- Perdagangan ilegal paruh bengkok atau parrot endemik Wallacea dan Papua marak terjadi di Sulawesi Tenggara dan sekitar. Parrot secara terang-terangan diperjualbelikan secara daring terutama di Facebook.
- Parrot dikirim ke Kendari menggunakan kapal dari rute yang berbeda-beda. Dalam satu kali pengiriman bisa ratusan, yang kemudian didistribusikan ke berbagai wilayah lain melalui jalur transportasi darat.
- Organisasi perkumpulan Pembela Satwa Liar berbasis gerakan sosial Garda Animalia, juga memonitor beberapa akun Facebook yang intens menjual parrot dilindungi, antara lain, kakatua jambul-kuning (Cacatua sulphurea), kasturi/nuri kepala-hitam (Lorius lory), dan nuri bayan (Eclectus roratus), tersebar di sejumlah kabupaten, kota di Sulawesi Tenggara.
- Irwan, pembuat film dokumenter di Sulawesi Tenggara yang melakukan pengamatan perdagangan paruh bengkok di Facebook sejak 2021 mengatakan, perdagangan gelap satwa liar bermodus pecinta hewan. Parrot yang sampai di tangan pembeli, untuk jadi hewan peliharaan dengan dirantai atau terkurung dalam sangkar.
Sekitar tahun 2021, saat masa pandemi COVID-19, banyak orang menawarkan paruh bengkok (parrot) di media sosial tetapi tak jelas burung-burung itu dapat darimana. Irwan, nama samaran, seorang dokumenteris di Kendari, Sulawesi Tenggara, jadi penasaran.
Dia melihat di Facebook bermunculan banyak akun dengan beragam konten menjual burung kasturi atau nuri dan kakatua endemik Wallacea dan Papua di Sultra. Dua jenis burung paruh bengkok itu identik dengan sebutan ‘parrot’ sebutan pengganti untuk menyamarkan aktivitas perdagangan ilegal secara daring.
Sebagai pembuat film dokumenter, sebagian waktunya dia gunakan untuk kerja-kerja riset mengamati berbagai fenomena sosial yang timbul di masa pandemi. Dia pun tertarik tahu lebih jauh soal asal paruh bengkok yang terpampang di sosial media itu.
“Tidak pernah diterangkan di situ. Makanya saya tertarik, jangan sampai mereka bukan biak, ambil di habitat aslinya,” kata kepada tim liputan investigasi, pertengahan Juli lalu.
Irwan lalu bergabung menjadi anggota di beberapa grup paruh bengkok – grup-grup itu mudah dikenal dengan embel-embel parrot. Irwan ingin mengamati bagaimana para pecinta parrot berinteraksi.
Berselang dua tahun lebih mengamati interaksi daring pecinta parrot, dia mendapati parrot marak didatangkan dari habitatnya di kawasan Timur Indonesia, lalu diperjualbelikan secara ilegal di Facebook.
Pembeli parrot tersebar dari sejumlah kabupaten/kota di Sultra sampai ke Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) — parrot dikirim melalui transportasi darat trans Sulawesi.
“Harga termurah sekitar Rp250.000,” kata Irwan.
Organisasi perkumpulan Pembela Satwa Liar berbasis gerakan sosial Garda Animalia, juga memonitor beberapa akun Facebook yang intens menjual parrot dilindungi, antara lain, kakatua jambul-kuning (Cacatua sulphurea), kasturi/nuri kepala-hitam (Lorius lory), dan nuri bayan (Eclectus roratus), tersebar di sejumlah kabupaten, kota di Sulawesi Tenggara.
Dugaan Irwan, perdagangan gelap satwa liar bermodus pecinta hewan. Parrot yang sampai di tangan pembeli, untuk jadi hewan peliharaan dengan dirantai atau terkurung dalam sangkar.
Temuan Irwan membantu untuk penelusuran kami. Tim juga gunakan beberapa metode untuk membuktikan beberapa operasi penyelundupan dan perdagangan ilegal parrot endemik Papua dan Wallacea yang marak di Sulawesi Tenggara dan sekitar.
Kami mendatangi satu rumah yang menyimpan berbagai jenis parrot di perumahan di Kecamatan Puwatu, Kendari, pertengahan Juli lalu. Seorang penghuni terpantau sejak lama jualan online parrot dengan akun Facebook, inisial WL.
Rumah itu berukuran besar, berlantai dua, dengan pagar depan rumah memanjang, kombinasi beton dan besi, berlapis lembar plastik setinggi dua meter menghalangi pandangan ke dalam teras.
Sesampainya di teras, seorang pemuda berkulit coklat, berambut lurus, menyambut ramah kami yang seolah jadi calon pembeli parrot. Dia memperkenalkan diri sebagai WL, berstatus mahasiswa di Kendari.
