Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?
Kalo ngomongin soal harga minyak bumi, pasti yang pertama terlintas di pikiran banyak orang adalah harga yang mahal – apalag, bahan bakar minyak memang sangat sering menjadi target kenaikkan harga hampir setiap tahunnya. Penyebabnya pun selalu ada saja, baik itu dari masalah domestik, maupun dampak perang di luar sana.
Perang di Ukraina yang meletus pada 2022 misalnya, sempat membuat semua negara di dunia khawatir karena dampaknya terhadap kenaikkan harga minyak dunia. Kini, perang di Timur Tengah yang sewaktu-waktu bisa ikut menaikkan harga minyak juga mampu menjadi momok menyeramkan bagi semua negara.
Dan kalau ngomongin minyak bumi, selain kenaikannya berpotensi menghasilkan krisis ekonomi, komoditas ini juga sebetunya cukup dibenci banyak orang karena dianggap merusak lingkungan. Terkhusus orang-orang yang tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta misalnya, pasti memiliki kebencian khusus terhadap minyak bumi karena setiap hari dihadapi penatnya asap polusi.
Karena hal inilah muncullah kampanye-kampanye hijau yang berusaha mengganti energi minyak bumi dengan sumber energi alternatif. Beberapa bahkan telah menjadi dorongan bisnis untuk penciptaan mobil non-minyak bumi yang lebih banyak.
Namun, walaupun punya alasan yang kuat untuk diganti, kenapa ya mayoritas negara di dunia masih tetap mengandalkan bahan bakar fosil ini?
Pasalnya, jika menggunakan prediksi US Energy Infromation Administration saja, di tahun 2050 nanti bauran energi masih akan didominasi oleh pasokan dari minyak bumi. Hmm, kenapa ya? Well, inilah alasan politik mengapa mustahil menghilangkan penggunaan minyak bumi.
Minyak Bumi, Permainan Politik AS
Di dalam bisnis, performa suatu produk di pasar tentu sangat ditentukan oleh permintaannya, jika suatu barang diciptakan dan tidak memiliki pelanggan maka barang tersebut sudah pasti tidak akan bertahan lama di dalam pasar. Sebaliknya, jika suatu barang memiliki klaster konsumennya sendiri yang bisa menjamin bisnisnya, maka produk tersebut sudah pasti akan selalu ada di stand pasar.
Namun, logika pasar ini menjadi berlipat-lipat kali lebih menarik dalam perdagangan minyak bumi dunia karena di dalam bisnis ini terdapat satu negara yang menjadi konsumen terbesarnya dalam angka yang sangat tinggi, sekaligus juga menjadi produsen terbesar yang angkanya pun jauh mendominasi negara lain. Ya, negara itu adalah Amerika Serikat (AS).
Kendati populernya negara Semenanjung Arab dianggap sebagai para pemain terbesar minyak bumi dunia, angka yang diproduksi AS sangat jauh mengungguli negara seperti Arab Saudi. Saudi diketahui memproduksi 11 persen dari minyak dunia yang diperjualbelikan setiap tahunnya, sementara AS memproduksi setidaknya 22 persen minyak dunia. Dari segi konsumsi, AS diketahui menjadi pembeli dengan porsi 20,3 persen dari total dunia, di atas peringkat kedua yaitu Tiongkok dengan 13,2 persen.
Jika kita berkaca pada prinsip monopoli bisnis di mana seseorang yang menguasai supply dan demand suatu produk akan mendominasi bisnis tersebut, maka di dalam bisnis minyak bumi posisi AS sebagai konsumen dan produsen terbesra memberikan mereka kekuatan besar dalam menentukan harga minyak global dan menjaga stabilitas pasar. Sebagai hasilnya, upaya untuk beralih ke energi elektrik akan menghadapi hambatan politik yang signifikan, karena Amerika memiliki insentif untuk mempertahankan dominasinya dalam industri minyak.
Industri minyak pun memiliki kekuatan politik yang besar di politik internal AS, dengan lobi para perusahaan minyak besar yang kuat di Kongres dan di pemerintahan tingkat lokal. Karena bisnisnya yang begitu besar para pabrik minyak AS mampu mempengaruhi kebijakan energi yang menguntungkan bisnis minyak, termasuk pemotongan pajak dan deregulasi. Keberadaan lobi ini membuat sulit bagi siapapun di AS untuk mengadopsi kebijakan yang berani untuk membatasi penggunaan minyak dan mendorong energi terbarukan.
Dengan demikian, kita bisa berkesimpulan bahwa selama AS menjadi konsumen dan produsen terbesar minyak bumi dunia, maka sebetulnya kesempatan untuk menggeser energi minyak dan menggantinya dengan energi terbarukan mendekati kemungkinan yang hampir mustahil.
Lantas, apakah harapan akan energi terbarukan sudah pupus?
Hegemoni Berganti, Minyak Bumi Lepas
Jika kita melihat sejarah, kita akan menyadari bahwa pergantian suatu hegemoni umumnya juga pergantian tren penggunaan sumber daya terbesar. Ketika masa kejayaan kerajaan Timur Tengah silam, kerajaan Persia, Mesir, dan Babilonia bisa jadi hegemon karena menguasai perdagangan makanan. Ketika Kekaisaran Romawi jadi hegemon, mereka menguasai perdagangan metal yang sangat krusial dalam industri pertahanan kala itu.
Kini, kita pun bisa mengartikan monopoli AS dalam perdagangan minyak bumi dunia sebagai salah satu variabel kuat yang membuatnya mampu menjadi negara adidaya. Jika lantas minyak bumi selama ini jadi alat terkuat AS untuk kuasai dunia, tentunya tidak terlalu imajinatif bila kita pun mengatakan bahwa bila kita ingin ketergantungan terhadap minyak bumi digeser, maka kita pun perlu memiliki sebuah hegemoni baru yang tidak bergantung pada permainan politik minyak bumi AS. Tiongkok sebagai konsumen minyak bumi terbesar kedua dunia jelas keluar dari daftar itu.
Berbagai negara di dunia sesungguhnya tercatat memiliki keinginan untuk menggeser dominasi AS atas minyak bumi dunia, kitab isa dengan mudah lihat bagaimana negara-negara Arab berusaha Bersatu dengan mendirikan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC). Namun, kenyataannya mereka pun sulit wujudkan hal itu.
Dari sini kita bisa berkesimpulan bahwa kemajuan suatu teknologi tidak berarti ia bisa mengubah dunia dengan begitu saja. Keberadaan kendaraan-kendaraan listrik mungkin saat ini bisa dianggap sebagai salah satu solusi dalam menghadapi ancaman pemanasan global, namun, kita memerlukan sebuah komitmen politik komunal dari seluruh negara-negara di dunia jika kita benar-benar ingin menyingkirkan penggunaan bahan bakar minyak.
Jujur saja, melihat kondisi dunia kita sekarang hal itu sangat sulit terwujud. Bagaimanapun juga suatu zaman pasti akan berubah, dan cepat atau lambat dominasi AS atas dunia dan perdagangan minyak dunia akan berubah. (D74)