- Panitia dan peserta Forum Rakyat untuk Air (People’s Water Forum/PWF) mengalami insiden kekerasan dan intimidasi yang dilakukan sekelompok massa bernama Patriot Garuda Nusantara (PGN) saat jumpa pers dengan media dan akademisi dari berbagai negara di Bali, Senin (20/5/2024).
- Koordinator acara PWF Muhammad Reza mengatakan mereka menerima berbagai intimidasi pelarangan kegiatan seperti didatangi intel ke rumah yang terjadi sejak 2 April 2024
- Puluhan akademisi dari institusi dalam negeri maupun luar negeri mengecam aksi intimidasi dan kekerasan pelaksanaan PWF itu
- Sejumlah tema diskusi tentang tata kelola air dan konflik air yang terjadi di dunia direncanakan dikupas di acara PWF sebagai kritisi penyelenggaraan World Water Forum ke-10 yang resmi dimulai Senin (20/5/2024) kemarin
Insiden kekerasan dialami warga, aktivis, dan akademisi yang terlibat dalam diskusi Forum Air untuk Rakyat (People’s Water Forum/PWF) pada Senin (20/5/2024), pada hari yang sama pembukaan konferensi air dunia World Water Forum di Nusa Dua, Bali.
Insiden ini dimulai dengan adanya intimidasi pelarangan kegiatan yang awalnya dilaksanakan di kampus ISI Denpasar. Kemudian terpaksa dipindah ke sebuah hotel kecil di Denpasar. Puncaknya, pada saat jumpa pers dengan media dan sejumlah akademisi dari berbagai negara yang mengikuti secara daring pada sore hari sekitar 16.30 WITA, puluhan massa yang menamakan diri ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN) merangsek masuk ke ruangan dan merampas sejumlah atribut seperti spanduk.
Massa berteriak minta kegiatan dihentikan dan mengancam peserta. Sejumlah peserta di ruang online kaget dan bertanya apa yang terjadi. Sejumlah aktivis perempuan berteriak agar massa tidak menyentuh mereka.
Pada acara itu, Nengah Budawati, advokat dari LBH Bali WCC menceritakan upayanya membuat proyek percontohan akses air untuk perempuan di Kintamani, Bangli karena ketiadaan akses air dan sanitasi mendorong kekerasan pada perempuan. “Harapan kami bisa berkumpul, sharing dan berdiskusi tentang air. Berharap ini ajang bertemu, dalam SDGs ke-6 kami melakukan kajian korelasi air dan kekerasan perempuan. Air dan sanitasi hak dasar dan memicu kekerasan,” sebutnya.
Muhammad Reza, Koordinator PWF mengatakan pihaknya menerima intimidasi, tekanan, dan pembatalan kegiatan selama dua bulan terakhir. “Saat ini situasi tidak baik-baik saja, sudah ada oknum masuk area People’s Water Forum (PWF). Pembatalan tempat di ISI karena permintaan Dikti, aparat menutup saluran inspirasi dan mendatangi beberapa tempat di Denpasar dan Tabanan,” sebutnya.
Baca : Klaim Investasi US$9,4 Miliar di World Water Forum Bali
Arma dari Solidaritas Perempuan menyatakan ada pelemahan demokrasi sehingga ruangan diskusi kini kosong. Negara menurutnya masih melakukan aksi represif dan pembatasan hak atas air. “Kelompok perempuan penting menjadikan People Water Forum sebagai ruang karena dihancurkan korporasi, World Water Council (penyelenggara World Water Forum/WWF) mulai diprivatisasi dan memfasilitasi proyek yang merusak pengetahuan dan menyebabkan ketimpangan ekonomi,” tuturnya.
Prathiwi Putri, Marie Skłodowska-Curie Postdoctoral Fellow mengingatkan pentingnya penyelenggaraan bersama PWF ini sebagai wadah interdisiplinary untuk yang bekerja di akar rumput bersama warga. “Sudah ada tradisinya sejak sejarah WWF,” katanya tentang tradisi diskusi alternatif selama WWF yang kini dibubarkan saat dilaksanakan di Bali.
Ia mencontohkan, hanya setengah masyarakat urban yang terlayani air, sebagai contoh negara belum bisa mendistribusikan sumber daya air. “Kami menampung banyak aspirasi yang tak ditampung negara. Perlu wadah yang akuntabel seperti People Water Forum. Kami sudah membuat pernyataan sikap protes,” urainya.
Nyoman Mardika adalah aktivis Bali yang hampir tiap hari didatangi intel di rumahnya sejak April ini. Ia menjadi penghubung kegiatan dengan pihak kampus ISI Denpasar yang sudah menyetujui kegiatan ini. “Saya mengalami langsung, tak ada ancaman fisik, tapi hampir tiap hari didatangi intel selama 10 hari ini dengan pertanyaan hampir sama. Mengganggu privasi dan mengintimidasi,” keluhnya.
Roberto Hutabarat, Sekjen Prodem 98 sebagai fasilitator juga hampir mengalami kekerasan fisik dari massa. Menurutnya forum PWF sebagai narasi tanding WWF hanya ingin memberikan kritik dan mendengarkan warga yang mengalami masalah air. Namun berujung kekerasan dan perusakan.
Baca juga : Hancurnya Air Suci Kami, Kiamat bagi Ritual Keagamaan Indonesia?
