- Kondisi gambut Riau terus terjadi penurunan dan makin menipis. Kerusakan gambut ini ditandai kebakaran hutan dan lahan karena kekeringan atau sebaliknya, banjir karena tanah tidak mampu lagi menyimpan air dalam jumlah banyak. Hal lain menyebabkan pemanasan global karena emisi karbon lepas ke udara.
- Sigit Sutikno, Ketua Pusat Unggulan Iptek Gambut dan Kebencanaan Universitas Riau, dan tim meneliti beberapa titik di Riau. Hasilnya, permukaan gambut di Riau turun antara lima sampai enam sentimeter per tahun.
- Cuci kanal yang kerap dilakukan perusahaan atas alasan menjaga kertersediaan air. Praktik ini justru akan memperdalam dan memperlebar kanal hingga berkontribusi pada penurunan permukaan gambut. Begitu juga, pembuatan embung skala besar yang biasa dibuat pemerintah ketika mengatasi kebakaran pada lahan gambut. Embung malah akan mengeringkan.
- Upaya mitigasi dan perbaikan harus terus menerus seraya menghentikan tindakan merusak. Prinsipnya, gambut jangan dikeringkan dan harus ada aktivitas seimbang di lahan gambut agar kebasahan tetap terjaga. Revegetasi atau penghutanan kembali, katanya, akan menyuplai tutupan gambut jadi tebal lagi meski perlu waktu lama.
Kondisi gambut Riau terus terjadi penurunan dan makin menipis. Kerusakan gambut ini ditandai kebakaran hutan dan lahan karena kekeringan atau sebaliknya, banjir karena tanah tidak mampu lagi menyimpan air dalam jumlah banyak. Hal lain menyebabkan pemanasan global karena emisi karbon lepas ke udara.
Penelitian Sigit Sutikno, Ketua Pusat Unggulan Iptek Gambut dan Kebencanaan Universitas Riau, bersama rekan-rekan, mencatat, sejumlah dampak buruk itu muncul karena permukaan gambut di Riau turun antara lima sampai enam sentimeter per tahun. Temuan ini diperoleh pada beberapa titik lokasi gambut yang beralih fungsi.
Sigit bersama tim pasang pengukur penurunan permukaan gambut di beberapa titik, antara lain, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Bandar Laksamana, Bengkalis dan sebagian di Kepulauan Meranti.
Patok subsiden itu dipasang pada kebun sawit, karet maupun semak belukar. Ia diberi pagar pembatas agar tidak terganggu aktivitas manusia maupun satwa sekitar. Penelitian ini belum dapat lampu hijau alias izin dari perusahaan yang beraktivitas di lahan gambut skala luas.
“Kalau di perusahaan susah minta izin,” kata Sigit, Dosen Teknik Sipil, Universitas Riau ini.
Di Tanjung Leban, Sigit diberitahu, masyarakat petani sebut lahan gambut di kebun mereka menipis. Ketebalan gambut yang dulu delapan meter, kini hanya sekitar dua meter. Total ada 10 patok subsiden terpasang di lokasi penelitian.
Sigit cs juga monitoring penurunan permukaan tanah gambut di Kecamatan Kempas, Indragiri Hilir. Bedanya, di lokasi ini tidak pakai patok subsiden atau juga disebut metode pengukuran ke depan.
Di Kempas, memakai metode pengukuran ke belakang berpatokan pada tegakan kelapa masyarakat. Kelapa yang akar serabut menyembul ke permukaan diyakini terjadi penurunan tanah gambut.
Berdasarkan pengukuran batas atas dan bawah akar pada permukaan tanah, rata-rata laju penurunan permukaan gambut sekitar kebun masyarakat mencapai satu meter, selama 20 tahun kelapa berdiri.
Gambut kering
Ketersediaan air sangat mempengaruhi laju penurunan permukaan tanah gambut bahkan jadi faktor terbesar. Ketika gambut kering, katanya, sangat cepat terjadi subsiden. Hasil analisa Sigit, kondisi itu juga terkait dengan tiga aspek yakni, fisik, kimia dan biologi.
