- DPRD Sulsel tengah menginisiasi rancangan peraturan daerah (ranperda) pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat, yang diharapkan bisa memperbaiki kondisi terumbu karang yang rusak di berbagai daerah.
- Sejumlah pembelajaran menunjukkan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat lebih efektif dalam menjaga kelestarian ekosistem di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, termasuk dalam menjaga terumbu karang.
- Kehadiran perda ini nantinya bisa menjadi solusi karena akan melingkupi aspek legal pengelolaan, kejelasan ruang lingkup pengelolaan, kelembagaan pengelola terumbu karang serta kesiapan pengalokasian sumber daya daerah seperti anggaran, personil dan sarana prasarana.
- Di beberapa pulau di Kota Makassar terjadi kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh faktor alam seperti gelombang yang besar, perubahan iklim dan pemanasan global, aktivitas manusia yang menyebabkan sedimentasi, eutrifikasi, dan penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan seperti bius dan bom, serta aktivitas pariwisata.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan saat ini tengah menginisiasi lahirnya peraturan daerah (perda) pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat. DPRD Sulsel telah menggelar rapat dengar pendapat pansus pembahas rancangan perda (ranperda) di kantor DPRD Sulsel, Selasa, (30/4/2024).
Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia menilai positif adanya inisiatif ini. Ia berharap kehadiran perda ini nantinya dapat menjadi payung hukum bagi penguatan keterlibatan masyarakat secara utuh dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara lestari.
Selama ini, menurutnya, telah banyak regulasi di tingkat nasional dari undang-undang hingga keputusan menteri yang mengatur terkait terumbu karang. Sehingga penting dilakukan harmonisasi serta mendorong muatan ranperda sesuai konteks wilayah Sulsel.
“Perlu melihat berbagai aturan yang sudah ada saat ini, baik tingkat nasional maupun di daerah. Kami harap ranperda yang dihasilkan lebih spesifik lagi dalam menjawab sejumlah persoalan di Sulsel serta menekankan pada pelibatan masyarakat,” katanya.
Menurutnya, dari berbagai pembelajaran program yang telah dilaksanakan YKL Indonesia selama ini, terungkap bahwa pengelolaan berbasis masyarakat lebih efektif dalam menjaga kelestarian ekosistem di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
Baca : Kodingareng Keke Ditarget jadi Laboratorium Terumbu Karang Sulawesi
Dicontohkan di Pulau Langkai dan Lanjukang, Kota Makassar, yang telah memberlakukan sistem buka-tutup wilayah penangkapan selama 3 bulan. Setelah 2,5 tahun, upaya ini telah memberikan hasil positif di mana tutupan karang hidup bertambah 10 hingga 15 persen dan meningkatkan hasil tangkapan nelayan.
“Buka-tutup ini menekan eksploitasi berlebih dan mencegah penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Bukan hanya konservasi yang kami dorong, tapi berjalan beriringan dengan peningkatan ekonomi. Kami berharap tata kelola tersebut diakui dalam perda serta menjadi pembelajaran di lokasi lain,” katanya.
Andi Januar Jaury Dharwis, Ketua Panitia Khusus Ranperda DPRD Sulsel, berharap pembahasan ranperda pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat ini nantinya melahirkan peraturan daerah yang menjawab persoalan pengelolaan terumbu karang agar bermanfaat untuk masyarakat.
“Kami memberikan kesempatan kepada undangan untuk menyampaikan masukan ataupun aspirasinya. Kami akan mencatat dengan baik untuk selanjutnya diakomodir dalam ranperda,” katanya.
Menurutnya, kehadiran perda ini sangat penting melihat kondisi terumbu karang Sulsel yang sangat memprihatinkan dengan tingkat kerusakan berat mencapai 70 persen, sehat 23 persen dan sangat sehat hanya 7 persen. Kerusakan ini telah mengakibatkan menurunnya jumlah ikan berkurang sehingga ikan yang berada di Sulsel saat ini banyak berasal dari provinsi lain.
Kamaruddin Azis, Ketua Ekonomi Kreatif Selat Makassar, menyatakan bahwa memang telah menjadi realitas dan sekaligus tantangan pengelolaan terumbu karang Sulsel adalah masih maraknya praktik perusakan ekosistem dengan penggunaan bom ikan, bius dan alat tidak ramah lingkungan.
Di sisi lain, kapasitas nelayan untuk bertransformasi sebagai pelindung atau pengelola ekosistem berhadapan dengan kebijakan pengelolaan ruang pesisir dan laut yang berubah-ubah.
