- Para perempuan di kaki Lembah Masurai, Desa Renah Alai, sebuah desa yang kental dengan adat di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi, memainkan peran kunci dalam industri kopi dengan praktik-praktik ramah alam. Masyarakat Adat Marga Serampas ini tinggal di pedesaan yang sebagian wilayah masuk Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
- Hasil uji laboratorium di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember oleh KKI Warsi pada 2017, menunjukkan, robusta Marga Serampas di Jangkat masuk karakteristik excellent score dengan point 83.63, berpotensi masuk pasar premium kopi di Indonesia.
- Banyak gerakan muncul di berbagai belahan dunia yang menunjukkan kesetaraan gender dalam industri kopi. Di Indonesia, ada Java Mountain Coffee milik Intan Westlake. Data International Coffee Organization 2019 menyebut, kontribusi perempuan dalam industri kopi global sangat signifikan. Setidaknya, 20-30% kebun kopi dikelola perempuan. Bahkan lebih dari 70% buruh di industri kopi adalah perempuan.
- Kopi bukan hanya jadi sumber ekonomi, juga benteng bagi hutan Marga Serampas, yang mencakup lima desa, Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri dan Renah Kemumu.
Para perempuan di kaki Lembah Masurai, Desa Renah Alai, sebuah desa yang kental dengan adat di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi, memainkan peran kunci dalam industri kopi dengan praktik-praktik ramah alam.
Masyarakat Adat Marga Serampas ini tinggal di pedesaan yang sebagian wilayah masuk Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Pagi itu, di kios berukuran 4×4 meter Arinda Aini sibuk menyangrai biji kopi. “Kalau sudah satu jam, berarti kopi sudah masak,” katanya.
Perempuan 43 tahun itu menunjukkan dua bungkus plastik ukuran 10 kilogram berisi biji kopi sangrai.
Di dalam kios itulah Arinda memproduksi kopi robusta terbaik di Renah Alai. Di atas ambalan, dia pajang beberapa bungkus kopi berbagai ukuran. Pada kemasan tertulis “Binsa Coffee.”
Arinda, merupakan anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Bina Usaha, yang jadi wadah belasan perempuan mengelola potensi desa lewat kopi. . Mereka punya mimpi mewujudkan kemandirian ekonomi dan pemberdayaan perempuan.
Keberadaan KWT Bina Usaha mendapat dukungan Pemerintah Desa Renah Alai. Hasan Basri, Kepala Desa Renah Alai rela bolak-balik melobi Pemerintah Jambi agar mau membantu usaha Binsa Coffee. “Alhamdulillah berhasil,” katanya semringah.
Pada 2023, KWT Bina Usaha mendapatkan bantuan bangunan untuk pengeringan biji kopi dengan tenaga surya, lengkap dengan mesin oven.
“Dari sekian banyak kelompok tani Desa Renah Alai hanya satu KWT ini yang mau bergerak dan sampai saat ini masih berjalan lancar,” kata Hasan.
Penggerak ekonomi
Lebih dari 100 tahun lalu, nenek moyang Masyarakat Renah Alai sudah menanam kopi. Mereka menanam kopi tinggi—dalam bahasa lokal disebut kopi sta. Awalnya, mereka menanam kopi hanya untuk konsumsi. Sejak harga kayu manis anjlok pada 1997, praktis kopi berubah menjadi sumber utama ekonomi masyarakat Renah Alai.
Sekarang, mayoritas Masyarakat Adat Serampas di Jangkat jadi petani kopi. Mereka menanam kopi jenis robusta (Coffea canephora atau Coffea robusta) yang memiliki kandungan gula lebih rendah dan kafein lebih tinggi 2,2% dari Arabika. Rasanya lebih kuat dan pahit.
Para petani kopi di Jangkat lagi semringah, karena harga kopi robusta sedang tinggi-tingginya. Harga di tingkat petani bisa tembus Rp30.000 lebih sekg. Sekali panen raya, petani bisa mengantongi puluhan juta.