WL mengajak kami beranjak ke garasi berbatas dinding sekat tripleks. Di garasi itu ada sejumlah parrot dilindungi, seperti, nuri kepala-hitam endemik Papua dan sepasang nuri bayan.
Salah satu kaki nuri kepala-hitam dilingkari ring besi berwarna hijau bertuliskan nama, lengkap nomor telepon seluler. WL bilang, itu nama kawannya, pemilik parrot.
Dia menunjuk ke salah satu nuri kepala-hitam lain, katanya beli ‘legal’ dari akun Facebook M Parrot. Katanya M Parrot sudah mengantongi legalitas izin pembiakan resmi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra.
WL menyebut M Parrot menangkarkan sekitar 20 pasang paruh bengkok untuk budidaya. Peranakan hasil budidaya itu dipelihara dan dilegalkan dengan ring bersertifikat.
“Burung-burung yang ada sama saya dari M Parrot…Kalau ada yang cari, Insya Allah dia pasti punya (parrot legal),” kata WL.
Dia enggan menjawab saat ditanya sejak kapan menggeluti bisnis jual beli parrot.
Dia hanya bercerita selama ini menyisipkan uang yang terkumpul dari keuntungan bisnis parrot demi membeli parrot legal untuk pelihara sementara waktu – sembari menunggu ada pembeli. Proses transaksi gunakan jasa transfer antar bank, atau kadang pakai rekening bersama antar bank.
“Adapun suatu saat tidak di tahu (ternyata) bertentangan dengan hukum…yah jangan salahkan saya. Saya kan sekadar pembeli,” ucap WL.
“Kalau peternak banyak di sini (Kendari).”
WL cerita, rantai penyelundupan burung-burung ilegal dari Papua yang rata-rata beredar di pasaran, bersumber dari tangan para pemburu. Mereka menangkap parrot dari Australia yang ke Papua, Indonesia.
“Kecuali nuri Ambon (Maluku), berasal dari Ambon.”
Komunitas parrot di Kendari, katanya, sering mendapat pasokan nuri dan kakatua dari pengepul di Pulau Obi, Maluku Utara. Dua jenis parrot itu dikirim dengan kapal rakyat, yang disewa khusus untuk menyelundupkan parrot dalam jumlah sedikit.
Kapal itu berlabuh di satu pelabuhan di Morowali–selanjutnya melalui mobil menempuh waktu perjalanan darat sekitar delapan jam sampai ke Kendari. Penyelundupan parrot secara terstruktur dan terorganisir, dengan intensitas satu kali per pekan.
Untuk jalur distribusi ilegal trans Sulawesi, pecinta parrot ilegal di Kendari kerap memesan nuri talaud dari Sulawesi Utara (Sulut). Sebaliknya, dari Kendari permintaan parrot dari Sulawesi Tengah (Sulteng) sampai ke Sulut. Pesanan-pesanan itu dikirim gunakan mobil selama berhari-hari.
“Uangnya transfer langsung ke pemilik. Kadang juga ada rekening bersama,” kata WL.
Lewat kapal semen
Kami menelusuri ke pelabuhan di Morowali. Di sana hanya ada satu pelabuhan antar pulau/provinsi, yaitu Pelabuhan Bungku di jantung Kota Bungku, Ibu Kota Morowali. Pelabuhan ini melayani pelayaran dan bongkar muat kapal antar pulau dan lintas provinsi. Untuk sementara waktu, tidak ada aktivitas kapal berlabuh, karena pelabuhan sedang renovasi besar-besaran. Di pelabuhan ini, kami menemukan, petunjuk perdagangan parrot ilegal dalam modus lain.
Seorang buruh bongkar muat pelabuhan bercerita, kerap menyaksikan kapal-kapal besar yang setiap pekan berlabuh dan bongkar muat semen menjual burung nuri atau kakatua endemik Maluku dan Papua. Kapal semen itu memiliki rute pelayaran dari Makassar dan dari Indonesia Timur.
Sekali berlabuh, mendatangkan tujuh burung dalam sangkar gantung. Nilai jual tertinggi seharga Rp2 juta per ekor.
Pelabuhan Bungku jadi satu titik strategis perlintasan penyelundupan parrot dari Indonesia Timur. Seperti, kata WL, kalau parrot selundupan dari Maluku, hanya sampai di Sulawesi. “Tidak mengirim sampai ke Jawa.”
Puluhan kilometer di Morowali Utara, kami menemui lelaki di bahu jalan Trans Sulawesi yang terbuka menggelar dagangan aneka jenis burung, seperti, parrot, tanpa memiliki dokumen resmi.
“Ini Rp650.000, nuri Maluku,” katanya menawarkan ke kami.
