- Puluhan nelayan Pulau Rempang-Galang, Kota Batam, Kepri kembali menggelar aksi menolak relokasi dari tempat tinggalnya untuk proyek PSN Rempang Eco-city
- Aksi saat itu dilakukan di atas kapal di pesisir Kampung Tua Sembulang Hulu, Pulau Rempang untuk menunjukkan mereka tetap mempertahankan laut sebagai tempat penghidupan mereka
- Para istri para nelayan juga ikut menyuarakan pendapat mereka menolak segala bentuk upaya relokasi. Mereka berharap kampung yang dulu aman dan nyaman bisa kembali lagi.
- Saat ini pemerintah melalui BP Batam terus merayu warga untuk mau mendaftar relokasi. Data terakhir BP Batam, total masyarakat yang sudah menerima relokasi sebanyak 300 lebih, dari total sekitar 900 warga terdampak relokasi.
Cuaca hujan tidak menyurutkan semangat puluhan nelayan Pulau Rempang-Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) menggelar aksi tolak relokasi, Senin (20/5/2024). Aksi kali ini terbilang berbeda dengan aksi-aksi sebelumnya. Biasanya nelayan melakukan orasi penolakan relokasi di darat, hari itu aksi dilakukan di atas kapal di pesisir Kampung Tua Sembulang Hulu, Pulau Rempang, Kota Batam.
Dengan membawa spanduk berisikan kata-kata penolakan relokasi, satu per satu nelayan ini melajukan kapal kayu mereka ke tengah laut di depan pelabuhan kampung tua Sembulang. Secara bersamaan di tengah laut berbagai kata-kata spanduk penolakan relokasi dibentangkan.
“Kami masyarakat adat dan tempatan Rempang menolak keras negosiasi,” bunyi salah satu spanduk penolakan tersebut. Aksi ini juga dilakukan untuk memprotes beberapa organisasi yang mengatasnamakan masyarakat Rempang untuk bernegosiasi dengan pemerintah.
Setelah spanduk dibentangkan, salah satu dari nelayan tersebut berteriak memimpin orasi dibawah hujan siang itu. “Kami, warga rempang galang menolak relokasi, menolak investasi jahat, kami tetap menjage laut maupun darat kami, tolak relokasi,” kata Miswadi disambut teriakan warga lain, “Tolak relokasi.”
Miswadi menjelaskan, orasi di laut ini membuktikan bahwa tidak hanya darat, laut di pesisir Pulau Rempang juga akan rusak jika investasi jahat masuk. “Kita mayoritas masyarakat nelayan, aksi di darat sudah sering kita lakukan, artinya sekarang laut juga kita selamatkan,” katanya.
Baca : Nasib Nelayan Pulau Rempang: Terancam Relokasi Proyek Strategis Nasional
Sedangkan M Aris, warga Sembulang Hulu Pulau Rempang menjelaskan mereka ingin memberitahukan kepada dunia bawah laut sebagai tempat penghidupan mereka juga dijaga.
Aris menegaskan, sudah barang pasti jika investasi masuk ke Rempang laut juga akan rusak. “Kalau laut sudah rusak, tentu investasi ini akan menjadi musibah bagi kami,” katanya.
Apalagi investasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-city tepat berada di pesisir kampung-kampung di Pulau Rempang. Tidak hanya laut rusak karena lalu lalang kapal, tetapi juga rusak dengan adanya pengerukan pasir nantinya.
Ramlah, tetua Pulau Rempang yang sudah tujuh keturunan tinggal di Kampung Sembulang Hulu, Pulau Rempang mengatakan kampungnya merupakan salah satu kampung prioritas pertama yang akan dibangun PSN Rempang Eco-city. Setidaknya ada lima kampung lain yang senasib sama.
Ramlan bercerita, kebanyakan masyarakat asli tempatan Pulau Rempang adalah bekerja sebagai nelayan, mulai dari mencari ikan, kepiting, udang ataupun gonggong. “Dari dulu lah hidup kami bergantung kepada laut ini, meskipun pendapatan tak menentu, tetapi kami bisa hidup tenang disini,” katanya.
