- Kucing merah kalimantan (Catopuma badia), adalah satu-satunya kucing endemik di pulau Kalimantan. Ia memiliki ciri khas yaitu berwarna coklat kemerahan dan ekor panjang.
- Daftar Merah IUCN, mengkategorikan kucing merah sebagai spesies terancam punah, dengan wilayah habitat yang kemungkinan menyusut sepertiganya. Diperkirakan hanya terdapat kurang dari 2.500 kucing merah yang tersisa.
- Masih banyak hal yang tidak diketahui dari keberadaan spesies ini, termasuk relung ekologi, jenis hutan yang disukainya, makanan dan mangsanya, sebaran luas wilayahnya, bagaimana mereka bereproduksi hingga membesarkan anak-anaknya.
- Para peneliti mengatakan bahwa kucing ini berpotensi terancam karena hilangnya habitat, pembunuhan, dan jerat oleh penduduk setempat.
Kucing merah Kalimantan atau borneo bay cat (Catopuma badia) adalah spesies kucing liar yang sangat langka, dan paling sulit ditangkap Spesies C. badia ini adalah satu-satunya kucing endemik Kalimantan dengan penampilannya yang khas.
Ia mudah dibedakan dengan empat spesies kucing lainnya, karena warnanya yang “merah” (coklat kemerahan) dan ekornya yang sangat panjang. Spesies ini setidaknya telah menghilang dari pengamatan para saintis selama lebih dari 60 tahun.
Hingga sekarang pun masih banyak pertanyaan dan misteri yang kita tidak tahu tentang spesies ini.
“Kita bahkan tidak tahu darimana mulai mempelajari spesies ini,” ucap Oliver Wearn, ahli biologi dan konsultan konservasi. “Mereka sangat sulit dipelajari dibanding mamalia mana pun.”
Sebastian Kennerknecht, fotografer dan pendiri Cat Expeditions, mendeskripsikan kucing merah seperti ‘puma mini tetapi tidak dalam genus yang sama’. Kerabat terdekat kucing emas adalah kucing emas asia (Catopuma temminckii). Keduanya terpisah secara evolusi lebih dari tiga juta tahun lalu.
Hal lain yang kita tidak banyak ketahui adalah relung ekologi yang ditempatinya, jenis hutan yang disukainya, makanannya, apakah ia mahluk arboreal atau pemburu darat, sebaran luas wilayahnya, serta bagaimana spesies tersebut kawin dan membesarkan anak-anaknya.
Karena amat misteriusnya, para peneliti pun amat kesulitan mendapatkan foto spesies ini.
Seperti disampaikan Susan Cheyne, ahli biologi dan Direktur di Borneo Nature Foundation International (BNF), sebuah lembaga yang bekerja di Kalimantan Tengah. Meskipun telah bertahun-tahun melakukan penelitian lapangan, belum pernah sekalipun dia melihat secara langsung kucing merah ini di alam.
Hingga saat ini, foto kucing jantan yang diambil oleh Jim Sanderson, pendiri Small Wild Cat Conservation Foundation, yang diambil pada tahun 2008, masih jadi foto terbaik kucing merah yang berhasil didapatkan.
Mereka Masih Ada
Alfred Russel Wallace, ahli biologi terkenal dan salah satu tokoh evolusi dunia, adalah ilmuwan pertama yang menemukan kucing merah.
Dia mengirimkan kulit dan tengkoraknya ke Inggris pada tahun 1856. Sejak itu, para ilmuwan mengumpulkan lima spesimen lagi selama beberapa dekade berikutnya, tetapi setelah tahun 1928 , kucing merah tiba-tiba menghilang.
“Ada beberapa rumor tentang keberadaan kucing merah. Beberapa pencarian yang gagal, dan sesekali penampakan yang belum dapat dikonfirmasi,” tulis sebuah makalah penelitian di Jurnal Oryx yang terbit pada tahun 1993.
Hal ini berubah pada 4 November 1992, saat seekor kucing merah betina yang hampir mati, dibawa ke Natural History Museum di Sarawak. Sebelumnya, warga lokal setempat menangkap dan memelihara kucing tersebut selama beberapa bulan.
“Spesimen itu seukuran kucing domestik dengan ekor yang sangat panjang. Beratnya 1,95kg namun kondisinya sangat kurus, otot-otot tubuhnya melemah dan tulangnya amat menonjol,” jelas mengacu pada makalah penelitian Oryx, yang mengumumkan penemuan tersebut.
Saat hewan itu mati, Charles Leh, kurator museum itu, mengawetkan spesimen tersebut. Satu hal yang mereka pastikan bahwa kucing merah belum punah dan masih ada di alam selama 64 tahun.
Lalu darimana kita tahu bahwa kucing merah masih ada di alam? Jawabannya adalah dari gambar yang dihasilkan dari kamera jebak. Meski itupun teramat jarang, “Kurang dari seratus kali,” ungkap Wai-Ming Wong, Direktur ilmu konservasi kucing kecil di LSM kucing Panthera.
Cheyne dan tim BNF yang telah menghabiskan waktu 16 tahun mengoperasikan kamera jebak di TN Sebangau pun menyebut tak satupun memperoleh gambar kucing merah di daerah itu, meski mereka menangkap gambar dari keempat spesies kucing Kalimantan lainnya.
Meski demikian, para peneliti mencatat kucing merah masih berada di kawasan lindung lainnya di Kalimantan, Indonesia.
