- Mengapa tikus sering dijadikan bahan percobaan penelitian? Alasannya, hewan pengerat ini memiliki kesamaan struktur organ dengan manusia.
- Tikus memiliki sekitar 90% gen manusia identik, yang memungkinkan para peneliti mempelajari berbagai penyakit manusia dan mencari obat-obatan baru dengan menggunakan tikus sebagai model eksperimental.
- Tikus, khususnya tikus putih laboratorium, telah menjadi subjek populer dalam banyak bidang penelitian, termasuk biologi, farmakologi kedokteran, dan kesehatan.
- Alasan lainnya adalah tikus mudah didapat dan disimpan di laboratorium, mudah berkembangang biak, harganya murah, relatif jinak, dan memiliki usia pendek berkisar 2-3 tahun. Apabila hasil penelitian berdampak negatif, maka tikus tidak akan “menderita” terlalu lama karena usianya yang pendek tersebut.
Tikus sering diidentikkan sebagai hama dan hewan menjijikkan.
Lalu mengapa tikus sering dijadikan bahan percobaan penelitian? Alasannya, hewan pengerat ini memiliki kesamaan struktur organ dengan manusia.
Tikus memiliki sekitar 90% gen manusia identik, yang memungkinkan para peneliti mempelajari berbagai penyakit manusia dan mencari obat-obatan baru dengan menggunakan tikus sebagai model eksperimental.
Dalam buku berjudul “Prinsip Dasar Tikus sebagai Model Penelitian” disebutkan bahwa penelitian tentang tikus telah dilakukan selama berabad dan landasan sejarah riset ini dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno.
Tikus, khususnya tikus putih laboratorium, telah menjadi subjek populer dalam banyak bidang penelitian, termasuk biologi, farmakologi kedokteran, dan kesehatan.
Selain itu, beberapa alasan lainnya karena tikus mudah didapat dan disimpan di laboratorium, mudah berkembangang biak, harganya murah, relatif jinak, dan memiliki usia pendek antara 2-3 tahun. Apabila hasil penelitian berdampak negatif maka tikus tidak akan “menderita” terlalu lama karena umurnya yang pendek tersebut.
Penelitian terbaru
Penelitian terbaru dari Universitas Oxford, Inggris, mengungkapkan bahwa hubungan sosial tikus liar memiliki pengaruh yang kuat terhadap mikroba yang ditemukan di ususnya. Selain itu, kontak sosial lebih berpengaruh dalam menyebarkan mikroba usus berbeda dibandingkan dengan mikroba yang ditransfer melalui lingkungan bersama.
Penelitian ini dipublikasikan pada jurnal Nature Ecology and Evolution dengan judul “Social and environmental transmission spread different sets of gut microbes in wild mice” pada 1 Mei 2024.
Penulis utama riset, Dr. Aura Raulo dari Departemen Biologi, Universitas Oxford, menjelaskan keterkejutan mereka saat menemukan bahwa mikroba usus yang berbeda menyebar melalui kontak sosial dan lingkungan yang sama di antara tikus. Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana interaksi sosial dan lingkungan membentuk mikrobioma kita.
“Ini menyiratkan bahwa perilaku sosial dan kontak dengan lingkungan alam dapat memengaruhi berbagai bagian mikrobioma kita, yang dapat memberikan dampak berbeda pada kesehatan kita,” jelas Raulo.
Mikrobioma adalah kumpulan triliunan mikroorganisme yang mendiami tubuh manusia. Komposisi mikrobioma di tubuh manusia terus berubah sehingga tak ada satupun manusia yang memiliki komposisi mikrobioma yang sama dalam tubuhnya. Mikrobioma dalam tubuh manusia terdiri bakteri, virus, dan eukariota yang memiliki peran penting bagi tubuh manusia.
Dalam studi tersebut, para peneliti melacak 100 tikus kayu [Apodemus sylvaticus] yang berada di Wytham Woods, Oxfordshire, dan melihat pergaulan sosial mereka satu sama lain selama 10 bulan, sembari mengurutkan DNA bakteri usus kotoran mereka untuk diidentifikasi mikroba yang ada.
Dengan menghubungkan mikrobioma dan pola perilaku, peneliti menemukan bahwa mikroba usus dapat menyebar, baik melalui jaringan sosial maupun lingkungan bersama, tetapi jalur penyebaran sosial dan lingkungan ini memiliki efek sangat berbeda.
Penelitian ini menujukkan bahwa jejaring sosial memiliki pengaruh jauh lebih kuat terhadap mikrobioma usus; pada pasangan tikus yang memiliki hubungan sosial berbagi lebih banyak bakteri, ketimbang tikus yang hanya menggunakan lingkungan yang sama.
Analisis ini juga menunjukkan bahwa kontak sosial dan lingkungan dapat menyebarkan berbagai jenis mikroba usus, dengan bakteri anaerob [tidak toleran terhadap oksigen] yang lebih bergantung pada kontak sosial. Sementara bakteri yang toleran terhadap oksigen dapat dibagikan melalui lingkungan.
Bagi para peneliti, hal ini juga menunjukkan bahwa perilaku sosial dapat memainkan peran penting dalam kesehatan, bahkan pada spesies yang kurang sosial. Karena pola penularan bakteri usus cenderung mengikuti aturan yang sama pada spesies hewan lain.
“Meskipun mikrobioma adalah bagian penting dari tubuh kita dan memengaruhi kesehatan kita. Anehnya, mikrobioma tidak dimiliki oleh satu individu saja, dimana mikrobioma adalah ekosistem yang bersarang di dalam sistem fisiologis [sistem kehidupan],” ujar Raulo.
Dijelaskannya lagi, walaupun kontak dengan lingkungan berkurang akibat gaya hidup perkotaan, ternyata dapat berdampak negatif pada mikrobioma kita dan telah dikaitkan dengan isu-isu seperti alergi dan penyakit kekebalan tubuh.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kontak sosial dapat memainkan peran tambahan dalam pola-pola tersebut. Penduduk perkotaan tidak hanya mengurangi kontak dengan keanekaragaman hayati lokal, tetapi juga cenderung memiliki jaringan sosial yang berbeda dengan penduduk pedesaan.
“Ketika kita mengubah hubungan sosial kita dengan orang lain, mikrobioma kita juga cenderung berubah. Khususnya, pola isolasi sosial dapat mengurangi keanekaragaman dalam mikrobioma kita, terutama mikroba anaerobik,” jelasnya lagi.
Para peneliti selanjutnya berencana menyelidiki bagaimana mode penyebaran sosial versus lingkungan yang berbeda ini terkait dengan hubungan antara mikroba usus yang berbeda dengan inangnya. Termasuk, seberapa luas penyebarannya di seluruh spesies hewan dan seberapa bermanfaatnya mikroba tersebut bagi inangnya.