Di tengah banyaknya permasalahan pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, baru-baru ini, Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Sekretaris Ditjen Dikti), Tjitjik Sri Tjahjandarie, menyebutkan bahwa pendidikan tinggi tidak wajib dan bersifat tersier. Alasannya, wajib belajar 12 tahun berhenti pada tingkat SMA/MA/SMK.
Pernyataan tersebut menunjukkan tarik menarik antara hak warga negara untuk mengenyam pendidikan tinggi dan kewajiban negara untuk menyediakannya.
Padahal, Pasal 28C UUD 1945 secara eksplisit mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dan bebas memilih pendidikan dan pengajaran.
Lebih lanjut, pasal 28F UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa negara menjamin hak-hak warga negara terhadap akses digital. Hak mengembangkan diri kemudian diatur dalam Bab III bagian ketiga Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Relevan dengan isu tersebut, perjuangan bersama membela rakyat Palestina juga menunjukkan tarik menarik antara hak dan kewajiban individu terkait akses digital dan akses pendidikan tinggi. Karena itu, perjuangan ini dapat menjadi momentum penting untuk menciptakan ekosistem digital dan pendidikan tinggi yang setara, transparan, dan berkeadilan di Indonesia.
Tarik menarik hak dan kewajiban
Charles Frankel, seorang profesor filsafat dari Columbia University, Amerika Serikat (AS), dalam tulisannya yang berjudul Private Rights and the Public Good menggarisbawahi bahwa hak individu harus dipenuhi selama tidak bersinggungan dengan hak-hak yang lainnya.
Dalam upaya pemenuhan hak individu terhadap akses digital dan akses pendidikan tinggi, Charles Frankel juga menekankan relasi antara hak individu dengan kewajiban individu-individu lain.
Ia mencontohkan, hak pribadinya untuk merasa aman dari ancaman fisik sangat erat kaitannya dengan kewajiban orang-orang di sekitarnya untuk tidak mengganggunya.
Dalam esai lainnya, Equality of Opportunity, Charles Frankel mengelaborasi lebih lanjut dampak privatisasi hak individu terhadap pendidikan dan kesehatan yang berujung pada kesenjangan antar individu.
Berdasarkan perspektif tersebut, perlu disadari bahwa dalam upaya pemenuhan hak individu terhadap akses digital dan pendidikan tinggi terdapat potensi pengabaian terhadap hak-hak individu lainnya.
Misalnya, baru-baru ini ditemukan fakta bahwa komponen gawai yang diproduksi Apple, Samsung, Dell, Sony, dan Tesla adalah hasil dari eksploitasi sumber daya alam yang berkontribusi pada genosida di Republik Demokratik Kongo.
Selain itu, dengan adanya kesenjangan sosial yang sistematis, setiap akses pendidikan tinggi yang dimiliki individu, bersinggungan dengan hak-hak individu-individu lain yang tidak memiliki akses yang setara terhadap pendidikan tinggi.
Hak publik dan kemaslahatan bersama
Menanggapi tulisan Charles Frankel, Hannah Arendt, filsuf Yahudi yang melarikan diri ke AS untuk menghindari kekejaman rezim Nazi di Jerman, menerbitkan esai yang berjudul Public Rights and Private Interests.
Sementara Charles Frankel berpendapat bahwa hak individu bersifat privat dan kewajiban individu bersifat publik, Hannah Arendt memperkenalkan istilah hak publik untuk menjembatani dikotomi tersebut.
Ia menekankan pergeseran peran individu dari ranah privat seperti rumah menuju peran-peran kewarganegaraan di ranah publik. Pada ranah publik, setiap individu bertanggungjawab untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemaslahatan bersama.
Dalam konteks pemenuhan hak individu di tengah genosida di Palestina, maka hak individu untuk menjalankan kehidupan sehari-hari sambil mengabaikan fakta-fakta genosida yang berseliweran di platform digital bertentangan dengan amanat untuk menjaga kemaslahatan bersama.
Perlu diingat pula bahwa meskipun akses digital merupakan hak setiap individu, faktanya shadowbanning di berbagai platform digital dapat melemahkan peran individu dalam menyuarakan pendapat terkait genosida di Palestina.
Belakangan ini, perumusan peraturan yang melarang penggunaan TikTok di AS juga disinyalir bertujuan untuk melemahkan popularitas konten pro-Palestina di TikTok.
