- Sejumlah aktivis mengecam dan menyesalkan konflik yang berlarut antara antara buruh PT Hardaya Inti Plantations (PT. HIP) dengan petani plasma di wilayah Koperasi Awal Baru, Desa Balau, Kecamatan Tilan, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Dipicu oleh panen sepihak buruh di lahan petani bagian dari kemitraan inti-plasma.
- LBH Buol Pogogul Justice mengatakan selama ini mayoritas petani tidak mendapatkan bagi hasil dari setiap penjualan TBS yang dihasilkan dari lahan plasma, terutama sejak tahun 2018.
- AGRA sudah melakukan komunikasi dengan buyer, yakni perusahaan-perusahaan yang membeli olahan sawit PT. HIP. Salah satunya adalah PT. Wilmar, yang juga merupakan anggota RSPO, serta perusahaan buyer lainnya.
- Lani Irawati Saleh, Asisten 3 Administrasi Umum Kabupaten Buol menyatakan akan segera menyampaikan aspirasi para petani pemilik lahan sawit ini kepada Penjabat Bupati Buol untuk dicarikan solusi terbaik segera.
Sejumlah aktivis menyesalkan dan mengecam terjadinya aksi kekerasan antara buruh PT Hardaya Inti Plantations (HIP) dengan petani plasma di wilayah Koperasi Awal Baru, Desa Balau, Kecamatan Tilan, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Dalam seminggu, tercatat dua kali bentrok terjadi. Pertama pada Selasa (7/5/2024), yang mengakibatkan 3 petani terluka dan dilarikan ke rumah sakit. Bentrok kedua, Jumat (10/5/2024) dengan korban 6 orang dari petani.
Dari sejumlah video yang beredar di media sosial terlihat puluhan warga mengepung truk pengangkut tandan buah segar (TBS) perusahaan dan saling dorong serta tarik antara petani dan buruh yang ditengahi oleh aparat kepolisian.
Bentrok ini adalah buntut dari perselisihan antara perusahaan dengan petani, di mana petani menuntut adanya bagi hasil yang adil dari perusahaan yang tidak diberikan belasan tahun sejak adanya kerja sama inti-plasma.
Perselisihan ini sudah dimediasi sejumlah pihak, termasuk dengan Pemerintah Kabupaten Buol, yang ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia khusus. Kasus ini bahkan telah dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Penghentian operasional perusahaan ini terjadi di lima desa, yaitu Balau, Maniala, Winangun, Taluan, dan Suraya.
Frustrasi karena tidak adanya hasil mediasi, petani plasma kemudian bersurat ke perusahaan meminta agar mereka menghentikan operasional di lima desa mitra, sebelum adanya solusi atas permasalahan ini sejak Selasa (08/01/2024) silam melalui surat tertanggal Jumat (5/1/2024).
Fatrisia Ain, Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) mengatakan bahwa petani plasma yang terikat kerja sama dalam skema inti-plasma dengan HIP selama ini tidak mendapatkan bagi hasil yang adil, reguler dan, berkesinambungan dari perusahaan.
“Petani terus melakukan perjuangan dan melakukan berbagai upaya, namun tidak juga membuahkan hasil yang memuaskan. Perusahaan tetap mengabaikan kami, dan pemerintah juga melakukan pembiaran atas ketidakadilan kerjasama yang dijalankan oleh perusahaan terhadap petani,” ujar Fatrisia dalam konferensi pers secara daring, yang diselenggarakn oleh Sawit Watch bersama Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Selasa (14/5/2024).
Baca :Dicaplok Perusahaan Sawit, Petani Buol ke Jakarta Tuntut Pengembalian Lahan
Malah perusahaan bahkan tidak membuka ruang perundingan secara adil dan terbuka ataupun musyawarah lainnya dengan petani plasma sehingga kemudian petani meminta perusahaan menghentikan sementara operasional.
“Operasional harus dihentikan hingga perusahaan memenuhi hak petani atas bagi hasil melalui perundingan yang adil dan musyawarah-musyawarah yang terbuka dengan petani plasma,” lanjutnya.
Menurutnya, bukannya membuka ruang musyawarah untuk memecahkan masalah secara baik dan saling menguntungkan, perusahaan justru melakukan upaya panen paksa dengan melibatkan buruh dengan bantuan aparat Brimob.
“Upaya ini berulang kali dilakukan oleh perusahaan, puncaknya pada panen dan pengangkutan paksa yang dilakukan pihak perusahaan pada tanggal 7 dan 10 Mei 2024, yang akhirnya berujung bentrok antara pihak petani dan pihak buruh,” katanya.
