- Baru-baru ini, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian menyebut, tindakan Uni Eropa mempersulit produk sawit dan nikel Indonesia dengan menerapkan aturan anti deforestasi dan gugatan ke World Trade Organization (WTO).
- Organisasi masyarakat sipil menilai, pemerintah tak bisa melihat maksud pasar Uni Eropa mendorong keberlanjutan dari komoditas-komoditas ini. Seharusnya, sikapi dengan perbaikan serius tata kelola di dalam negeri.
- Dalam UU Anti Deforestasi Uni Eropa, itu bukan hanya untuk produk sawit, juga kopi, kakao, karet, kedelai, daging dan produk turunannya.
- Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, Indonesia, tak memiliki sensitivitas terhadap percakapan global yang mengedepankan produk-produk berkelanjutan yang ramah lingkungan. Pemerintah pun disebut tak memiliki pergaulan luas dalam konteks global.
Baru-baru ini, Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian menyebut, tindakan Uni Eropa mempersulit produk sawit dan nikel Indonesia dengan menerapkan aturan anti deforestasi dan gugatan ke World Trade Organization (WTO). Organisasi masyarakat sipil menilai, pemerintah tak bisa melihat maksud pasar Uni Eropa mendorong keberlanjutan dari komoditas-komoditas ini. Seharusnya, sikapi dengan perbaikan serius tata kelola industri sawit dan nikel di dalam negeri.
Airlangga tuding, upaya penjegalan Uni Eropa ini di tengah proses penyelesaian perundingan Indonesia-Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang belum rampung. Perundingan ini sudah berjalan tujuh tahun.
“Dalam rangka mereka melakukan negosiasi dengan Indonesia, dua komoditas andalan kita diganggu di WTO, nikel maupun sawit. Kita masih berkasus dengan Eropa,” katanya berdalih, dikutip dari Detik.com.
Dia juga bandingkan rempah-rempah Indonesia era kolonial dulu yang diangkut ke Eropa. “Tapi nggak apa-apa. Dari dulu kita dengan Eropa, saya katakan sama mereka, nikel hari ini sama dengan spices abad 16. Kalau abad 16 mereka tidak mempersoalkan traceability, sekarang mereka menanyakan traceability dari kakao, kopi, karet, sawit. Abad 16 mereka tidak tanya spices itu dari mana saja, dan impor kopi itu dari mana?” katanya dalam sebuah Seminar Ekonomi di Jakarta.
Airlangga menilai, UE tidak rasional menyebabkan Indonesia protes.
Dalam UU Anti Deforestasi Uni Eropa, itu bukan hanya untuk produk sawit, juga kopi, kakao, karet, kedelai, daging dan produk turunannya.
Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, pemikiran seperti itu terkesan kolot dan tidak pantas.
”Tidak pantas membandingkan situasi hari ini dengan beberapa puluh tahun lalu. Semua sudah berubah.”
Indonesia, sebut Uli, tak memiliki sensitivitas terhadap percakapan global yang mengedepankan produk-produk berkelanjutan yang ramah lingkungan. Pemerintah pun disebut tak memiliki pergaulan luas dalam konteks global.
Dia contohkan, beberapa negara yang aktif menyusun regulasi memperketat komoditas yang masuk ke negara mereka. Uni Eropa, katanya, dengan aturan anti deforestasi ( Regulation on Deforestation Free Products /EUDR), Inggris Raya sedang menyusun Undang-undang Lingkungan Hidup yang turut mengatur HAM dan bisnis. Juga, Amerika sedang menyusun Undang-undang bebas deforestasi.
Uli juga menyebut, beberapa kali komunikasi dengan negara lain, Walhi justru mendapat pertanyaan terkait komitmen Indonesia terkait hutan mereka. “Kenapa dorongan harus ada dari negara lain?” katanya.
Syahrul Fitra, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia pun tertawa mendengar pernyataan itu. Dia menilai, pernyataan menteri itu menunjukkan pemerintah tidak mau belajar dari masa lalu. “Lucu sekali statement ini. Di masa kolonialisme mikirnya hanya dominasi, tapi sekarang dunia sudah berubah,” katanya saat dihubungi Mongabay.
Perubahan itu, kata Syahrul, terdorong pemahaman bersama secara global bahwa dunia sedang krisis. Dalam pertemuan global pun, Indonesia kerap menunjukkan pemahaman yang sama.
Dengan pernyataan Airlangga seolah memperlihatkan, negara ini tidak mau belajar. “Indonesia melakukan keserakahan sama (seperti kolonial era itu).”
Dorongan pasar
Andre Barahamin, Community Outreach Coordinator Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) saat dihubungi terpisah menyebut, ada semangat kolaborasi global yang luput dilihat pemerintah. Jadi, membandingkan sawit dan nikel dengan masa kolonial bukan perbandingan apple to apple.
”Komentar pemerintah yang membandingkan dua zaman ini tidak berdasar. Menunjukkan wajah asli pemerintah seperti wajah buruk cermin yang dibelah,” katanya.
