“Bloody Nickel,” Potret Daya Rusak Industri Nikel

“bloody-nickel,”-potret-daya-rusak-industri-nikel
“Bloody Nickel,” Potret Daya Rusak Industri Nikel
service
Share

Share This Post

or copy the link
  • Eksploitasi nikel menggila di Indonesia dengan melabel mineral ini jadi bahan baku baterai kendaraan listrik yang diusung sebagai salah satu jalan transisi energi.  Di lapangan, tambang sekaligus pabrik-pabrik di kawasan industri nikel ini membawa daya rusak parah bagi lingkungan hidup dan  masyarakat sekitar.
  • Aktivitas pertambangan nikel disebut berdampak menurunkan hasil tangkapan nelayan, menggusur kebun dan merusak mata air. Sementara, upaya warga mempertahankan ruang hidup diperhadapkan dengan intimidasi dan ancaman kriminalisasi.
  • Kiara menilai, rusaknya sungai dan mata air akan memberi beban ganda pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebab, mereka tidak hanya menggantungkan hidup di sektor kelautan tapi juga pertanian dan perkebunan.
  • Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center for Economic and Law Studies (CELIOS) menilai, hilirisasi nikel berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi, lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Eksploitasi nikel menggila di Indonesia dengan melabel mineral ini  jadi bahan baku baterai kendaraan listrik yang diusung sebagai salah satu jalan transisi energi.  Di lapangan, tambang sekaligus pabrik-pabrik di kawasan industri nikel ini membawa daya rusak parah bagi lingkungan hidup dan  masyarakat sekitar.

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri antara lain Jatam, KIARA, Cellios, Enter Nusantara, Satya Bumi, Trend Asia, YLBHI, Kontras, AEER, Auriga dan Pasar Rakyat, pun menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Bloody Nickel: Sisi Gelap Kendaraan Listrik”, 3-4 Mei 2024 di Jakarta. Tujuannya, mengungkap dampak buruk industri nikel, yang jadi bahan dasar baterai listrik.

Selain diskusi, pagelaran Bloody Nickel juga menampilkan 28 pameran foto yang menunjukkan dampak industri nikel bagi warga dan lingkungan hidup di berbagai daerah. Kegiatan ini juga menghadirkan pertunjukan musik dan nonton film “Ilusi Transisi Energi series 1: Bloody Nickel.”

Perwakilan warga korban industri nikel pun datang dalam pameran dan diskusi di Galeri Cipta 1, Taman Ismail Marzuki Jakarta itu.

Ayunia Muis, warga Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara  dalam diskusi “Daya Rusak Tambang Nikel di Indonesia,” menceritakan,  dulu desanya dikenal sebagai ‘kampung dolar,’ karena tangkapan ikan tinggi.

“Dulu, di sana ada satu pelabuhan perikanan cukup berkontribusi di sektor perikanan, bisa dapat berton-ton ikan,” katanya.

Pameran “Bloody Nickel’ di TIm, 3-4 Mei lalu yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil. Foto: Themmy Doaly/ Mongabay Indonesia

Setelah pertambangan nikel masuk pada 2011, warga mulai merasakan dampak, tangkapan ikan turun. Kesulitan pun makin bertambah ketika tahun 2019, satu perusahaan beroperasi sampai pemukiman warga. Dampaknya, kata Ayu, tak hanya sulit mendapat ikan juga hilang kebun, serta produktivitas tambak-tambak warga menurun.

Tidak berhenti sampai di situ, pertambangan juga dilakukan di sumber mata air yang menyebabkan dua dusun kekurangan air bersih tahun lalu. “Kami harus beli air bersih dari sumur bor dan harga per tabung Rp50.000. Itu kami pakai sekitar tiga hari,” katanya.

Ketika berupaya mempertahankan hak dan menjaga lingkungan hidup, warga justru mendapat intimidasi dan ancaman kriminalisasi. Tahun lalu, katanya, 32 orang dilaporkan ke kepolisian. Dari jumlah itu,  dua  jadi tersangka karena dianggap menghalangi aktivitas pertambangan nikel.

“Banyak sekali intimidasi dari perusahaan. Beberapa surat panggilan dari teman-teman juga saya bawa hari ini,” ujarnya sambil menunjukkan tumpukan surat.

Adlun Fikri, perwakilan warga Desa Sagea, Halmahera Tengah, Maluku Utara, juga menceritakan situasi serupa. Sejak tahun lalu, warga desa itu menyaksikan perubahan warna sungai yang diduga berkaitan dengan pembukaan lahan untuk tambang nikel di hulu.

Para pembicara dalam diskusi ‘Bloody Nickel” Di jakarta. Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

Awalnya,  warga tidak menyangka desa mereka akan terdampak pertambangan nikel. Desa Sagea, katanya,  berjarak 27 km dari wilayah kerja perusahaan tambang nikel dan 11 km dari kawasan industry.