Budianto Eldist Daud Tamin, aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Buol Pogogul Justice mengatakan bahwa pihaknya mulai melakukan pendampingan terhadap petani plasma, sejak tahun 2018. Selama ini mayoritas petani tidak mendapatkan bagi hasil dari setiap penjualan TBS yang dihasilkan dari lahan plasma, terutama sejak 2018.
“Sebelum tahun 2018, memang ada beberapa petani dan koperasi yang mendapatkan bagi hasil, namun tidak semuanya. Adapun petani dan koperasi yang menerima bagi hasil, dilakukan tanpa administrasi yang baik, sehingga tidak jelas siapa saja yang sudah mendapatkan dan siapa yang tidak, serta berapa besaran bagi hasil yang diterima masing-masing,” jelas Budianto.
Menurutnya, terdapat tiga indikasi permasalahan yang ditemukan dalam legal opininya. Pertama, berdasarkan dokumen laporan perhitungan TBS yang dimiliki oleh masyarakat, terdapat beban biaya operasional yang sangat besar dan dinilai tidak wajar, sehingga perlu dilakukan tindakan audit.
Kedua, terdapat beban manegement fee yang dilimpahkan sebagai komponen biaya yang membebani penerimaan masyarakat dan perlu untuk diselidiki. Ketiga, terdapat statement utang investasi yang ada dalam notulensi rapat dan perhitungan laba-rugi yang menimbulkan statement utang yang luar biasa besarnya, sehingga sangat membebani masyarakat anggota koperasi.
“Kami menilai dengan dokumen bukti yang ada di setiap laporan perhitungan TBS sebelum tahun 2018, biaya langsung dan tidak langsung telah dimasukkan dalam setiap penjualan TBS, dan kami mendapatkan fakta bahwa dalam surat perjanjian kerjasama tidak mengatur atau tidak ada satu klausul yang menyebut adanya tambahan utang investasi selain uutang bank dan dana talangan.”
Baca juga : Inti-Plasma Dinilai Rugikan Petani Sawit di Buol, 3 Petani Alami Kekerasan
Munawir Ladua, aktivis dari LBH Sulawesi Tengah cabang Buol, mengatakan bahwa peristiwa bentrokan antara petani plasma dengan buruh kebun tersebut bukanlah sesuatu yang direncanakan. Hal tersebut terjadi sebagai upaya perlindungan diri dan keluarga oleh salah satu petani plasma.
“Kami akan terus mendampingi petani plasma dalam kasus ini hingga tuntas,” katanya.
Mohammad Ali, Ketua Umum Pimpinan Pusat AGRA menyampaikan bahwa, memang bukan kali ini saja PT. HIP bermasalah dan terus merugikan petani dan masyarakat sekitar hak guna usaha (HGU) perusahaan.
“Kami dari AGRA sudah melakukan komunikasi dengan buyer, yakni perusahaan-perusahaan yang membeli olahan sawit HIP. Salah satunya adalah PT. Wilmar yang merupakan salah satu buyer HIP dan merupakan anggota RSPO. Selain itu kami masih akan melakukan komunikasi dengan perusahaan-perusahaan buyer lainnya.”
Ali menilai seluruh rentetan peristiwa yang terjadi selama ini, khususnya yang dihadapi oleh petani plasma, perusahaan dan pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab.
“Pemerintah yang selama ini cenderung abai atas kemitraan yang merugikan petani selama ini. Tindakan abai pemerintah, serta tindakan anti kritik dan perlakuan tidak adil perusahaan adalah akar dari masalah yang terjadi baru-baru ini antara petani plasma dan buruh perkebunan.”
Pasca bentrok, Rabu (15/5/2024), petani juga melakukan aksi di depan kantor Bupati Buol, yang kemudian diterima oleh Asisten 3 Administrasi Umum Seretarian Daerah (Setda) Buol dan Wakapolres Buol.
Lani Irawati Saleh, Asisten 3 Administrasi Umum Kabupaten Buol menyatakan akan segera menyampaikan aspirasi para petani pemilik lahan sawit ini kepada Penjabat Bupati Buol untuk dicarikan solusi terbaik segera.
“Ini memang harus segera diselesaikan,” katanya, dikutip dari suarautara.com. (***)
Sawit Lahan Terlarang di Sulteng Mengalir ke Perusahaan Berkomitmen ‘Hijau’