Secara fisik, tanah gambut umumnya memiliki pori-pori atau rongga. Bila tinggi muka air tanah gambut terjaga, akan terisi dengan air. Sebaliknya, bila kering, rongga gambut akan merapat dan menjadi padat, ketebalan gambut jadi berkurang.
Secara kimia, katanya, gambut adalah material organik. Bila kering, melapuk, kalau kebasahan tetap terjaga, ia lebih kuat atau lebih lama melapuknya. Gambut memilik tiga tingkat dekomposisi atau kematangan, antara lain, matang (saprik), setengah matang (hemik) dan masih mentah (fibrik). Gambut matang sudah mendekati tanah mineral.
Secara biologi, gambut kering akan membuat mikroorganisme lebih aktif. Ia akan mengurai gambut lebih cepat dan melapuk. Berbeda ketika persediaan air dalam gambut tetap terjaga.
“Jadi, tiga aspek itulah menyebabkan gambut cepat ambles kalau dikeringkan. Subsiden musim kemarau lebih tinggi ketimbang musim hujan,” kata Sigit, Maret lalu.
Selain mulai dari pembukaan hutan dan penebangan segala vegetasi di atasnya, kerusakan gambut juga karena pembuatan kanal. Air yang semula tersimpan merata, mengalir dan terkonsentrasi pada satu area tertentu.
Sekat kanal, katanya, hanya solusi keterlanjuran untuk menjaga persediaan air. “Itu pun jika pembangunan sekat kanal sesuai standar dan berfungsi baik di hulu maupun hilir.”
Meski sekat kanal jadi upaya menjaga gambut dari kekeringan, Sigit tetap menekankan kesadaran menjaga hutan dan penanaman kembali pada lahan gambut. Sekat kanal, katanya, bukanlah upaya berkelanjutan. Permukaan gambut akan tetap turun, meski lebih lambat.
Kekeringan pada gambut karena pembuatan kanal, katanya, juga tak lepas dari kesalahan teknik dan metode pembuatannya hingga tidak ramah air. Selama ini, masyarakat maupun perusahaan, membuat kanal dengan memotong kontur gambut hingga air mengalir deras. Mestinya, kata Sigit, mengikuti atau sejajar kontur.
Praktik itu, katanya, tak lepas dari tujuan mengeringkan gambut hingga bisa ditanami. Padahal, jika ingin tetap mengelola air, kanal-kanal yang membentang di tanah gambut lebih baik sejajar kontur.
Dengan begitu, air di dalamnya terdistribusi lebih merata dan lebih terkontrol.
Walau begitu, katanya, pembuatan kanal dengan teknik apa pun tetaplah merusak dan mengurangi ketebalan gambut. Hanya waktu dan durasi kerusakan saja berbeda antara praktik baik dengan yang serampangan.
“Tetap subsiden. Hutan dibuka saja sudah terjadi subsiden pada tanah gambut. Harusnya, kalau kita mau jaga gambut, bikin kanal di gambut itu haram.”
Sigit pun tidak sependapat dengan cuci kanal yang kerap dilakukan perusahaan atas alasan menjaga kertersediaan air. Tradisi ini justru akan memperdalam dan memperlebar kanal hingga berkontribusi pada penurunan permukaan gambut.
Dia juga tak setuju pembuatan embung skala besar yang biasa dibuat pemerintah ketika mengatasi kebakaran pada lahan gambut. Kalau kesulitan air dan akses pada titik kebakaran, petugas lapangan biasa mengerahkan alat berat membuat embung di sekitar lokasi.
Sigit menyarankan, cukup buat perigi ukuran dua kali dua meter dan berjarak. “Mengikuti kearifan lokal, tak perlu alat berat. Gunakan cangkul sudah bisa, seperti eksperimen mereka di Desa Dompas, Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis.”
Terbukti, katanya, selama ini tetap berfungsi untuk persediaan air guna atasi karhutla di sekitar lokasi.