Namun, sekarang ini katanya yang sudah beranjak 63 tahun, masyarakat nelayan masih was-was takut warga tetap di relokasi sehingga kehidupan kampung tidak tenang lagi. “Tetapi sampai kapan pun kami tetap bertahan. Laut ini tempat kami mencari makan. Nanti kalau kami direlokasi tak tahulah mau makan apa disitu,” katanya.
Baca juga : Perempuan Rempang Tolak Relokasi, “Pak Presiden, Apakah Kami Sudah Merdeka?
Nelayan Perempuan Ikut Bersuara
Usai aksi orasi di laut, beberapa ibu-ibu istri para nelayan di Rempang juga ikut menyuarakan pendapat mereka menolak segala bentuk upaya relokasi, mereka berharap kampung yang dulu aman dan nyaman bisa kembali lagi.
Seperti yang dikatakan, Nurseha dan Sri Mariani yang ditemui Mongabay usai aksi tolak relokasi yang dilaksanakan siang itu. Mereka mengatakan, salah satu ketakutan warga ketika investasi masuk akan mengancam mata pencaharian suami mereka yang kebanyakan melaut.
Kondisi kampung Rempang ini kata Nurseha perempuan lainnya, sangat berarti bagi ibu-ibu di Rempang. Warga merasa nyaman meskipun hanya makan nasi dan lauk dan sayuran yang berasal dari kebun di Pulau Rempang sendiri. “Sebelum ada masalah investasi ini hidup kami damai dan tenang, yang penting di rumah ada beras, lauk atau sayur mudah di dapat disini,” kata perempuan asli Rempang ini.
Bahkan menurut Sri, uang Rp50 ribu di tangan bisa bertahan di kampung ini dengan hidup nyaman dan tenang. “Cobalah di bawah ke Batam (ke kota), dapat apa Rp50 ribu itu,” kata Sri.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Even Sembiring mengatakan, apa yang dilakukan masyarakat Rempang jelas sebagai bentuk penolakan untuk dipindahkan akibat dampak PSN Rempang Eco-city. Menurut Even, alih-alih memaksakan kehendak membangun Rempang Eco-city lebih baik pemerintah mengembangkan ekonomi masyarakat di Rempang yang sudah hidup turun menurun baik sebagai nelayan di laut maupun berkebun.
“Kalau kita lihat sekarang pemerintah lebih mementing kepentingan investasi Amerika atau China, dibanding hak-hak rakyat Rempang,” katanya.
Baca juga : Masyarakat Adat di Rempang, Ada Sebelum Indonesia
Update Konflik Rempang
Saat ini pemerintah melalui BP Batam terus merayu warga untuk mau mendaftar relokasi. Sedangkan warga tempatan yang masih bertahan terus menjaga kampung mereka.
Bahkan di Sembulang Hulu, mayoritas warga yang masih menolak relokasi memasang portal di pintu masuk kampung. Mereka ingin memastikan tidak ada pihak pemerintah atau perusahaan yang mau merayu warga agar pindah. “Jika sudah pindah satu orang, nanti dia akan mengajak yang lain, makanya kami bertahan sekarang semuanya,” kata Miswadi.
Sedangkan beberapa kampung terdampak lainnya, baik itu Pasir Panjang, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Blongkeng sebagian warga sudah menerima relokasi.
BP Batam juga tidak tinggal diam, setidaknya empat unit rumah contoh sudah dibangun di kawasan relokasi di Kampung Tanjung Banon. Warga di lima kampung terdampak akan dipindahkan ke kawasan tersebut. Data terakhir dalam siaran pers BP Batam, total masyarakat yang sudah menerima relokasi sebanyak 300 lebih, dari total sekitar 900 warga terdampak relokasi. (***)
Janji Indonesia di KTT AIS di Tengah Banyak Persoalan Pesisir dan Pulau Kecil