- Upaya memberikan perlindungan kepada para pekerja perikanan dengan profesi awak kapal perikanan (AKP) terus dilakukan banyak pihak. Para pejuang keluarga itu, harus bisa bekerja di atas kapal perikanan dengan mendapatkan keamanan dan kenyamanan
- Keselamatan dan kesejahteraan terus menjadi sorotan hingga saat ini, karena informasi terus berdatangan silih berganti tentang AKP yang menjadi korban pelaku usaha/pemilik kapal/pengelola kapal perikanan berbendera negara asing
- Negara yang sudah sering mendapat sorotan atas praktik kerja di atas kapal perikanan, adalah Taiwan. Negara tersebut melibatkan 750 ribu orang AKP migran, dan lebih dari 22 ribu orang diketahui berasal dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia
- Tetapi, hak-hak perburuhan di atas kapal ikan berbendera Taiwan sampai sekarang dinilai masih belum berjalan baik. Hal itu mengakibatkan praktik-praktik terlarang yang merugikan AKP migran masih terus berlangsung, tanpa bisa dihentikan siapapun
Memperjuangkan para pekerja perikanan Indonesia yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) migran pada kapal ikan asing (KIA), menjadi tugas Pemerintah Indonesia. Nasib mereka sangat bergantung agar keselamatan dan kesejahteran bisa didapatkan saat bekerja di atas kapal.
Berlatar hal seperti di atas, koalisi tujuh serikat pekerja yang mewakili lebih dari 30 ribu AKP Indonesia pada kapal-kapal ikan yang ada di seluruh dunia, bersama 12 organisasi masyarakat sipil yang ada di Indonesia dengan Taiwan, sepakat untuk membentuk Koalisi Pelindungan AKP Migran Indonesia di Kapal Ikan Taiwan.
Koalisi dibentuk untuk memperjuangkan standar-standar pelindungan yang lebih baik bagi AKP migran Indonesia. Seluruh anggota koalisi mendesak otoritas Indonesia dan Taiwan segera merumuskan kesepakatan yang menjamin hak asasi manusia (HAM), terutama hak perburuhan AKP migran Indonesia, yang ditempatkan untuk bekerja di kapal ikan Taiwan sepanjang proses migrasi mereka.
Pembentukan koalisi menjadi penanda dimulainya gerakan mempersatukan serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil di Taiwan dan Indonesia untuk memperjuangkan hak AKP migran. Aspek yang diperjuangkan ditulis secara sistematis dalam proposal yang berisikan rekomendasi berbasis bukti (evidence-based) kepada otoritas di Indonesia dan Taiwan.
Ketua Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (FOSPI) Achmad Mudzakir mengatakan, koalisi didirikan untuk mendorong otoritas Taiwan segera mengadopsi praktik terbaik internasional dan memenuhi semua komitmen dalam mendukung hak perburuan untuk semua pekerja.
“Termasuk hak-hak yang termaktub dalam perjanjian internasional terkait,” sebutnya mewakili koalisi itu seperti dikutip dari keterangan resmi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), beberapa waktu lalu.
Adapun, koalisi menuntut hak-hak perburuhan yang fundamental dan kondisi kerja yang layak, kebebasan berserikat dan anti-retaliasi, perjanjian kerja bersama, fasilitas Wi-Fi, upah yang adil, mekanisme pengaduan masalah (grievance mechanism), dan pertanggungjawaban pemberi kerja dalam proses perekrutan, termasuk biaya-biaya yang harus dibayarkan oleh pemberi kerja.
Baca : Nasib Buruk Awak Kapal Perikanan di Kapal Perikanan Asing
Menurutnya, koalisi sudah menyampaikan tuntutan ini kepada otoritas Taiwan dan Indonesia. Koalisi juga telah menyampaikan tuntutan pada Maret 2024 kepada Badan Perikanan Taiwan, Kementerian Tenaga Kerja RI, Kementerian Luar Negeri RI, serta Kantor Ekonomi dan Perdagangan Taiwan di Jakarta.
Tak hanya itu, koalisi juga menyampaikan proposal pada diskusi kelompok terfokus (FGD) tentang Pelindungan AKP Migran Indonesia yang diselenggarakan oleh Kemenlu RI pada Senin, (06/5/2024). Ada sejumlah Kementerian/Lembaga (K/L) terkiat yang hadir pada FGD tersebut, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Dalam FGD itu, Direktur Perlindungan WNI Kemenlu RI Judha Nugraha mengakui kalau perlindungan AKP sangat rumit dan memerlukan komitmen bersama yang kuat.
Mewakili Pemerintah, dia mengatakan kalau penempatan pekerja migran di sektor perikanan memang perlu diatur dalam pengaturan tersendiri. Namun, agar terjadi sinkronisasi, otoritas terkait di Taiwan belum menanggapi tuntutan yang diajukan pada 1 Maret 2024.
Sedangkan Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno mendesak kepada pelaku usaha pada industri perikanan Taiwan untuk terus mendengarkan aspirasi dari AKP migran WNI. Mereka harus peduli, karena ada praktik kerja paksa, kekerasan fisik, pemotongan upah, kematian dan hilang di laut, komunikasi yang minim antara AKP dengan keluarganya, dan dunia luar selama berbulan-bulan.