Banyak hasil kopi dari Jangkat dijual ke Lampung, sebagai pengekspor kopi terbesar nasional, dengan tujuan lebih dari 25 negara. Sebagian dipasarkan ke Sumatera Barat dan Bengkulu.
Sejak terbentuk pada 2022, KWT Bina Usaha mulai produksi kopi dari hasil panen petani. KWT hanya menampung kopi petik merah untuk menghasilkan kopi berkualitas.
Dalam sebulan, KWT Bina Usaha bisa memproduksi kopi sampai 100 kg. “Tergantung permintaan, kalau lagi banyak bisa 100 kg lebih,” ujar Arinda.
Hasil olahan kopi ini mereka pasarkan ke Kecamatan Jangkat hingga Bangko, ibu kota Merangin. Satu bungkus kecil green bean—kopi mentah siap sangrai—Rp14.000, sedangkan kopi bubuk siap seduh sampai Rp100.000 per bungkus. Omzet sebulan mencapai Rp10 juta lebih.
Lis Rahayu, Ketua KWT Bina Usaha bilang, hasil produksi kopi masih relatif kecil karena keterbatasan modal. Tetapi, dia tetap bersyukur karena punya penghasilan sampingan untuk tambahan ekonomi.
“Paling tidak kita punya penghasilan walau sedikit,” katanya.
Lis enggan menyebut hasil produksi kopi KWT, dia hanya bilang, jumlah masih kecil. “Kalau mencukupi [kebutuhan keluarga] belum, tapi sudah sangat membantu.”
Jhe Edhyanto, Ketua Dewan Kopi Indonesia (Dekopi) Jambi mengatakan, kopi robusta di Jangkat sangat unik karena ditanam di ketinggian lebih 1.000 mdpl.
“Rasanya unik, seperti campuran antara robusta dan arabika, padahal robusta murni,” katanya.
Hasil uji laboratorium di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember oleh KKI Warsi pada 2017, menunjukkan, robusta Marga Serampas di Jangkat masuk karakteristik excellent score dengan point 83.63, berpotensi masuk pasar premium kopi di Indonesia.
Di ajang 8th Specialty Coffe Association of Indonesia (SCAI) Micro Lots Indonesia Specialty Coffee Auction 2019 yang digelar di Bandung, Jawa Barat, kopi robusta dari Jangkat meraih nilai 82,42 dari Q robusta grader, mengungguli 15 kopi robusta dari daerah lain di Indonesia.
Hasil penilaian juri, kopi robusta Jangkat memiliki aroma karamel dan buah-buahan tropis. Saat dingin rasa krim dan karamel sangat mendominasi.
Deni Inchsan, pemilik café Koffiekopi di Kota Jambi yang telah 10 tahun menggeluti bisnis kopi benarkan kualitas kopi Jambi sangat konsisten. Bahkan selalu masuk tujuh besar nasional.
Kesetaraan gender lewat kopi
Saat musim panen tiba, para perempuan di Renah Alai saling berbagi peran dengan lelaki. Mereka bekerja memetik buah kopi sampai penjemuran. Lelaki bertanggung jawab membersihkan lahan dan perawatan kebun.
“Dalam keluarga kita punya tanggung jawab sama. Cuma kerjanya saja yang berbeda,” kata Lis Rahayu.
Tidak hanya di hulu, perempuan juga mengambil peran sebagai roastery sampai memasarkan hasil kopi.
Jhe juga Ketua Yayasan Etalase Ekosistem Indonesia dan pendamping petani kopi di Jambi mengatakan, perempuan berperan sangat besar dalam industri kopi, dari hulu sampai hilir.
“Dari dulu, perempuan sudah terlibat banyak dalam mengolah kopi, mulai panen, penjemuran, sortir, kontrol sampai sangrai dilakukan perempuan, terutama anggota KWT. Di hilir, banyak perempuan jadi barista di café-café,” kata Jhe.
