai perencana, operator, dan generator pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Alhasil, pada Januari 2024, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) merevisi target bauran energi terbarukan pada 2025 menjadi 17-19% dari sebelumnya 23% lewat pembaharuan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
KESDM beralasan, target bauran energi terbarukan dI Indonesia seharusnya bukan dalam bentuk persentase, melainkan dalam satuan angka kapasitas terpasang. Sementara perubahan target di kisaran angka ini agar capaian target tetap masuk meski hanya tercapai di skenario angka terendah.
Adapun peta jalan transisi energi pada Revisi PP KEN itu, target pada 2030 bauran energi primer energi terbarukan 19-21%, pada 2030 sekitar 25-26%, kemudian pada 2040 mencapai 38-41%, hingga pada 2060 sebesar 70-72%.
Dengan perubahan target itu, Marlistya pesimistis Indonesia bisa mencapai target Persetujuan Paris. Apalagi, ada kebijakan membatasi pemanfaatan PLTS sekitar 10-15% dari kapasitas membuat keekonomian sumber energi ini jadi rendah dan tak menarik. Akibatnya, sepanjang 2021-2022, kondisi PLTS atap mengalami stagnasi.
“Belum lagi persoalan Tingkat Komponen Dalam Negeri untuk harga listrik tenaga surya yang ‘disamakan’ dengan pembangkit fosil membuat daya tarik investasi rendah. Terlebih lagi, proses pengadaan tidak reguler dan kurang transparan,” katanya.
Regulasi menyulitkan
Pada Januari 2024, pemerintah membuat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2/2024 tentang PLTS atap yang terhubung pada jaringan tenaga listrik pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL) untuk kepentingan umum. Regulasi ini revisi dari peraturan sebelumnya Permen ESDM Nomor 26/2021.
Dalam peraturan ini, skema net-metering hilang hingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PLN tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.
Net metering adalah sistem layanan PLN untuk pelanggan yang memasang sistem PLTS di properti mereka. Artinya, meskipun memasang sistem PLTS untuk kebutuhan rumah tangga, tetap harus menggunakan jaringan listrik konvensional (PLN).
Permen ini juga menetapkan mekanisme kuota sistem PLTS atap pada sistem kelistrikan pemilik izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum (IUPTLU) untuk lima tahun. Regulasi ini juga menetapkan periode pendaftaran setahun dua kali dan kompensasi oleh negara pada PLN kalau biaya pokok penyediaan tenaga listrik terdampak karena penetrasi PLTS atap.
Beyrra Triasdian, Program Manager Energi Terbarukan Trend Asia mengatakan, penambahan pasal yang mensyaratkan kuota ini mengkhawatirkan jika pengusulan secara subjektif berdasarkan kepentingan bisnis dari pemegang IUPTL yakni PLN. Alih-alih mendukung transisi energi terbarukan, permen itu justru akan menghambat penambahan PLTS atap.
Dalam Permen ESDM Nomor 2/2024 itu menjelaskan, PLN diberikan porsi besar selaku pemegang IUPTL dalam mengusulkan kuota PLTS atap on grid. Prosedurnya, pemegang IUPTL mengusulkan kuota pengembangan PLTS atap kepada Dirjen Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi.
Sisi lain, kata Beyrra, kondisi kelistrikan Indonesia sedang mengalami pasokan berlebih karena pembangkit skala besar berbasis fosil. Berarti usulan kuota PLTS atap dari pemegang izin IUPTL bisa sangat kecil bahkan mungkin tidak diusulkan dengan dalih kelebihan pasokan (oversupply). Terlebih lagi, katanya, masih ada PLTU yang terlanjur dibangun.
“Penentuan kuota ini akan menghambat pemanfaatan potensi energi terbarukan secara maksimal. Pemerintah Indonesia tidak merasa diuntungkan jika tidak mensyaratkan kuota ini,” kata Beyrra kepada Mongabay, 29 April lalu.
Dia menduga, regulasi itu jadi alat mengakomodasi kepentingan PLN untuk menurunkan potensi ekspor listrik dari pengguna PLTS karena regulasi net-metering. Selain itu, ada pola perjanjian jual-beli batubara yang terlanjur ditandatangani pemerintah, dan ada kesalahan perhitungan kebutuhan listrik Indonesia yang menyebabkan kelebihan pasokan.
