- Untuk menuju kota global ada beberapa tantangan yang mesti dihadapi Jakarta, seperti laju urbanisasi yang tinggi, banjir, kemacetan lalu lintas dan juga kelestarian lingkungan hidup.
- Isu perbaikan ekologi adalah salah satu hal yang krusial yang harus dicapai untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota global.
- Transformasi Jakarta menjadi kota global merupakan perjalanan yang membutuhkan kerjasama lintas sektor, inovasi, juga komitmen dari banyak pihak.
- Sejauh ini paradigma pembangunan Ibu kota Jakarta masih bertumpu pada pendekatan kapitalistik yang terus mengupayakan peningkatan nilai ekonomi tanpa batas juga tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.
Sebagai kota yang paling pesat pembangunannya secara nasional, DKI Jakarta sudah mempunyai modal besar untuk menuju kota global. Modalitas untuk menjadi kota global ini juga didasari atas sumber daya manusia yang tinggi juga beragam, kekayaan budaya, serta potensi ekonomi yang signifikan.
Yudhistria Satya Pribadi, peneliti di World Resources Institut (WRI) Indonesia mengatakan, untuk menuju kota global, dalam perkembangannya ada beberapa tantangan yang mesti dihadapi oleh Jakarta, seperti laju urbanisasi yang tinggi, infrastruktur yang belum mumpuni, kesenjangan sosial dan ekonomi, banjir, kemacetan lalu lintas, dan juga kelestarian lingkungan hidup.
Untuk itu, pemulihan ekologi sangat diperlukan. Menurut dia, pembenahan ekologi ini bukan lagi sebuah opsi melainkan suatu keharusan. Sebab, tantangan ekologis di ranah urban, yang mencakup pelestarian keanekaragaman hayati dan pengelolaan ekosistem di area urban, menjadi salah satu indikator kritis yang menentukan kelayakan sebuah kota di kancah global.
“Ini bukan tentang estetika atau kehijauan semata, tetapi tentang membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim, meningkatkan kualitas hidup warga, serta memastikan keberlanjutan sumber daya alam,” jelas Yudhistira, Jum’at (12/04/2024).
Guna mengatasi persoalan tersebut, diperlukan kebijakan atau strategi yang kuat. Selain itu, diperlukan partisipasi dan dukungan dari masyarakat luas. Karena transformasi Jakarta menjadi kota global merupakan perjalanan yang memerlukan kerjasama lintas sektor, inovasi, juga komitmen banyak pihak.
Baca : Kualitas Udara Jakarta Masih Buruk, Ancam Kesehatan Warga
Strategi Komprehensif
Di lain sisi, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat merupakan pondasi untuk udara bersih, penyediaan air, pengendalian suhu, dan penyerapan karbon. Hal-hal tersebut merupakan sebuah indikator penting kualitas hidup di perkotaan yang sehat.
Bila mengacu pada Laporan Akhir Penyusunan Konsep Arah Pengembangan Akhir Jakarta Pasca Pemindahan Ibu kota Negara, isu perbaikan ekologi adalah salah satu hal yang krusial yang harus dicapai untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota global.
“Perbaikan dan pengelolaan ekologis juga tidak bisa dibatasi oleh batasan administrasi saja,” terangnya. Akan tetapi, lanjutnya, upaya perbaikan ekologis ini perlu dilakukan secara menyeluruh, dalam lingkup lingkungan yang lebih luas.
Hal ini hanya bisa dilakukan, katanya, jika sinkronisasi prioritas kebijakan dan program dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, atau Puncak maupun Cianjur sebagai sebuah kawasan aglomerasi.
Dengan begitu, jelasnya, perbaikan ekologi bukan hanya sekedar agenda tambahan dalam pembangunan urban, melainkan pilar utama yang mendukung pencapaian status kota global.
Dalam kesempatan yang sama, Sarah Angelina yang juga peneliti di WRI mengungkapkan, untuk menjadi kota global salah satu tantangan kota Jakarta yaitu dalam memberikan livability dan perlindungan lingkungan yang baik, terutama dalam menghadapi risiko bencana seperti banjir.
Untuk itu, menurutnya, diperlukan berbagai dukungan yang menyeluruh seperti investasi dalam pembangunan dan riset terkait infrastruktur adaptasi banjir yang tidak hanya bergantung pada infrastruktur konvensional seperti waduk dan tanggul, namun juga berbagai adaptasi berbasis alam seperti pemanfaatan fungsi ganda taman sebagai retensi ataupun restorasi ekologi di sepanjang aliran sungai.
“Diperlukan juga sistem peringatan dini yang lebih baik mulai dari pengumpulan informasi melalui sensor tinggi muka air dan cuaca ekstrem, hingga penyampaian/pemberitahuan risiko banjir yang lebih cepat dan informatif,” jelasnya.
Selain itu, dibutuhkan penataan kota berkelanjutan, termasuk pembatasan pembangunan di area rawan banjir dan perluasan fungsi taman sebagai daerah tangkapan air. Pendidikan terkait risiko bencana terhadap masyarakat, termasuk pelatihan pengelolaan air berbasis individu dan komunitas, dan kesiapan menghadapi potensi banjir.