Wearn dan rekan penelitinya dari Hutan Lindung Kalabakan di Sabah lebih beruntung. Dengan data kamera jebak, mereka dapat memperkirakan kepadatan populasi kucing merah. Perkiraan menurut mereka: ada sekitar tiga kucing per 100 km2.
Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan jenis macan dahan, jika mengacu pada sebuah makalah penelitian yang terbit pada 2022 di Methods in Ecology and Evolution.
Mereka juga menemukan bahwa kucing merah adalah kucing tercepat di Kalimantan. Kucing merah mampu bergerak dengan kecepatan luar biasa yaitu 1,2 km/jam, jauh lebih cepat dibandingkan satwa tercepat berikutnya yaitu macan dahan, yang badannya jauh lebih besar, yaitu 0,9 km/jam.
“Kepadatan yang rendah dan kecepatan pergerakan yang cepat menyiratkan jika kucing merah adalah jenis yang mungkin memiliki wilayah jelajah yang sangat luas, melebihi macan dahan,” kata Wearn. “Kucing merah mungkin muncul secara tidak merata, karena habitat atau kebutuhan makanan mereka yang sangat spesifik. Itu hal yang kami belum banyak tahu.”
Hilangnya Habitat dan Penurunan Populasi
Para ilmuwan meyakini jika populasi kucing merah saat ini terus menurun. Sejak tahun 1970-an, separuh dari hutan di Kalimantan telah menghilang. Logikanya, spesies yang bergantung pada hutan seperti kucing merah pun sedang mengalami penurunan jumlah yang drastis.
Daftar Merah IUCN, mengkategorikan kucing merah sebagai spesies terancam punah, dan memperkirakan dalam laporan tahun 2010 wilayah habitatnya kemungkinan menyusut sepertiganya. IUCN pada 2016 juga memperkirakan hanya terdapat kurang dari 2.500 kucing merah yang tersisa di alam.
Kucing merah tampaknya tidak ditemukan di hutan gambut. Spesies ini juga belum pernah terlaporkan di perkebunan sawit. Ini berarti, tidak ada koridor hutan yang menghubungkan koneksivitas bagi spesies ini di Kalimantan.
“Kucing merah membutuhkan wilayah luas yang terhubung dan habitat yang relatif utuh untuk bertahan hidup. Jalan, perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur merupakan kendala utama bagi mereka,” kata Wearn.
Satu-satunya titik terang, para ilmuwan telah mencatat kucing merah dijumpai berada di hutan sekunder, yang berarti ia mungkin dapat bertahan hidup di beberapa tempat yang sudah dimasuki oleh manusia.
Selain hilangnya habitat, kucing merah juga terancam oleh perburuan dan pembunuhan. Mereka diburu untuk dimakan dagingnya oleh warga lokal, dan sering dianggap sebagai musuh dari hewan ternak warga seperti ayam, sehingga mati di bunuh.
Andrew Hearn, ahli biologi di WildCRU, mengatakan bahwa dia juga sangat prihatin dengan banyaknya jerat yang biasa dijumpai di hutan. Mengingat kepadatan populasinya yang rendah, penyebab kematian apa pun, dapat berdampak buruk bagi kelangsungan hidup kucing merah.
Penelitian dan Upaya Konservasi
Meski ada beberapa organisasi yang aktif melakukan penelitian kucing kecil seperti Small Wild Cat Conservation Foundation, Panthera dan Re:wild, namun saat ini belum ada kelompok yang melakukan penelitian dan upaya konservasi yang secara khusus berfokus pada kucing merah.
“[Fokus pada] kucing merah saja sangat sulit untuk mendapat dukungan dana, karena mereka sangat langka,” jelas Wong. “Bayangkan, bagaimana jika kami berhasil mengumpulkan banyak uang untuk mempelajari kucing merah, kami juga telah memasang seratus perangkap kamera, namun tidak ada satu pun fotonya? “
Meski demikian sekarang telah ada titik cerah, sejumlah program penelitian dan konservasi kucing liar kecil telah mendapat tambahan dana yang besar. Ayers Wild Cat Conservation Trust menjanjikan jutaan dolar untuk kucing liar kecil pada tahun 2021.
Di luar itu, Cheyne mengatakan, jika para ilmuwan perlu menjangkau masyarakat lokal untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan kucing merah ini.
“Saya yakin ada banyak pengetahuan dan sejarah lokal tentang kucing-kucing ini yang belum dimanfaatkan,” jelasnya. Dia menambahkan bahwa mencari cerita, mitos atau legenda seputar spesies ini akan bermanfaat.
Terkait kucing merah, Sanderson menyebut penghalang utama dari para peneliti adalah ketidaktahuan mereka tentang apa yang mengancam hewan tersebut.
“Tidak ada yang kami ketahui secara spesifik apa ancamannya. Apakah itu dari perburuan, hilangnya habitat, atau pembunuhan. Ini jadi pekerjaan rumah yang besar,” kata Sanderson.
Tulisan asli: On the trail of Borneo’s bay cat, one of the world’s most mysterious felines. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita
Citations:
Sunquist M, Leh C, Hills DM, Rajaratnam R. Rediscovery of the Bornean bay cat. Oryx. 1994;28(1):67-70. doi:10.1017/S0030605300028313
Wearn, O. R., Bell, T. E. M., Bolitho, A., Durrant, J., Haysom, J. K., Nijhawan, S., Thorley, J., & Rowcliffe, J. M. (2022). Estimating animal density for a community of species using information obtained only from camera-traps. Methods in Ecology and Evolution, 13, 2248–2261. doi:10.1111/2041-210X.13930