“Tak heran, bauran energi listrik Indonesia masih mayoritas dari energi fosil, khusus berbahan bakar batubara yang sudah terbukti merusak lingkungan,” katanya.

Alasan oversupply hanya terjadi di pulau-pulau besar, dan banyak pulau-pulau kecil Indonesia belum teraliri listrik hingga kini. Data Kementerian ESDM menyebut, hingga akhir 2023, masih ada 185.662 rumah tangga tersebar di 140 desa belum teraliri listrik. Desa-desa itu terkonsentrasi di Papua.
Padahal, menurut riset IESR, potensi teknis PLTS atap bisa mencapai 655 GWp untuk bangunan rumah saja. Pembangunan pun bisa cepat dengan melibatkan investasi masyarakat, tanpa membebani pemerintah. PLTS atap pun dapat menutupi kesenjangan dengan target bauran energi terbarukan 2025 sebesar 3-4 GW.
“Untuk kejadian skala residensial ini, Pemerintah Indonesia tidak merasa diuntungkan, sekalipun masyarakat memanfaatkan energi matahari ini secara sukarela, maupun menyediakan biaya modal pembangkit listriknya sendiri.”
Meskipun PLTS skala residensial akan perlu biaya dan perawatan lebih tinggi, kata Beyrra, skala komunitas dan rumah tangga menjadi solusi terbaik untuk memenuhi target bauran energi terbarukan. Seharusnya, pemerintah tak membatasi pemanfaatan PLTS atap pada skala komunitas dan rumah tangga.
Sebaliknya, kata Beyrra, pemerintah kini justru fokus membangun PLTS skala besar yang sarat masalah dan belum memenuhi kebutuhan masyarakat secara adil. Adil yang dia maksud itu harus memenuhi free, prior, informed, dan consent (FPIC), dengan semua pihak termasuk masyarakat berhak diberitahu sebelumnya dengan segala risiko agar bisa memutuskan “setuju” atau “tidak.”
Apa yang dimaksud Beyrra itu sejalan dengan survei pasar IESR di tujuh provinsi di Indonesia pada 2019-2021. Hasilnya ,menunjukkan, keekonomian menjadi salah satu faktor penting dan penentu bagi pelanggan residensial untuk menggunakan PLTS atap. Mayoritas responden juga ingin mendapatkan penghematan minimal 50% dan prosedur pemasangan jelas serta cepat.
Sedangkan, menurut Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target proyek strategis nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap pada 2025 dan target energi terbarukan 23% pada tahun sama.
Menurut Fabby, dampak dari peniadaan skema ini adalah penurunan keekonomian PLTS atap khusus di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak malam hari. Dengan begitu, katanya, pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil cenderung menunda adopsi PLTS atap. Pendeknya, regulasi ini justru menjepit penggunaan energi bersih di Indonesia.
Fabby bilang, tanpa net-metering, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage). Menurut dia, dengan tarif listrik dikendalikan PLN, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap terpasang pada kapasitas minimum, sebesar 2-3 kWp untuk konsumen kategori R1.
“Tanpa net-metering dan biaya baterai masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi hingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” kata Fabby dalam rilis yang diterima Mongagay.
Menurut Marlistya, penghapusan biaya paralel itu akan menambah daya tarik bagi pelanggan industri. Namun kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga ikut menambah komponen biaya pemasangan.
Marlistya menyayangkan, permen ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN, yang dapat menghambat partisipasi konsumen listrik dalam mendukung tujuan pemerintah mempercepat transisi energi di Indonesia. Padahal, katanya, PLTS atap langkah strategis menggenjot energi terbarukan dengan biaya gotong royong.
“PLTS atap menjadi upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang murah dan tidak membebani negara karena konsumen listrik melakukan investasi dalam energi terbarukan tanpa subsidi negara.”
Fabby mendesak, ada evaluasi setelah satu tahun pelaksanaan permen untuk mengetahui efektivitas dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Pemerintah pun perlu terbuka merevisi pada 2025 seiring penurunan ancaman overcapacity listrik PLN di Jawa-Bali.
Surya begitu melimpah di negeri ini. Peluang besar kembangkan energi terbarukan bersumber matahari ini terlebih kalau kebijakan pemerintah mendukung dan memberi kemudahan.
Selamat Hari Surya Sedunia!


*****