“Embung malah akan mengeringkan. Embung itu reservoir. Sementara gambut itu underground reservoir atau tampungan air. Kenapa bikin embung lagi? Embung skala besar itu tidak bagus,” kata Sigit, yang beberapa kali meneliti soal pengelolaan air di tanah gambut.
Dia bilang, gambut banyak fungsi, sebagai penyimpan air, juga serap karbon. Belum lagi, katanya, fungsi biodiversitas dan jasa lingkungan.
Pemerintah Indonesia membuat zona untuk pemanfaatan maupun perlindungan. Walau di zona budidaya, seperti gambut dangkal tetap harus patuh menerapkan metode baik agar tak terjadi kerusakan.
“Berbisnis di lahan budidaya tidak boleh mengabaikan gambut. Bagaimana caranya supaya gambut tidak rusak, kembali lagi ke air. Gambut temannya air. Jangan dikeringkan. Pemerintah sudah buat kebijakan itu (menjaga gambut). Tapi implementasi di lapangan masih payah,” kata Sigit.
Bencana berkelanjutan
Hilangnya fungsi gambut menyebabkan sejumlah bencana dengan intensitas lebih sering terjadi bahkan berulang. Masing-masing bencana saling berkelindan dan seperti buah simalakama dalam musim dan cuaca apapun.
Sigit meyakini, banjir di Pelalawan, akhir tahun lalu, akibat penurunan permukaan gambut di hulu atau di kubah gambut. Salah satu cirinya, air banjir tampak cokelat, identik dengan warna air gambut.
Banjir saat itu berdampak luas. Melumpuhkan jalur lintas timur yang menghubungkan Riau dengan Jambi, lebih satu bulan. Kemacetan terjadi puluhan kilometer. Hampir 5.000 keluarga terdampak.
Banjir mulai dari hujan yang mengguyur sejumlah daerah dan gambut tak lagi mampu menyimpan air dengan baik. Alhasil, air mengalir ke daerah lebih rendah, seperti sungai.
Masalahnya, sungai juga tak mampu lagi menampung air karena makin dangkal hingga meluap dan menggenangi daratan.
“Masalahnya jadi kompleks. Banjir itu frekuensinya akan makin sering, dampak makin luas dan durasi makin lama. Dengan intensitas hujan sama,” prediksi Sigit.
Sebaliknya, gambut kering juga menjadikan situasi lebih buruk lagi buntut dari miliaran meter kubik air gambut yang semula tersimpan, mengalir ke sungai dan pindah ke laut.
Ketika musim kemarau, katanya, cadangan air gambut habis, timbul kebakaran hutan dan lahan hingga gagal panen.
Belum lagi soal emisi. Sudah tak terhitung jumlah karbon lepas karena kerusakan gambut yang turut berkontribusi pada perubahan iklim. Dampak berikutnya, krisis air bersih, pangan bahkan kesehatan.
“Kompleks sekali. Setiap dampak menimbulkan dampak baru. Saya kadang kalau cerita kayak gini ngeri. Riau ini, sekitar 30 tahun nanti kayak apa? Dengan lihat bencana seperti ini,” kata Sigit, cemas.
Dia menekankan, upaya mitigasi dan perbaikan harus terus menerus seraya menghentikan tindakan merusak. Prinsipnya, gambut jangan dikeringkan dan harus ada aktivitas seimbang di lahan gambut agar kebasahan tetap terjaga.
Revegetasi atau penghutanan kembali, katanya, akan menyuplai tutupan gambut jadi tebal lagi meski perlu waktu lama.
Restorasi gambut terkini
Presiden Joko Widodo menugaskan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) untuk memfasilitasi percepatan restorasi gambut di tujuh provinsi. Riau, salah satunya. Sampai 31 Desember ini, merupakan tenggat waktu target restorasi harus tercapai dengan luas 611.000 hektar dari 1,2 juta hektar target nasional.
Selama 2021-2023, BRGM telah merestorasi gambut keseluruhan seluas 816.235 hektar. Khusus di Riau, baru 223.258 hektar.