Baca juga : Burung, Bioindikator Kualitas Ruang Terbuka Hijau Perkotaan di Jakarta
Pendekatan Kapitalistik
Sementara itu, Suci Fitriah Tanjung, Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta menilai, bahwa sejauh ini paradigma pembangunan Ibu kota Jakarta masih bertumpu pada pendekatan kapitalistik yang terus mengupayakan peningkatan nilai ekonomi tanpa batas juga tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekologi.
Padahal, pemerintah memindahkan ibu kota karena kawasan yang dihuni sekitar 11,34 juta jiwa ini sudah melebihi kapasitas lingkungan hidupnya dan mengalami berbagai permasalahan seperti pencemaran, perebutan ruang dan lahan, peningkatan intensitas banjir, ancaman perubahan iklim, khususnya pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Memaksa Jakarta menjadi pusat ekonomi nasional dan kota global tanpa memperhatikan upaya pemulihan dari berbagai krisis yang sedang dihadapi hanya akan membuat Jakarta menjadi kota pusat krisis dan bunuh diri ekologis,” ungkapnya, Minggu (14/04/2024)
Untuk itu, Walhi Jakarta mendesak pemerintah agar tidak merusak demokrasi dengan memastikan keterlibatan masyarakat secara bermakna dalam setiap tahap penyusunan RUU Daerah Khusus Jakarta, dan kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Selain itu, pemerintah harus melakukan diskresi akibat kelalaian yang dilakukan yang berakibat pada vacum of power di Jakarta. Pemulihan ekologi lebih diprioritaskan dibandingkan dengan proyeksi Jakarta sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga mengungkapkan, untuk menuju kota global ada beberapa kriteria yang mesti dilakukan. Pertama, yaitu pengembangan rencana infrastruktur kotanya seperti infrastruktur jalan, infrastruktur trotoar, perumahan, lingkungan maupun air bersih. Kedua, yaitu transportasi publik dalam kota. Ketiga, adalah pengembangan sebuah kawasan bagaimana kawasan-kawasan yang ada di sebuah kota searah menjadi kota global.
Baca juga : Apakah Pembangunan Tanggul Laut di Teluk Jakarta Sudah Tepat?
Kemampuan Kota Tanggap Bencana
Dihubungi secara terpisah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DKI Jakarta, Isnawa Adji menyampaikan, untuk menuju kota global Jakarta perlu didukung aspek resilient city, atau sebuah konsep yang mempunyai hubungan dengan pembangunan kota berkelanjutan yang tangguh bencana, berpijak di atas tiga dimensi yaitu mitigasi, adaptasi dan responsif.
Hal ini diperlukan karena Jakarta merupakan salah satu diantara wilayah lain di Indonesia yang memiliki potensi kebencanaan yang kompleks. Pada musim penghujan, dari 267 kelurahan yang ada di DKI Jakarta, 25 diantarannya rawan mengalami banjir.
Umumnya, puluhan kelurahan yang mengalami banjir tersebut wilayahnya ada di daerah-daerah sempadan sungai. Sedangkan sungai yang melewati dan bermuara ke Teluk Jakarta jumlahnya 13 sungai. Selain itu, banjir seringkali terjadi karena secara alamiah 40% atau 24.000 hektare di Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata di bawah permukaan air laut.
“Dalam memitigasi banjir ini, bersama berbagai pihak, kami rutin menyampaikan kondisi cuaca, peringatan dini cuaca maupun menginformasikan kondisi tinggi muka air baik itu sungai maupun laut,” ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Plt. Adm. Jakarta Selatan ini, Selasa (07/05/2024).
Upaya lain dalam memitigasi banjir ini, selain fokus pada aspek penyelamatan warga, pihaknya juga telah melakukan pemetaan wilayah rawan banjir dan mempunyai rencana kontijensi sebagai upaya untuk mempersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan jikalau terjadi banjir. Ada 267 tim reaksi cepat yang selalu disiagakan.
Adapun potensi bencana lain dibalik tingginya kemajuan ekonomi Jakarta yaitu bencana hidrometeorologi, banjir rob, gempa, longsor, maupun angin puting beliung. Untuk mengantisipasi ancaman potensi bencana tersebut pihaknya juga secara rutin melakukan sosialisasi dan edukasi ke berbagai sekolah di Jakarta terkait mitigasi bencana.
Selain itu, bersama berbagai stakholder BPBD DKI Jakarta juga melakukan mitigasi terhadap kondisi struktur bangunan gedung yang tahan gempa dengan membentuk Satgas Terpadu Penilaian Gedung dan Non Gedung di Jakarta.
“Kota yang tangguh ini ditandai dengan kesiapan aparaturnya, kesiapan masyarakatnya, dan kesiapan berbagai elemennya untuk memitigasi kebencanaan. Jadi, bencana itu bukan sesuatu yang ditakuti tetapi kita harus memaknai dengan bijaksana, apa langkah-langkahnya sehingga memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat,” tandasnya. (***)
Penurunan Laju Muka Tanah Jadi Ancaman Serius untuk DKI Jakarta