Dia mengaku memperoleh peroleh burung-burung itu dari ABK kapal-kapal semen yang berlabuh di Morowali, bahkan ada yang didatangkan dari Pulau Jawa melalui kapal-kapal itu. Kadang juga dia peroleh dari seorang pedagang besar burung di Kecamatan Bungku Selatan, Morowali.
Jalan trans Sulawesi yang membelah Desa Keurea di pesisir Bungku Selatan, padat dilintasi ribuan karyawan smelter nikel, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang mengendarai motor di sore hari. Satu toko kecil dengan bentangan spanduk berisi pesan menjual aneka pangan hewan, nyaris tidak terlihat di antara himpitan bangunan toko lain di sepanjang bahu jalan.
Di dalam toko itu, dua nuri kepala hitam dengan kaki dirantai bertengger di palang balok kecil. Tiga nuri Kepulauan Aru (Chalcopsitta sintillata) dalam sangkar terpisah sesuai jenis masing-masing. Tiga nuri Kepulauan Aru itu dalam kondisi memprihatinkan, terlihat sedikit menggigil. Di sekujur tubuh mereka dan di sangkar besi berserakan pasir pantai lembab yang menempel.
Harga jual parrot itu berbeda-beda. Nuri kepala hitam Rp1,8 juta dan nuri Kepulauan Aru Rp800.000. Bagi yang berminat, bisa menghubungi nomor telepon yang terpampang pada spanduk di depan toko, tidak lain merupakan nomor pemilik toko.
Kata pemiliknya, jual beli parrot ditekuni sejak 2018. Parrot dari Papua dan Maluku biasa dari kapal-kapal yang memuat minyak, semen, dan kapal-kapal lain yang berlabuh di Morowali. Tak sulit mengirim parrot ke provinsi lain di Sulawesi, tergantung bagaimana ‘pintar-pintarnya’ pembeli mengelabui petugas.
Saat ditanya mengenai sumber perolehan burung-burung itu melalui pesan singkat WhatsApp, pemilik toko tidak menjawab.
Dalam penelisikan lain di Kendari, pecinta parrot menyatakan, ‘banyak pemain’ atau penjual parrot ilegal di Kendari.
Dia memperlihatkan koleksi parrot-nya, nuri violet atau kalung-ungu (Eos squamata), yang dibeli langsung dari seseorang yang katanya pemain besar dan banyak jaringan.
Kami melihat akun Facebook bernama Putra B (inisial), disebut-sebut sebagai pemain besar parrot ilegal, yang menyuplai permintaan ke berbagai daerah di Sulawesi melalui jalur transportasi darat, mobil.
”Kemarin dia menawarkan ke saya,” katanya.
Tim mendatangi alamat Putra B yang jadi rumah penyimpanan parrot-parrot ilegal di Kelurahan Kadia.
Putra B tidak ada di rumah, tetapi ada istrinya.
Kami melihat satu sangkar besi ukuran sedang berisi dua nuri violet yang disembunyikan di pekarangan belakang rumah. Nuri violet itu dikirim dari Makassar, yang akan dijual ke daerah lain, bahkan sampai ke Jawa.
Di dalam dapur rumah yang sempit dan agak gelap, satu bohlam lampu penerang memancarkan cahaya putih menerangi satu kakatua jambul-kuning bertengger di kayu balok yang dirangkai jadi sangkar terbuka, dengan kaki dirantai. Kakatua itu dikelilingi sangkar-sangkar besi dan kayu tanpa burung.
Kakatua itu merupakan hasil pertukaran dengan jenis kakatua lain milik anggota kepolisian di Kendari.
Putra B, menerima kiriman parrot berukuran kecil dari Papua melalui kapal laut, hampir setiap bulan. Jumlah kiriman terbanyak sampai 200 parrot. Dia tidak mengetahui persis bagaimana detail modus pengiriman parrot untuk bisa sampai ke tangan suaminya.
Setiap kali menerima paket kiriman, 20 untuk jual pribadi. Sebagian besar, Putra B distribusikan ke para pemesan parrot di beberapa kabupaten terdekat di Sulawesi Tenggara sampai ke Morowali, Sulawesi Tengah.
Sang istri cerita baru saja ada yang beli satu kakatua jambul-kuning. “Tadi ada yang laku, Rp900.000.” (Bersambung)
*****
Tim investigasi bersama Mongabay Indonesia, jaring.id, Tempo, Zonautara.com, Kalesang.id, dan Garda Animalia. Liputan ini berupaya mengungkap perdagangan ilegal satwa endemik Wallacea dan Papua dari dalam negeri sampai ke mancanegara. Liputan ini didukung dan didanai Garda Animalia lewat program Fellowship Bela Satwa Project 2023.