Banyak gerakan muncul di berbagai belahan dunia yang menunjukkan kesetaraan gender dalam industri kopi. Salah satu gerakan paling masif adalah City Girl Coffee Co yang didirikan Alyza Bohbot. Roastery asal Minnesota itu hanya menyangrai biji kopi yang dimiliki dan dikelola oleh perempuan.
Di Indonesia, ada Java Mountain Coffee milik Intan Westlake juga melakukan gerakan serupa. Java Mountain Coffee mendirikan dua koperasi, yakni, Java Mountain Coffee Women Cooperative dan Bali Mountain Coffee Women Cooperative untuk memberdayakan petani kopi perempuan di pedesaan.
Data International Coffee Organization 2019 menyebut, kontribusi perempuan dalam industri kopi global sangat signifikan. Setidaknya, 20-30% kebun kopi dikelola perempuan. Bahkan lebih dari 70% buruh di industri kopi adalah perempuan.
Jaga hutan adat lewat kopi
Kopi bukan hanya jadi sumber ekonomi, juga benteng bagi hutan Marga Serampas, yang mencakup lima desa, Renah Alai, Rantau Kermas, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri dan Renah Kemumu.
Pada 2016, Bupati Merangin Al Haris –saat ini Gubernur Jambi—meneken Peraturan Daerah Merangin Nomor 8/2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas. Ia tertuang dalam Perda Merangin Nomor 8/2016.
Dalam perda itu, luas wilayah adat Serampas 61.000 hektar. Sekitar 1.368 hektar berada di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Secara turun-temurun Masyarakat Adat Serampas selalu menjaga kearifan lokal dalam mengelola hutan. Mereka membagi wilayah hutan menjadi beberapa bagian, yakni ulu aik, tanah ngarai, tanah ajum dan arah. Wilayah ulu aik, yaitu, kawasan perlindungan sumber mata air yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Tanah ngarai, yaitu kawasan perlindungan yang memiliki kelerengan tinggi dan tak boleh diolah karena bisa mengakibatkan banjir dan longsor. Tanah arah, yaitu, tanah dengan pemanfaatan untuk pemukiman. Sedangkan tanah ajum, yaitu kawasan sebagai penunjang perekonomian masyarakat, untuk kebun, salah satunya kopi.
Dalam tiga dekade terakhir, bisnis kopi dan sayuran yang mulai menjanjikan justru mengancam hutan marga Serampas. Banyak perambah mengincar Hutan Adat Depati Seni Udo di Renah Alai untuk jadi ladang sayur dan kebun kopi.
“Sudah empat kali kami nangkap pendatang yang mau merambah hutan adat. Mereka mau buka untuk kebun sayur,” kata Hasan.
Para perambah itu didenda adat dengan membayar satu kambing, 20 gantang—satu gantang setara 2,5 kg—beras, dan uang Rp5 juta.
“Alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada lagi yang masuk,” katanya.
Para perempuan di Renah Alai wajib menjaga hutan. “Dengan ada kebun kopi, orang jadi sering ke kebun. Jadi secara tidak langsung mereka—perempuan—ikut mengawasi para perambah masuk.”
Pemerintah Desa Renah Alai juga mengatur ketat warga yang ingin membuka lahan. Dari luas wilayah desa sekitar 5.000 hektar, setiap keluarga dibatasi tidak lebih dari 10 hektar untuk memastikan semua warga Renah Alai yang mencapai 1.227 jiwa bisa mendapatkan lahan.
“Kalau bebas buka lahan, nanti kawan yang lain tidak dapat bagian. Buka lahan harus digarap dan sesuai kemampuan,” kata Hasan.
Pada 2020, dia mengusulkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar 176 hektar dari wilayah hukum adat Marga Serampas jadi hutan adat Desa Renah Alai.
“Ada 136 hektar masuk wilayah TNKS. Kalau jadi hutan adat Renah Alai, kita akan makin kuat menjaganya,” kata Hasan.
