- Jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan Break Free From Plastic melakukan brand audit saset di 34 titik lokasi, termasuk di Indonesia Timur seperti di NTT dan Ambon.
- Dari kajian yang dilakukan dari bulan Oktober 2023 hingga Februari 2024 itu hasilnya terkumpul sebanyak 9.698 sampah saset.
- Ada lima produsen pencemar saset terbanyak yaitu Wings dengan total 1.251, Salim Grup sebanyak 672 saset, Mayora Indah 629 saset, Unilever 603 saset, dan PT Santos Jaya Abadi 454 saset.
- Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen belum menjawab tantangan pencemaran dari produsen
Plastik kemasan saset masih banyak digunakan oleh produsen dalam membungkus produknya, seperti makanan, minuman ataupun kosmetik. Hal itu karena saset mudah digunakan danharganya yang terjangkau Namun, bila plastik kemasan saset ini sudah menjadi sampah dan tidak tertangani dengan serius, maka dampaknya bisa mencemari lingkungan, baik itu di darat, sungai maupun lautan.
Beban lingkungan akibat pencemaran sampah plastik kemasan saset ini semakin berat karena karakternya tidak mudah terurai dan didaur ulang oleh sistem pengelolaan sampah. Sebab, kemasan plastik dirancang untuk digunakan sekali dengan jumlah lapisan yang beragam, termasuk lapisan foil, serta kemasannya yang fleksibel.
Menyadari atas permasalahan itu, jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan Break Free From Plastic melakukan brand audit saset di 34 titik lokasi, termasuk di Indonesia Timur seperti di Nusa Tenggara Timur dan Ambon.
Dari kajian yang dilakukan dari bulan Oktober 2023 hingga Februari 2024 itu hasilnya terkumpul sebanyak 9.698 sampah saset. Ada lima produsen pencemar saset terbanyak, yaitu Wings dengan total 1251, Salim Grup sebanyak 672 saset, Mayora Indah 629 saset, Unilever 603 saset, dan PT Santos Jaya Abadi 454 saset.
Adapun, untuk mendapatkan hasil audit merek sampah ini melalui rangkaian prosedur yang dilakukan secara bertahap. “Metode audit merek saset yang kami lakukan ini melalui pengumpulan sampah dari hasil clean up terlebih dulu. Berikutnya, sampah plastik dan non plastik dipilah atau dipisahkan. Untuk memenuhi ukuran sampel minimal 10 kilogram sampah plastik kemudian kami ditimbang,” ujar Alaika Rahmatullah, koordinator audit merek dari Ecoton dalam jumpa pers di Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Baca : Break Free From Plastic: Paksa Perusahaan Ubah Produksi Sampah
Setelah penimbangan yang melibatkan 476 relawan di berbagai daerah di Indonesia itu, sampah plastik dipisahkan menjadi sampah saset dan non saset. Terakhir, sampah saset dicatat dan diidentifikasi mulai dari pengukuran hingga kategorinya.
Hasilnya ada 1.212 merek saset dengan 3.929 saset berjenis material Low Density Polyethylene (LDPE) yang paling banyak ditemukan.
Mendorong Komitmen Produsen
Selain di Indonesia, audit merek yang sudah berjalan sejak 2018 ini juga dilakukan di negara lain yang tergabung dalam Break Free From Plastic seperti Filipina, Vietnam dan India. Dalam aksi tersebut didukung 25 organisasi dan 807 relawan. Upaya ini dilakukan untuk mendorong tanggung jawab dan komitmen produsen atas sampah dari produk yang dihasilkannya.
Dalam kesempatan yang sama, Ibar Akbar, Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia mengungkapkan berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan Greenpeace terhadap Gen-Z di 36 Provinsi di Indonesia, sebanyak 96% mereka setuju bahwa plastik saset menimbulkan masalah bagi lingkungan.
Survey yang dilakukan pada tanggal 4 Maret sampai 2 April 2024 ini menyasar 1.036 responden dengan usia 18-26 tahun. Komposisinya 64% perempuan, dan 36% laki-laki. Selain itu, sebanyak 85,71% responden setuju perlu mengurangi penggunaan plastik saset, akan tetapi tidak bisa berbuat banyak.
“Persetujuan serupa juga ditunjukkan oleh responden dengan tingkat pengeluaran rendah,” katanya.
Baca juga : Aliansi Global “Break Free From Plastic” Merilis Audit Merek Sampah
Sedangkan responden yang tidak setuju dengan pernyataan bahwa semua jenis plastik dapat didaur ulang totalnya 63,80%. Sementara yang setuju dengan pernyataan tata cara untuk melakukan daur ulang masih belum jelas yaitu 85,71%, serta 85% responden setuju bahwa tidak ada pengelolaan sampah yang dapat menerima sampah saset mereka.
“Saat ini tidak ada transparansi dan komitmen untuk mengurangi produk plastik dan progres untuk mencapai pengurangan sebesar 30% di tahun 2029,” ujarnya.
Untuk menjawab krisis saset ini, Hisyam Adhisatrio, dari Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan menawarkan solusi sistem guna ulang. Menurutnya, saat ini di Indonesia sendiri sudah mulai banyak inisiatif usaha yang berpedoman minim sampah. Bila mengacu pada data yang ada, totalnya sejumlah 72 usaha bulk store, reuse, dan refill. Dengan begitu, sampah kemasan, sampah pengiriman, dan emisi karbon dapat dikurangi.
Walaupun begitu, sampah kemasan saset ini masih banyak dijumpai menumpuk di badan-badan sungai maupun pesisir dan lautan. Semestinya, lanjutnya, pemerintah lebih berani lebih tegas untuk melarang penggunaan saset dan membebankan tanggung jawab kepada produsen. Selain itu, tanggung jawab kepada daur hidup produk seharusnya menjadi milik produsen.