“Pelaku-pelaku bisnis ini harus menjalankan usaha yang bertanggung jawab bagi pemenuhan hak asasi manusia AKP migran,” katanya.
Peneliti dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Jeremia Humolong Prasetya menyebut kalau pendekatan melalui diskusi seperti FGD adalah penting karena melibatkan banyak pihak. Cara seperti itu, akan mendukung pendekatan yang dilakukan Pemerintah untuk melaksanakan perlindungan penuh.
Baca juga : Mengawal Transformasi Awak Kapal Perikanan dari Tradisional ke Modern
Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Transportasi Indonesia (SAKTI) Syofyan mendesak kepada otoritas Indonesia dan Taiwan untuk mengembangkan kesepakatan terkait pelindungan AKP migran Indonesia. Perundingan wajib dilakukan, agar kesepakatan perlindungan bisa berjalan baik.
Sementara, Wakil Direktur Global Labor Justice Valery Alzaga menilai kalau ketiadaan akses wi-fi sebagai fasilitas internet gratis yang bisa menghubungkan secara rutin AKP migran dari laut ke darat, membuat lautan secara efektif menjadi ‘zona tanpa serikat’ bagi para pekerja ini.
Oleh karenanya, sangat penting bagi pemerintah Taiwan dan Indonesia untuk mengakui hak-hak pekerja AKP migran, dimulai dengan penyediaan akses Wi-Fi, dan memastikan hasil tangkapan harian bebas dari pelanggaran hak perburuhan para pekerja.
Berdirinya koalisi, dilatarbelakangi banyak fakta dan pemberitaan tentang perjuangan AKP migran pada kapal perikanan berbendera Taiwan. Pekerja tersebut menjadi kontributor ekonomi besar bagi Taiwan dengan lebih dari 750 ribu orang. Lebih dari 22 ribu orang diketahui berasal dari Asia Tenggara.
Penyelundupan Manusia
Pada lain sisi, kapal ikan yang melakukan pelanggaran di wilayah perairan Indonesia, juga tidak lagi terbatas pada kegiatan penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai peraturan (IUUF). Saat ini, modus yang sempat tidak terdeteksi lama, akhirnya kembali muncul ke permukaan.
Modus yang dimaksud, adalah melakukan penyelundupan manusia (people smuggling) menggunakan kapal ikan. Aksi tersebut tercium di perairan Teluk Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Rabu, 8 Mei 2024.
Selain mencoba menyelundupkan manusia, kapal ikan yang berjumlah dua unit itu, diketahui juga melakukan pelanggaran berupa penangkapan ikan lintas negara tanpa dilengkapi dokumen perizinan. Kedua kapal ikan juga diketahui tidak memiliki nama, atau bendera.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP KKP) Pung Nugroho Saksono mengatakan, deteksi dua kapal ikan pelanggar itu berhasil dilakukan Stasiun PSDKP Kupang saat melakukan patroli rutin dengan menggunakan speedboat Hiu Biru 04.
Menurut dia, penyelundupan manusia menjadi modus baru yang ditemui sekarang, selain penangkapan ikan ilegal. Aksi itu dilakukan kapal berukuran 10 gros ton (GT) dengan penumpang berjumlah 12 orang, terdiri dari enam orang warga negara asing (WNA) Cina dan enam orang warga negara Indonesia (WNI).
“WNI bertugas sebagai awak dan operasional kapal, dengan tujuan diselundupkan ke Australia,” terangnya dalam keterangan resmi KKP, pertengahan Mei lalu.
Baca juga : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?
Enam orang WNA Cina itu diketahui berinisial JXJ (36 tahun), DZH (49), WDF (35) CC (26), ZJX (31), dan LKY (33). Sementara, enam orang WNI yang ikut dalam kapal tersebut berinisial M (51), RM (40), A (32), M (47), dan B (29).
Pria yang akrab dipanggil Ipunk itu, menyebut kalau keberhasilan penggagalan dua kapal ikan yang akan menyelundupkan manusia ke Australia, tidak lepas dari peran fungsi fisheries intelligence sebagai bahan akurasi data dalam melaksanakan fungsi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan.
Kedua kapal tersebut terdeteksi pada Rabu pukul 02.30 WITA dan diketahui akan melakukan pelayaran lintas batas perairan Indonesia-Australia. Kedua kapal tersebut saat dihentikan, tidak dilengkapi nama dan tidak memiliki dokumen identitas kapal.
Tim patroli lapangan kemudian semakin bertambah curiga, karena saat berusaha melakukan penghentian, kedua kapal justru semakin menambah kecepatan. Hal itu membuat tim patroli melakukan aksi kejar mengejar dengan kedua kapal ikan tersebut.
Setelah 30 menit dilakukan pengejaran, akhirnya pada pukul 03.00 WITA kedua kapal berhasil dihentikan di perairan ujung pulau Semau. Setelah berhasil diamankan, kapal langsung dilakukan pemeriksaan dan kemudian dibawa ke dermaga perikanan Tenau, Kupang. (***)