Ahmad Bestari, Kepala Dinas Kehutanan Jambi mengatakan dari 200.000 hektar lebih izin perhutanan sosial di Jambi, skema hutan adat paling efektif menjaga hutan.
“Karena mereka merasakan langsung manfaat menjaga hutan, seperti air dan HHBK—hasil hutan bukan kayu.”
Hutan Marga Serampas, merupakan hulu sungai besar yang penting bagi kehidupan masyarakat di Jangkat. Sebagian sungai mengalir ke Bengkulu dan Sumatera Barat.
Lebih dua dekade masyarakat Renah Alai memanfaatkan aliran Sungai Gedang yang deras sebagai penggerak turbin pembangkit laistrik tenaga mikrohidro (PLTMH) berkapasitas 50 kilowatt (kW) untuk menerangi lebih dari 250 rumah.
Hasan katakan, listrik PLTMH yang dikelola Bumdes 30% lebih murah dari listrik PLN. Karena itu, pada 2023, dia mengajukan revitalisasi PLTMH pada Pemerintah Jambi.
Hasan ingin daya PLTMH ditingkatkan hingga dua kali lipat dengan memanfaatkan pertemuan aliran Sungai Gedang, Manggruk, Mentalin dan Sungai Dingin, hingga masyarakat desa bisa mendapatkan listrik murah yang ramah lingkungan.
Penting untuk iklim
Hutan Marga Serampas di Renah Alai memberi kontribusi penting dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Pada 2020, Desa Renah Alai ditetapkan KLHK sebagai lokasi program kampung iklim kategori utama. Pemerintah Desa Renah Alai dinilai aktif untuk aksi adaptasi dan mitigasi secara terintegrasi.
Rudi Syaf, pendiri Komunitas Konsevasi Indonesia (KKI) Warsi, menyebut, setiap hektar hutan Marga Serampas mampu menyimpan karbon 300-380 ton yang penting untuk mencegah perubahan iklim.
“Karena sebagian wilayah hutan Marga Serampas itu berada di TNKS, jadi tutupan hutan masih terjaga,” kata Rudnya.
“Wilayah masyakat Serampas juga diatur sesuai adat, hingga hutan mereka tetap terjaga.”
Periode 2021-2025, Jambi ditargetkan mampu menurunkan 14 juta ton emisi karbon melalui program bio carbon fund (BioCF) yang didanai Bank Dunia. Program ini hanya dilakukan di lima negara di dunia, termasuk Indonesia.
Jambi mendapatkan dana Rp34 miliar dari Result Based Payment (RBP) REDD+. RBP merupakan pembayaran berdasarkan kinerja pengurangan emisi. Program ini untuk mempromosikan pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor lahan, penurunan deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang. Serta mempromosikan skema pertanian berkelanjutan, perencanaan, kebijakan dan praktek penggunaan lahan yang lebih baik.
“Perubahan iklim, salah satunya disebabkan emisi, yang dapat mereduksi pelepasan emisi adalah hutan,” kata Sukma Reni, Koordinator Komunikasi KKI Warsi.
Dia menilai, tanaman kopi Masyarakat Adat Serampas di Renah Alai cocok untuk ikut menjaga tutupan hutan bercampur dengan tumbuhan lain. “Kopi kan termasuk tanaman kehutanan, butuh tanaman pelindung, jadi agroforestri.”
Kopi membuat perempuan Desa Renah Anai belajar bisnis, kemandirian sampai kesetaraan. Biji-bijian pahit itu telah memberi pengaruh besar terhadap perempuan di kaki Lembah Samurai, Jambi ini.
“Karena kopi, kami jadi belajar banyak hal,” kata Arinda.
*******
Liputan ini merupakan fellowship Perempuan, Bisnis Berkelanjutan dan Perubahan Iklim yang diselenggarakan ASPPUK, AJI Indonesia dan Konde.co
Budidaya Kopi Meratus, Upaya Tingkatkan Ekonomi Warga dan Jaga Hutan