Capaian ini masih jauh dari target dalam Peraturan Presiden Nomor 120/2020 tentang BRGM.
“Per tahun 300.000 hektar gambut kering dan rusak BRGM tahan airnya agar tidak keluar deras lagi. (Target nasional) pasti bisa tercapai,” kata Didy Wurjanto, Kapokja Kerjasama, Hukum dan Hubungan Masyarakat BRGM, dalam keterangan tertulis yang diperoleh Mongabay, April lalu.
Dalam restorasi gambut, BRGM menerapkan tiga metode yang dikenal dengan istilah 3R. Pertama, rewetting (pembasahan) melalui pembuatan sekat kanal yang sudah terbangun sebanyak 196 unit. Kedua, revegetasi (penanaman kembali) yang terlaksana seluas 130 hektar. Ketiga, pemberian paket revitalisasi ekonomi yang tersalur sebanyak 53 paket.
“Berdasarkan kesaksian masyarakat dan pemerintah daerah, restorasi gambut yang difasilitasi BRGM dapat menghentikan karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di wilayah tertentu yang sebelumnya terjadi setiap tahun. “
Didy juga memaparkan sejumlah tantangan BRGM. Pertama, masih perlu sosialisasi dan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa) lebih intensif atas kegiatan restorasi gambut. Pasalnya, restorasi gambut kerap bertentangan dengan kegiatan masyarakat.
Misal, sekat yang dibangun BRGM untuk memperlambat laju pengeringan air. Sementara, bagi masyarakat kanal untuk mengeringkan lahan gambut hingga dapat dibudidaya bahkan sebagai jalur transportasi.
Belum lagi masalah klaim status lahan berizin. BRGM kerap menemukan kendala ini saat hendak bangun sekat-sekat kanal tetapi tiba-tiba ada perusahaan komplain dan menolak.
Kedua, restorasi tidak cukup dengan kegiatan biofisik. Selain pembangunan infrastruktur pembasahan gambut berupa sekat kanal, penimbunan kanal, sumur bor dan lainnya, perlu didukung melalui penguatan pada aspek sosial dan kelembagaan.
“Perlu sosialisasi dan padiatapa intensif untuk prakondisi restorasi gambut. Hingga manfaat restorasi dapat berkelanjutan,” kata Didy.
Ketiga, kebijakan automatic adjustment terkait dana restorasi gambut. Kegiatan restorasi saat ini belum berjalan optimal. Automatic adjustment merupakan pemblokiran sementara sebagian anggaran yang dinilai belum prioritas.
Dengan kebijakan itu, jelas Didy, anggaran restorasi gambut disesuaikan lagi pada tahun berjalan. Sesuai kebutuhan yang benar-benar diperlukan di lapangan berdasar updating Detailed Engineering Design (DED).
“Bukan dipotong untuk pengetatan anggaran. Hanya diblokir oleh Kementerian Keuangan namun anggaran masih berada di BRGM. Tentu masih bisa digunakan sesuai kebutuhan di akhir tahun anggaran. Dengan demikian penggunaan APBN di BRGM seefisien mungkin,” jelas Didy, lewat aplikasi perpesanan, April lalu.
Kebiijakan automatic adjustment merupakan langkah antisipasi bagi kementerian dan lembaga dalam menghadapi berbagai dampak atas ketidakpastian situasi global, beberapa tahun belakang termasuk akan datang.
Model pengelolaan anggaran seperti itu juga pernah diterapkan pada 2020 untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) pasca pandemi COVID-19. Disebut dengan istilah refocusing anggaran. Merubah anggaran untuk kegiatan yang belum direncanakan sebelumnya.
Didy nyatakan, pemblokiran anggaran restorasi gambut tidak begitu signifikan. Hanya pengurangan jumlah unit infrastruktur restorasi gambut dari kebutuhan dan realitas yang dibangun.
“Tidak berarti ada kendala pendanaan, kemudian restorasi gambut gagal. Tidak.”
******
Riset: Perlindungan Lahan Gambut dan Mangrove Kunci Mencapai Tujuan Iklim Indonesia