Selain itu, selebriti memiliki pilihan untuk tetap mempertahankan haknya dalam platform digital untuk memenuhi kepentingan pribadi, atau memanfaatkan kuasa tersebut untuk menunaikan kewajibannya sebagai individu yang berpengaruh dalam pembentukan opini publik.
Refleksi aksi bela Palestina
Persinggungan antara hak dan kewajiban individu juga terlihat dalam aksi bela Palestina oleh mahasiswa di kampus-kampus ternama di AS belakangan ini.
Sebelum aksi bela Palestina merebak, aspek-aspek privat dan komersial sudah lama mempengaruhi hak-hak individu untuk mengenyam pendidikan tinggi di AS, terutama melalui skema student loan, atau pinjaman pendidikan.
Terkait genosida di Palestina, tuntutan mahasiswa untuk disclose, yakni transparansi investasi dan kerja sama antara kampus di AS dan di Israel, dan divest, atau pengalihan pendanaan menuju instrumen-instrumen investasi yang lebih manusiawi, menunjukkan harapan akan arah baru pengelolaan pendidikan tinggi di AS.
Alih-alih menjadikan kampus dan gelar akademis sebagai alat pemenuhan hak individu, mahasiswa-mahasiswa tersebut memanfaatkan akses digital dan akses pendidikan tinggi yang berkualitas untuk mengurai akar permasalahan genosida di Palestina.
Pada saat yang bersamaan, boikot terhadap produk yang mendanai Israel dalam genosida di Palestina menunjukkan bahwa pemenuhan hak individu atas konsumsi produk juga terikat kuat pada sistem global yang beririsan dengan hak-hak hidup rakyat Palestina.
Dalam boikot produk, ketergantungan individu terhadap korporasi global dapat dihentikan dengan kesadaran kolektif atas dampak dari konsumsi individu dalam skala global.
Di sisi lain, genosida di Palestina juga memiliki kaitan yang cukup signifikan dengan krisis global lainnya. Misalnya, pengerahan peralatan militer dalam jumlah yang masif selama genosida di Palestina disinyalir memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap perubahan iklim.
Dengan demikian, pengabaian terhadap kewajiban individu untuk mengecam genosida di Palestina juga dapat bermuara pada krisis perubahan iklim yang mengancam hak-hak komunal individu untuk sama-sama menikmati bumi yang lebih layak untuk ditempati.
Melalui aksi bela Palestina, mahasiswa dan konsumen global, dalam istilah Hannah Arendt, sedang memperjuangkan kebahagiaan publik (public happiness) yang tidak bergantung kepada kebahagiaan individu semata.
Akses digital dan akses pendidikan tinggi di Indonesia
Dalam aksi membela Palestina, perlu diingat bahwa pemerintah Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan pemerintah Israel. Pemerintah Indonesia juga memiliki komitmen yang kuat terhadap kemerdekaan Palestina.
Meski demikian, perjuangan membela rakyat Palestina membawa pesan-pesan universal terkait digitalisasi dan privatisasi pendidikan tinggi yang relevan dengan konteks Indonesia.
Misalnya, selama pandemi COVID-19, infrastruktur digital yang tidak setara telah menghilangkan kesempatan belajar yang cukup signifikan bagi pelajar di Indonesia.
Pascapandemi, gagasan pemerintah untuk memperkenalkan skema student loan di Indonesia berpotensi untuk semakin melemahkan fungsi pendidikan tinggi sebagai katalisator perubahan sosial.
Program Kampus Merdeka dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah banyak dikritisi karena keberpihakan pemangku kebijakan terhadap kepentingan industri dan mematikan kemampuan mahasiswa dalam berpikir kritis.
Di sisi lain, internasionalisasi pendidikan tinggi di Indonesia semakin mengabaikan tanggung jawab sosial yang diemban pendidikan tinggi.
Misalnya, skema pertukaran mahasiswa melalui IISMA, Indonesian International Student Mobility Awards, disinyalir hanya menguntungkan segelintir mahasiswa yang mampu secara finansial untuk memenuhi ambisi pribadinya.
Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan urgensi untuk segera menyelesaikan silang sengkarut pengelolaan pendidikan tinggi dan ekosistem digital di Indonesia, demi terciptanya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.