Menurut Andre, ada dorongan UE dan negara pasar lain terhadap Indonesia sebagai negara penghasil nikel untuk menyelesaikan tiga masalah besar. Pertama, pelanggaran HAM oleh pertambangan yang tidak bertanggung jawab.
Selama ini, praktik pertambangan cenderung mengesampingkan masyarakat sekitar. Padahal, katanya, mereka berhak menerima atau menolak praktik pertambangan.
Kondisi ini, katanya, didorong belum ada ratifikasi konvensi ILO Nomor 169/1989. Konvensi ini pada dasarnya memastikan hak masyarakat adat dan suku terasing dalam setiap proses pembangunan dan aktivitas yang berdampak pada mereka.”Kita tidak bisa meratifikasi karena belum ada UU Masyarakat Adat. Padahal, instrumen ini penting untuk padiatapa dan meminimalisir aspek pelanggaran HAM yang terjadi terus-menerus,” kata Andre.
Kedua, ada mekanisme dari pasar yang meminta setiap pertambangan tidak merusak dalam skala besar. Menurut Andre, tak ada pertambangan yang tidak merusak lingkungan. Untuk itu, pasar meminta setiap praktik di negara produsen bisa dengan mitigasi dan minimalisasi dampak.
Ketiga, ada problem terkait regulasi yang harus dibenahi pasar dan negara produsen. Terkait nikel, tata kelola masih bermasalah karena tidak ada regulasi yang bisa mengatur secara spesifik.
“Regulasi kita terlalu general. Tidak spesifik dan progresif dalam mengatur mineral khusus seperti nikel, cobalt, dan lainnya,” katanya.
Padahal, peraturan spesifik dan jelas bisa memperbaiki tata kelola. Dia contohkan, pada standar yang ditetapkan IRMA terhadap pertambangan.
Standar ini, dengan sendirinya jadi alat ukur menilai tata kelola sebuah perusahaan. “Lalu kita bicara hilirisasi. Sampai sekarang belum ada peraturan membuat implementasinya jadi terukur.”
Sedang untuk sawit, kata Uli, dorongan pasar UE dalam lewat EUDR merupakan bentuk kecerdasan konsumen yang makin tinggi. Ada perubahan perilaku dan sikap konsumen yang menunjukkan upaya penyadartahuan oleh para pegiat lingkungan menemukan titik terang.
”Seharusnya pemerintah bisa lebih sensitif memandang keinginan konsumen ini,” kata Uli.
Dengan demikian, katanya, pemerintah harus punya regulasi untuk memproteksi hutan tersisa. Pun demikian dengan regulasi yang mempercepat dan memperluas wilayah kelola rakyat dan wilayah adat.
Kalau pemerintah selalu menegasikan Undang-undang yang ramah lingkungan, katanya, maka Indonesia akan tersingkir dari kontestasi ekonomi global. “Meskipun tanpa ada regulasi dari pasar, perbaikan tata kelola merupakan satu keharusan,” kata Uli.
Terkait desakan pasar ini, Greenpeace menilai, pemerintah jangan memandang sebagai larangan sawit dan nikel tetapi ada syarat tertentu yang diminta pasar yang seharusnya bisa dilalui kalau memang ada standar atau tata kelola yang baik.
Selama ini, dalam setiap komunikasi publik, pemerintah cenderung memberikan narasi tidak tepat. “Pemerintah selalu menyebut kalau sawit dan nikel dipersulit atau dilarang. Itu salah,” kata Syahrul.
Yang pasar minta, katanya, adalah komoditas bebas deforestasi dan memiliki tata kelola berkelanjutan. Seharusnya, pemerintah membuka fakta kalau ada sorotan pasar atas komoditas asal Indonesia karena industri dalam negeri belum mampu memenuhi tuntutan itu.
Selain itu, katanya, ia bisa jadi momentum perbaikan tata kelola sekaligus meningkatkan nilai jual sawit dan nikel. “Dengan demikian, pasar dan produsen bisa sama-sama saling menghargai.”
Indonesia, kata Syahrul, sebenarnya sudah memiliki semangat memperbaiki tata kelola industri ekstraktif. Ia bisa terlihat dari beragam regulasi yang sudah keluar seperti setop izin baru di hutan dan gambut, moratorium izin sawit, koordinasi dan supervisi (korsup) KPK.
Namun, katanya, implementasi regulasi yang baik itu masih belum maksimal, dan cenderung tak berkesinambungan. Padahal, regulasi ini bisa menghasilkan tata kelola yang baik kalau serius.
“Seperti moratorium pemberian izin baru. Kalau serius dijalankan kita bisa comply (penuhi) EUDR. Kelihatannya memang Indonesia tidak mau memiliki tata kelola yang sustain.”
******
Gugus Tugas Bersama EUDR Tertutup? Berikut Masukan Koalisi Masyarakat Sipil