Namun, pembukaan lahan untuk pembangunan infrastuktur jalan menyebabkan lumpur mencemari sungai yang mengalir hingga ke sungai di desanya. Kondisi itu,  diketahui warga setelah melakukan pemantauan dari citra satelit.

“Jadi sekitar 27 km di belakang kampung kami itu perusahaan bikin jalan hauling yang lewati sungai kecil, yang masuk di kawasan karst, kemudian keluar di kampung kami,”  kata Adlun.

Karena masalah itu, akhir 2023, Koalisi Save Sagea mendesak pemerintah evaluasi izin operasi tambang di Halmahera. Namun, kata Adlun, invesitgasi lapangan yang digelar pemerintah sejak Desember 2023 itu belum kunjung membuahkan hasil.

“Pemerintah bilang, belum bisa pastikan ini (sungai) tercemar, karena harus diuji. Bahkan mau marah, kami harus tunggu hasil uji dari pemerintah,” katanya.

Pameran Bloody Nickel ini merupakan respons masyarakat sipil atas Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2024, yang digelar di JIEXpo, Kemayoran, 30 April-5 Mei 2024. Melalui “Bloody Nickel” itu, mereka berupaya menunjukkan narasi lain dari industri nikel, yang digadang-gadang sebagai salah satu bahan baku baterai kendaraan listrik.

Erwin Suryana, Deputi Program dan Jaringan Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, kondisi yang dialami warga merupakan contoh dari buruknya pertambangan nikel di Indonesia. Pembukaan lahan menimbulkan sedimentasi dan mencemari wilayah perairan, membuat nelayan makin jauh tangkap ikan.

“Yang tadinya bisa dapat ikan di 2-3 mil, mereka harus menambah waktu kerja, konsumsi bahan bakar untuk melaut. Itu menurunkan kemampuan mereka mencukupi kebutuhan,” katanya.

Saat bersamaan, sungai dan mata air rusak akan memberi beban ganda pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Mereka tidak hanya menggantungkan hidup di sektor kelautan juga pertanian dan perkebunan. “Ketika air tawar hancur, itu pertanian, perkebunan juga hancur,” kata Erwin.

Sebagai negara kepulauan, pemerintah seharusnya mengubah orientasi pembangunan di Indonesia dengan memperkuat sektor-sektor ekonomi berkelanjutan seperti perikanan tangkap, pertanian dan pariwisata berbasis lingkungan.

Berbagai daya rusak industri nikel di daerah-daerah produksi ditampilkan dalam pameran foto ‘Bloody Nickel’ di Jakarta. Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

Dampak ekonomi, lingkungan dan kesehatan

Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center for Economic and Law Studies (CELIOS) menilai, hilirisasi nikel berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi, lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Analisis itu diungkap dalam laporan berjudul “Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel,” yang tebit Februari 2024.

Atina Rizqiana, peneliti CELIOS mengatakan, kajian itu dilakukan di tiga provinsi kawasan pengelolaan nikel di Indonesia, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.

Dalam skenario business as usual (BAU),  katanya, peningkatan ekonomi hanya terjadi pada tahun kelima atau tahap konstruksi. Kemudian, menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatifnya.

“Karena tahun kelima itu adalah tahap pembangunan. Biasa membutuhkan tenaga kerja banyak. Makin lama makin menurun, bahkan sampai tahun ke delapan dan lima belas negatif,” kata Atina dalam diskusi di sana.

CREA dan CELIOS menilai, dalam skenario BAU, industri nikel dapat menghasilkan kerugian lebih Rp6 triliun dalam 15 tahun bagi sektor pertanian dan perikanan. Serta, menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan Rp3,64 triliun dalam 15 tahun ke depan.

Selain itu, sebaran polusi yang awalnya terkonsentrasi di daerah-daerah kawasan industri, seiring waktu akan makin meluas. Bahkan, hingga ke wilayah yang tidak terdapat kawasan industri.

Situasi itu, katanya,  memberi dampak kesehatan bagi masyarakat, seperti ISPA, asma, penurunan kualitas paru-paru, termasuk stunting. Juga, menyebabkan sekitar 8.325 kematian karena hilirisasi industri nikel pada 2060.

“Lagi-lagi, dampak negatif tidak cuma terjadi di daerah-daerah yang memiliki kawasan industri, juga di daerah-daerah sekitar,” ujar Atina.

Dia menyebut, emisi dari smelter dan PLTU captive di tiga provinsi yang diteliti juga memberi beban ekonomi dari dampak kesehatan US$2,63 miliar (Rp40,7 triliun) pada 2025. Tanpa intervensi untuk memitigasi emisi, beban ini diperkirakan meningkat lebih 30%  atau mencapai Rp53 triliun pada 2030.