“Perlu fasilitator pendamping masyarakat yang bisa mengadvokasi mata pencaharian mereka termasuk jika ada pihak penekan dari luar, baik itu nelayan pengganggu maupun aparat yang belum memahami pentingnya konservasi terumbu karang,” katanya.
Baca juga : The Big Build: Upaya Restorasi Terumbu Karang Terbesar Dunia di Bontosua, Pangkep
Menurut Kamaruddin, kehadiran UU Cipta Kerja hingga ketentuan rencana zonasi wilayah pesisir dan laut terintegrasi seharusnya bisa menjadi penjaga dari praktik pengelolaan yang merusak.
“Sayangnya kapasitas tersedia di daerah terutama pemerintah provinsi belum memadai seperti personil yang terbatas, sarana prasarana milik cabang dinas kelautan dan perikanan yang belum optimal. Sejumlah titik malah masih memunculkan konflik antara kepentingan atau kewenangan, apakah kabupaten dan kota atau provinsi.”
Ia berharap kehadiran perda ini nantinya bisa menjadi solusi karena akan melingkupi aspek legal pengelolaan, kejelasan ruang lingkup pengelolaan, kelembagaan pengelola terumbu karang serta kesiapan pengalokasian sumber daya daerah seperti anggaran, personil dan sarana prasarana.
“Hanya saja, berdasarkan naskah ranperda yang dibagikan, belum menegaskan perlunya penggambaran yang jelas tentang pelibatan masyarakat, apa yang dimaksud community based dalam proses pengelolaan termasuk tahapan-tahapan pelibatan.”
Dalam perda ini juga, menurut Kamaruddin, belum disebutkan model institusi atau kelembagaan yang mengelola, baik di ranah per desa atau pulau hingga pada level yang lebih tinggi. Unit pengelola ini penting sebab akan menjadi penjamin keberlanjutan. Termasuk penjelasan siapa melakukan apa untuk penguatan kapasitas masyarakat pesisir, pengelola terumbu karang, kelompok pengawas terumbu karang berbasis masyarakat hingga pengelolaan anggaran dan tanggung jawab daerah.
“Untuk memastikan, kualitas perda pengelolaan terumbu karang yang berbasis pada pengalaman, konsepsi yang berbasis faktual, ada baiknya DPRD Sulsel memperluas peserta diskusi terutama pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat di Sulsel yang sudah punya pengalaman mengelola terumbu karang, komoditas berbasis karang serta pengelolaan kepariwisataan bahari berbasis terumbu karang.”
Menarik dibaca : Gelasa, Pulau Perawan Bertabur Terumbu Karang Purba
Penyebab Rusaknya Terumbu Karang di Makassar
Menurut Mudasir Zainuddin, dari Global Geoscience Indonesa (GGI) SCUBA, menyatakan bahwa memang saat ini terjadi kerusakan terumbu karang di berbagai lokasi di Makassar. Kerusakan ini disebabkan sejumlah faktor baik yang bersifat alami maupun aktivitas manusia. Faktor alam seperti gelombang yang besar, perubahan iklim dan pemanasan bisa menyebabkan pemutihan karang.
Sementara sebab aktivitas manusia adalah berbagai aktivitas yang menyebabkan sedimentasi, eutrifikasi, dan penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan seperti bius dan bom, serta aktivitas pariwisata.
“Aktivitas pariwisata seperti snorkling dan diving yang tidak disertai pengetahuan dan kesadaran yang baik bisa menyebabkan rusaknya terumbu karang, baik karena tersentuh maupun terinjak.”
Kerusakan juga bisa disebabkan oleh aktivitas penurunan jangkar kapal oleh kapal pariwisata, khususnya di lokasi pulau wisata yang tidak memiliki tambatan kapal, di mana penyedia transportasi kapal akhirnya membuang jangkar di daerah karang agar mudah tersangkut.
Penyebab lainnya adalah sampah laut, seperti yang di Pulau Barrang Lompo Makassar. Banyaknya sampah plastik atau sampah rumah tangga yang dibuang ke laut berdampak pada kematian terumbu karang karena tertutup sampah.
“Tidak hanya membunuh terumbu karang, sampah juga berdampak biota laut lainnya, baik sampah makro maupun mikro berupa mikroplastik,” pungkasnya. (***)
Kisah Sukses Tramena dan Gili Matra Lakukan Restorasi Terumbu Karang di Gili Trawangan