Hisyam menilai Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen belum menjawab tantangan pencemaran dari produsen.
“Bagi para produsen mestinya bisa menjadi pionir memberikan solusi seperti refill dan reuse, sehingga tidak lagi menghasilkan sampah yang masih harus diolah konsumennya,” tegasnya.
Baca juga : Mendesak Produsen Bertanggung Jawab Atas Sampah Mereka [2]
Diklaim Berkurang
Direktur Pengurangan Sampah KLHK, Vinda Damayanti Ansjar mengungkapkan melalui Peta Jalan Pengurangan oleh Produsen, terdapat 42 produsen yang telah mempunyai roadmap pengurangan sampah.
Meski demikian, jumlah produsen yang menerapkan peta jalan pengurangan sampah tersebut jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan produsen yang mempunyai peta jalan yang sama. “Yang sudah masuk road map itu 42 dan yang sudah mulai kita daftar 150-an. Tapi yang sudah implementasi benar-benar, yang dilaksanakan sudah ada 18 produsen,” katanya seperti dilansir dari Antaranews. Dari 18 yang mentaati tersebut diklaim sudah berhasil mengurangi 72 ribu ton sampah plastik.
Dalam peraturan yang dibuat tersebut pelaku usaha diwajibkan membuat peta jalan pengurangan sampah dari 2020 hingga 2029. Sedangkan pelaku usaha yang diwajibkan merupakan usaha yang bergerak di sektor manufaktur, jasa makanan dan minuman, serta ritel.
Sementara, Novrizal Tahar, Direktur Penanganan Sampah KLHK mengungkapkan ada tren kenaikan dalam pengurangan dan penanganan sampah. Hal ini mengacu pada Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) KLHK yang memperlihatkan kinerja pengelolaan sampah nasional mencapai 63,68 persen di tahun 2022, disumbang oleh pengurangan sampah 14,26 persen dan penanganan sampah sebesar 49,42 persen.
Walaupun begitu, kata Novrizal, masih terdapat 36,32% sampah di Indonesia yang belum dikelola dengan baik. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional tentang Pengelolaan Sampah, pemerintah menargetkan pengurangan sampah 30 persen dan penanganan sampah mencapai 70 persen di tahun 2025.
“Kami tetap berupaya untuk mencapai itu semua. Mulai dari hulu ke hilir kami lakukan,” jelasnya.
Baca juga : Teknologi Mudahkan Upaya Pengurangan Sampah Plastik, Seperti Apa?
Tanggung Jawab Bersama
Head of Corporate Communication & CSR Wings Group Indonesia, Sheila Kansil melalui keterangan tertulis yang diterima Mongabay Indonesia, Kamis (16/05/2024) tidak menanggapi hasil temuan yang dilakukan sejumlah jaringan masyarakat sipil tersebut.
Namun, Sheila berpandangan bahwa pengelolaan sampah merupakan bagian dari tanggung jawab semua pihak sebagai pelaku aktif penghasil sampah.
Sebagai perusahaan yang bergerak dibidang FMCG, imbuh Sheila, pihaknya selalu mengajak masyarakat agar bertanggung jawab saat mengonsumsi dan menggunakan produk baik dari isi maupun kemasannya.
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial, katanya, Wings Group Indonesia telah menjalankan sejumlah program pengelolaan sampah yang melibatkan banyak pihak termasuk masyarakat dan pemerintah. Adapun kegiatan yang diiniasi salah satunya yaitu kampanye #PilahDariSekarang yang melibatkan sekitar 20 ribu warga dari 20 kabupaten/kota, termasuk karyawan. Kampanye ini juga dilakukan saat memperingati Hari Bumi pada 11 April 2024.
Selain itu, untuk mendukung masyarakat agar bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan sejumlah fasilitas pengelolaan sampah juga telah digelontorkan, seperti pembuatan tempat pembuangan sementara, pengelolaan bank sampah, pemasangan trash boom, hingga pemberian tempat sampah di daerah pariwisata.
Upaya lain yaitu turut terlibat dalam kegiatan aksi bersih di sungai, pantai dan laut, serta melakukan upcycle dari sampah plastik melalui kolaborasi dengan berbagai pihak.
“Sebagai perusahaan yang lahir dan berkembang di dalam negeri, Wings Group terus berupaya untuk mendukung dan mentaati regulasi yang berlaku, termasuk peta jalan pengurangan sampah oleh KLHK,” tegasnya.
baca juga : Pemimpin ASEAN Didesak Bersikap Tegas dalam Perundingan Plastik Global
Akan tetapi, untuk menyiapkan peta jalan tersebut saat ini pihaknya baru pada tahap pengumpulan data dan melakukan studi untuk menemukan solusi terbaik pengurangan sampah plastik agar bisa diaplikasikan secara massal, tanpa mengurangi kualitas produk yang dibuat.
“Pembuatan peta jalan ini menjadi salah satu agenda yang tengah kami rancangkan bersama tim terkait di internal, sebagai bentuk komitmen untuk memenuhi regulasi sekaligus mewujudkan kepedulian kami terhadap lingkungan,”
Untuk menanggapi temuan brand audit saset tersebut, Mongabay telah menghubungi Senior External and Digital Communication Manager Unilever Indonesia, Adisty Nilasari, dan menghubungi Sekretaris Perusahaan Mayora, Indah Yuni Gunawan. Namun, hingga berita ini diturunkan tidak tanggapan dari pertanyaan yang Mongabay ajukan. (***)