Pernyataan Sikap Akademisi Dunia
Dalam pernyataan sikapnya, puluhan akademisi dari institusi dalam negeri maupun luar negeri mengecam upaya yang baru-baru ini terjadi untuk menghalangi pelaksanaan the People’s Water Forum (PWF) atau Forum Air milik Rakyat Sedunia di Bali. Melalui pembatalan tempat pelaksanaan kegiatan tersebut di Institut Seni Indonesia (ISI) yang disertai interogasi/intimidasi terhadap panitia lokal oleh aparat intel setempat.
Disebutkan pembatalan acara yang diselenggarakan bersama institusi akademis melalui koersi dan pelarangan oleh penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap Prinsip PBB untuk Penerapan Hak Kebebasan Akademik. Secara khusus, untuk menghormati otonomi lembaga pendidikan dan penelitian untuk beroperasi tanpa pengawasan atau intervensi militer, tanpa ketakutan akan sanksi atau ancaman terhadap keamanan dan integritas pimpinan lembaga (Prinsip 3). Hak atas Kebebasan Akademik juga mencakup kebebasan berserikat (prinsip 6), yang mengharuskan negara “menghormati, mendorong dan mengembangkan hubungan dan kerja sama internasional antara staf akademik, peneliti dan pengajar serta mahasiswa, termasuk melalui pertemuan internasional dan proyek kolaboratif.”
The People’s Water Forum adalah wadah bagi gerakan keadilan air di seluruh dunia. Secara kolektif wadah ini memungkinkan pemikiran kritis atas Forum Air Dunia atau the World Water Forum (WWF) yang mempromosikan agenda pembangunan yang disetir kepentingan pemodal. PWF berbasis pada pengalaman dan aspirasi jaringan gerakan sosial, organisasi akar rumput, kelompok lingkungan, dan serikat pekerja serta akademisi, dan mewakili mereka yang kehidupannya dirugikan oleh proses privatisasi dan komersialisasi air.
Jaringan yang tergabung dalam PWF (yang sebelumnya dikenal sebagai Alternative World Water Forum), telah selama 20 tahun menawarkan forum terbuka yang dapat dijangkau secara inklusif baik oleh warga, komunitas, serikat, dan aktivis lingkungan. Forum ini menjadi tempat untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, dengan tujuan mencari solusi baru bagi masa depan pembangunan terkait air yang adil, setara dan berkelanjutan. Sejak 2003, wadah ini telah menggalang solidaritas dan meningkatkan kapasitas jaringan regional dan global melalui pertemuan-pertemuan berikut: di Kyoto pada 2003, Meksiko 2006, Istanbul 2009, Marseille 2012, Daegu 2015, Brasilia 2018 and Dakar 2022.
Dipaparkan kronologis intimidasi yang diterima sejak 2 April 2024 pada panitia kegiatan seperti didatangi intel di rumah, pelarangan kegiatan di kampus, dan lainnya.
Disebutkan, Bali sebagai industri turisme, yang sejatinya adalah industri yang haus air, belakangan ini telah juga mengalami krisis air bersih. Akibatnya keberlanjutan daya dukung air dan lingkungan bagi aktivitas vital petani dan rumah tangga telah dikorbankan atas nama akumulasi kapital dan dampak buruknya. Masyarakat Bali berkepentingan dengan agenda keberlanjutan lingkungan termasuk sumber daya air demi industri pariwisata yang berkeadilan secara sosial dan lingkungan.
Sebagai akademisi dan pekerja kemanusiaan yang mendukung PWF, mereka meminta otoritas publik dan Institut Seni Indonesia untuk mempertahankan kebebasan akademis melalui sejumlah tindakan konkrit sebagai berikut:
Pertama, mengecam segala bentuk ancaman, intimidasi dan pelarangan yang dilakukan baik oleh otoritas kampus, apalagi oleh aparat keamanan dalam berbagai acara yang diselenggarakan oleh insan akademik, organisasi masyarakat sipil, termasuk para aktivis hak asasi manusia.
Kedua, menuntut negara (c.q. pemerintah) agar menghormati hak dan kebebasan akademik, kebebasan berpendapat dan berkumpul warga negara termasuk kebebasan memberikan saran, masukan, kritik, dan aksi protes terhadap arah pembangunan secara umum, dan secara khusus pada isu perwujudan hak atas air yang telah dijamin oleh konstitusi.
Ketiga, menuntut agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memproses pelanggaran atas kebebasan akademik, berpendapat dan berkumpul, baik yang dilakukan oleh aparat keamanan (human rights violation) maupun pelanggaran yang dilakukan oleh otoritas kampus dalam segala bentuknya.
Keempat, meminta lembaga dan institusi berikut untuk ikut memantau dan menindaklanjuti kasus ini: Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM RI; Farida Shaheed, UN Special Rapporteur on the right to education; Pedro Arrojo, UN Special Rapporteur on the rights to safe drinking water and sanitation; dan Lawlor, UN Special Rapporteur on human rights defenders.
Sedikitnya sudah ada 30 nama akademisi yang tercantum dalam pernyataan ini, seperti Prathiwi Putri, Marie Skłodowska-Curie Postdoctoral Fellow, Universität Kassel, Germany; Iqra Anugrah, Leiden University, Belanda; Siti Maimunah, Sajogyo Institute, Bogor; Meera Karunananthan, Carleton University, Canada. (***)
World Water Forum : Menagih Komitmen Pemerintah Jaga Sumber Air