Tiga gol Dimas Drajad mewarnai kemenangan telak Indonesia atas Brunei Darussalam dengan skor 6-0. Laga tersebut merupakan leg pertama Kualifikasi Piala Dunia 2026 yang dihelat di Stadion Gelora Bung Karno, Kamis (12/10). Kemenangan ini menjadi modal penting untuk melakoni leg kedua yang akan diselenggarakan di Stadion Hassanal Bolkiah, Selasa (17/10).
Sebelum pertandingan berlangsung, terjadi dinamika pemanggilan tim nasional Indonesia. Jordi Amat dan Yance Sayuri batal bergabung akibat cedera. Oleh karena itu, Shin Tae-yong memanggil Fachruddin Aryanto, Dzaky Asraf, dan Hokky Caraka untuk menggantikan posisinya.
Komposisi sebelas pertama Indonesia cukup menarik. Hokky Caraka mendapatkan debutnya di tim nasional senior sebagai seorang penyereang bersama Dimas Drajad. Di tengah, untuk pertama kalinya Marc Klok berduet dengan Sandy Walsh sebagai pengatur aliran bola. Di bawah mistar, Nadeo Argawinata kembali dipercaya pasca catatan nirbobolnya kala menjamu Turkmenistan (8/9).
Sebelas Pertama Indonesia dan Brunei Darussalam
Di atas kertas, Indonesia menerapkan formasi dasar 4-4-2 dengan menempatkan Dendy Sulistyawan dan Saddil Ramdani di sektor sayap. Tapi, struktur di lapangan berubah menyesuaikan dengan fase yang sedang berlangsung (bertahan, menyerang, atau transisi). Penyesuaian tersebut memang diperlukan karena formasi dasar tidak selalu berdampak optimal di segala situasi.
Penempatan Posisi menentukan Variasi
Ilustrasi Struktur Serangan Indonesia
Ketika menyerang, struktur bergeser dari 4-4-2 menjadi 2-1-2-5. Klok menjadi sumber kreativitas utama. Ia lebih sering bergerak di sektor kiri sehingga secara natural, serangan Indonesia juga lebih sering berawal dari sisi kiri. Selain itu, kehadiran Arhan menjadi keuntungan tambahan serangan Indonesia dari sisi kiri karena jika serangan gagal dan bola keluar lapangan, maka Arhan akan mengambil lemparan ke dalam yang setara dengan sepakan pojok.
Pada struktur tersebut, terlihat ada perbedaan penempatan posisi Arhan dan Asnawi yang posisi naturalnya adalah bek sayap. Arhan ditugaskan untuk overlap dan beroperasi di sisi terluar. Sementara Asnawi bergerak ke tengah menemani Klok dan Sandy sekaligus memberikan sisi terluar di sektor ke manan kepada Saddil Ramdani.
Dampak dari struktur tersebut memberikan variasi serangan dari berbagai arah. Jika Klok mengarahkan serangan ke sisi kiri, Arhan dan Dendy memiliki kapabilitas untuk bermain di area sempit atau mengejar umpan terobosan langsung dari Klok. Dari sisi kanan, Saddil sangat kuat dalam situasi satu lawan satu sehingga memaksa pertahanan Brunei tidak seimbang karena harus menjaga Saddil dengan lebih dari satu pemain. Asnawi beberapa kali memberi kejutan dengan berlari masuk ke jantur pertahanan Brunei pada momen-momen tertentu. Ketika Asnawi masuk, Sandy dan Klok bergerak sedikit lebih ke belakang untuk mengantisipasi serangan balik.
Tidak heran jika hingga akhir pertandingan, Indonesia berhasil mencetak enam gol dari proses dan situasi yang variatif.
Pada babak pertama, pasca dua gol dari Dimas dan Rizky Ridho, serangan Indonesia mengalami penurunan ketajaman. Arah serangan yang mayoritas berasal dari sisi kiri menjadi tidak efektif karena pengambilan keputusan yang terburu-buru. Selain itu, kombinasi umpan pendek dari Klok, Arhan, dan Dendy menghilang. Arhan justru lebih banyak melepaskan umpan silang yang jarang menemui sasaran. Pada situasi tersebut, Indonesia mencoba memperbanyak arah serangan dari sisi kanan. Saddil mendapatkan beberapa momen satu lawan satu namun tumpukan 10 pemain Brunei membuat ruang tembak sangat sempit.
Untuk memecahkan kebuntuan tersebut, Shin memasukan Witan, Kambuaya, dan Sananta sebelum pertandingan menginjak menit ke-60. Kontribusi tiga pemain tersebut sangat terasa karena Witan dan Kambuaya memiliki kapabilitas untuk bermain di area sempit. Ditambah Sananta yang lebih klinis dan pintar mencari ruang yang mudah dijangkau rekan-rekannya. Hasilnya, Indonesia menambah empat gol pada babak kedua.
Konsisten Menekan, Pertahanan Indonesia Hampir Tanpa Ancaman
Secara umum, selama 90 menit Indonesia mendominasi pertandingan di segala situasi. Brunei Darussalam cenderung fokus untuk bertahan. Mencegah kebobolan, bukan mengincar gol. Ketika Indonesia membangun serangan, Brunei praktis menunggu di area sendiri. Bahkan ketika Indonesia memasuki sepertiga akhir, tim Garuda masih sangat leluasa untuk melakukan sirkulasi bola tanpa tekanan berarti dari lawan. Mario Rivera memilih untuk menumpuk 10 pemain di area pertahanan dan hanya menyisakan satu pemain di depan untuk rencana serangan balik.
Sebaliknya, sejak menit pertama Indonesia langsung mengambil inisiatif penguasaan bola. Tekanan dengan intensitas tinggi dipraktekan setiap Brunei berusaha menguasai bola. Oleh sebab itu, meski serangan Indonesia tidak selalu berhasil, Brunei selalu gagal dalam transisi positif baik dalam rencana serangan balik, maupun re-organisasi.
Pada beberapa kesempatan, Brunei berhasil melepaskan direct ball ke arah penyerang untuk melancarkan serangan balik. Tapi, satu pemain saja tidak membuat pertahanan Indonesia kesulitan. Sebab pada situasi transisi negatif (transisi dari menyerang bertahan), Indonesia memiliki tiga pemain yang siap mengantisipasi yaitu Rizki Ridho, Elkan Bagott, dan Sandy Walsh. Oleh karena itu, hingga laga berakhir, tidak ada serangan Brunei yang mengancam gawan Nadeo Argawinata.