Belakangan ini Prabowo Subianto tampak semakin sering menunjukkan diri di media internasional. Mengapa demikian?
Huru-hara seputar Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024) sudah usai, pelantikkan Prabowo Subianto sebagai presiden Indonesia 2024-2029 hanya tinggal menunggu tanggal 22 Oktober 2024.
Sembari menunggu waktu pelantikan yang masih beberapa bulan lagi, Prabowo tampaknya sudah mulai menjalani beberapa aktivitas yang akan mendukung kepemimpinannya sebagai presiden. Salah satunya yang menarik untuk dibahas adalah kebiasaan baru Prabowo tampil di media-media internasional.
Ya, setidaknya dalam tiga bulan terakhir ini Prabowo terlihat semakin aktif dalam menunjukkan diri di publikasi-publikasi internasional. Pada 26 April 2024, contohnya, Prabowo menulis sebuah opini tentang perdamaian di Gaza dalam kolom media The Economist. Opini ini sempat jadi sorotan media internasional karena Prabowo memberi pernyataan yang cukup tegas tentang pentingnya perdamaian di sana.
Tidak berhenti di situ, pada 14 Mei 2024 Prabowo juga terlihat diwawancara oleh jurnalis dari media Al Jazeera tentang banyak hal, salah satunya yang paling menarik adalah terkait posisi politik Indonesia dalam isu Papua.
Terbaru, Prabowo pun kembali jadi sorotan media internasional kala menghadiri acara diskusi suatu segmen di rangkaian acara Qatar Economic Forum (16/5/2024). Di acara tersebut Prabowo bahkan sempat dilempar pertanyaan yang cukup kritis dari seorang jurnalis media Bloomberg yang menuding Indonesia belakangan terlihat semakin proteksionis, dalam aspek kebijakan ekonomi.
Menarik kemudian untuk kita pertanyakan, mengapa Prabowo akhir-akhir ini aktif menunjukkan diri di media-media internasional?
Eksposur adalah Pesan?
“If we cannot depend on journalistic ethics, the nation’s in trouble.”
Jika kita tidak bisa mengacu pada etika jurnalisme, maka negara kita akan dalam bahaya, begitulah ucap Dave Brat, senator dari Amerika Serikat (AS), ketika berbicara tentang pentingnya nilai demokrasi dan jurnalisme. Perkataan tersebut bisa diartikan sebagai peringatan bagi sesama politisi bahwa keaktifan seorang politisi dan nama baiknya di media adalah sesuatu yang sangat penting.
Keterbukaan Prabowo kepada media-media internasional pun belakangan ini sepertinya bisa jadi resonansi dari apa yang diungkapkan Dave Brat. Berangkat dari pandangan Dave, maka bisa jadi kesediaan Prabowo jadi pusat perhatian internasional sebetulnya adalah upaya Prabowo untuk memberikan sinyal positif kepada negara-negara di seluruh dunia.
Dengan menjadi seorang pemimpin yang terbuka untuk ditanyakan apapun oleh media-media internasional, Prabowo seakan memberi pandangan pada dunia bahwa dirinya adalah seorang pemimpin yang selalu terbuka untuk diskusi. Hal ini menjadi lebih menarik mengingat Prabowo pun rela membahas hal yang kontroversial, seperti membahas soal HAM ketika bersama Al Jazeera, dan membahas soal proteksionisme ketika bersama Bloomberg, sebuah isu yang kerap dianggap dibenci oleh negara-negara asing.
Secara awam, gelagat Prabowo yang demikian mungkin diartikan sebagai bentuk ketegasan dalam menghadapi terpaan dinamika politik internasional, namun dari pandangan hubungan internasional, sikap Prabowo justru tunjukkan nilai keterbukaan untuk bernegosiasi tentang apapun bersama siapapun. Dari pandangan bisnis, tentu sikap yang demikian juga akan menguntungkan.
Menariknya, gaya eksposur internasional yang serupa juga sempat ditunjukkan oleh presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ketika masa-masa awal kepemimpinannya dulu, Soekarno pun sangat aktif menerima undangan wawancara media-media internasional, yang kemudian berdampak pada pembangunan citra Indonesia itu sendiri sebagai sebuah negara yang memiliki suara dalam politik internasional.
Namun, mungkinkah efek esksposur Soekarno silam juga teraplikasi pada masa kepemimpinan Prabowo nanti?
Kebijakan Luar Negeri Dimulai dari Pemimpinnya
Andrea K. Grove dalam tulisannya Political Leadership in Foreign Policy, menyebutkan bahwa seorang pemimpin, contohnya seperti presiden, memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan arah kebijakan luar negeri. Hal ini karena ia bisa memberikan legitimasi atas kekuasaannya baik dalam konteks diplomasi publik maupun politik internasional.
Pada era Soekarno dulu, sikap politik luar negeri yang ditunjukkan melalui retorika-retorikanya bahkan bisa menarik investasi yang luar biasa besar dari Uni Soviet, tanpa intervensi dari Barat, dukungan Soviet ke Soekarno dulu bahkan kerap diasumsikan bisa mengarah ke pembangunan program nuklir.
Bila Prabowo terus menunjukkan sikap yang terbuka untuk diskusi kepada audiens internasional, maka bisa saja itu pun memberi keuntungan, setidaknya dalam aspek manuver diplomasi, bagi Indonesia di masa mendatang.
Dalam jangka panjang, gelagat yang kooperatif dan terbuka terhadap dialog internasional pun sangat membantu dalam koordinasi respon global terhadap berbagai isu, seperti perubahan iklim, terorisme, atau pandemi. Presiden yang menunjukkan komitmen terhadap kerja sama internasional juga bisa mempermudah implementasi kebijakan luar negerinya yang efektif.
Di sisi lain, khususnya bagi orang awam, gaya komunikasi publik internasional yang sepertinya akan semakin ditunjukkan Prabowo bisa jadi hiburan tersendiri, karena toh memang sejak era awal reformasi kita belum memiliki pemimpin yang gaya komunikasinya seperti demikian. Menarik untuk ditunggu perkembangannya. (D74)