Selain mencemari udara dan kawasan pesisir, fly ash dan polusi yang keluar dari smelter akan mengendap di tanah dan berdampak pada sektor pertanian, perkebunan, juga menyebarkan merkuri di wilayah perairan.

“Inti dari riset kami, (upaya) meningkatkan nilai tambah perekonomian harus dibarengi peningkatan kesejahteraan dan kedaulatan masyarakat. Bukan menurunkan kualitas kehidupan, kesehatan, ekonomi dan sosial di masyarakat.”

warga dan masyarakat sipil aksi di depan pintu masuk pameran Kendaraan Listrik atau Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2024 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Pusat. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia

Pameran kendaraan listrik diseruduk warga

Sementara itu, pada 5 Mei, warga dan masyarakat sipil aksi di depan pintu masuk pameran Kendaraan Listrik atau Periklindo Electric Vehicle Show (PEVS) 2024 di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Pusat. Mereka membawa spanduk dan poster.

“Kendaraan Listrikmu Membunuh Warga di Lingkar Tambang” “Stop Kriminalisasi Warga Lingkar Tambang Nikel” “Nikel Is the New Coal” “Hentikan Seluruh Izin Tambang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil” “Hentikan operasi PT Weda Bay Nikel di Wilayah Desa Sagea dan Pulihkan dan Lindungi sungai Sagea” “Wato-wato Benteng Terakhir Halmahera, Jangan Di Tambang” “PT GKP patuhi putusan MK 35/PUU-XXI/2024. Segera angkat kaki dari pulau Wawoni.”

Mereka juga membawa sejumlah foto-foto kondisi kerusakan lingkungan di desa-desa sekitar tambang di tiga daerah penghasil nikel itu yakni di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara.

Aksi ini sebagai luapan emosi karena aspirasi mereka tidak pernah dihiraukan. Aksi ini bagian dari protes kepada pemerintah dan oligarki yang selama ini berselingkuh di balik penderitaan rakyat.

“Nikel itu ditambang di kampung-kampung kami, di Halmahera, Maluku Utara.  Itu merusak ekosistem di sana,” kata Adlun, warga dari Halmahera.

Nikel yang dikeruk di Halmahera, Wawoni, dan Morowali,  kata Adlun, antara lain diambil untuk bahan baku kendaraan listrik.

“Jika bapak ibu menikmati kemewahan di kota saat ini dari kendaraan listrik itu diambil, bahan bakunya dikeruk dari hutan kami, yang merusak hutan kami, yang merusak pesisir kami, menyebabkan polusi, menyebabkan limbah yang ada di kampung kami. Kami menderita dengan trend baterai listirk, kendaraan listrik yang menggunakan nikel,” kata Adlun

Aksi warga korban industri nikel di pamerah kendaraan listrik di Jakarta. Foto: Christ Belseran/Mongabay Indonesia

Aksi dibubarkan

Aksi di depan pintu utama pameran sempat berjalan selama 30 menit namun dibabarkan panitia dan keamanan JIEXPO. Dari pantauan Mongabay, sempat adu mulut antara para peserta aksi dengan panitia dan juga keamanan yang bersikeras agar peserta meninggalkan lokasi pameran.

Masyarakat pun dipaksa untuk meninggalkan lokasi karena dianggap mengganggu para pengunjung pameran kendaraan listrik di JIEXPO Kemayoran.

Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional, kepada Mongabay mengatakan,  aksi bersama warga ini menindaklanjuti pameran selama dua hari di Taman Ismail Marzuki (TIM), 3-4 april 2024.

Penggunaan kendaraan listrik (EV) di seluruh dunia maupun Indonesia tengah mengalami peningkatan. Hal ini diklaim sebagai salah satu ipaya mengurangi polusi udara serta mengatasi krisis iklim.

Agar menjadi salah satu pemain utama, katanya, Pemerintah Indonesia menerbitkan bermacam regulasi, kebijakan, hingga pemberian insentif kepada korporasi dan penggunanya.

Dengan dalih transisi energi, katanya, komoditas ini diiklankan sebagai produk lebih rendah karbon dan ramah lingkungan. Dalam praktiknya,  kata Melky, mereka melakukan pembongkaran kampung-kampung, perusakan hutan yang memicu deforestasi, penghancuran sumber air warga, pencemaran laut dan udara hingga pelangaran kemanusiaan.

******

Hilirisasi Nikel di Halmahera Bisa Perparah Krisis Iklim dan Susahkan Warga

, , , , , , , , , , ,

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
“Bloody Nickel,” Potret Daya Rusak Industri Nikel

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin