- ICW mengajak mengawasi potensi korupsi pada proyek air di Indonesia karena menjadi proyek strategis nasional
- Akses air sangat vital namun sudah ada sejumlah kasus korupsi terkait tata kelola air yang menghilangkan hak warga pada air bersih dan sanitasi. Data ICW mencatat, terdapat 128 kasus korupsi berkaitan dengan proyek di sektor pengairan selama 2016 hingga 2023 yang mengakibatkan kerugian Rp455 miliar.
- ICW mengirim e-mail pernyataan sikap pada perusahaan calon investor dalam proyek air di Indonesia dari komitmen dalam World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali.
- Menjelang penutupan WWF, ada sejumlah komitmen baru seperti Bali Basin Action Champions Agenda dan pembentukan Pusat Keunggulan Ketahanan Air dan Iklim di kawasan Asia Pasifik.
Pemerintah Indonesia membuat sejumlah komitmen proyek baru di perhelatan World Water Forum (WWF) ke-10 yang dihelat sepekan sejak 18 Mei 2024 di Bali ini. Karena pembangunan yang berkaitan dengan sektor air telah masuk dalam proyek strategis nasional (PSN), Indonesia Corruption Watch (ICW) mencermati sejumlah potensi korupsi yang harus diawasi warga dan investor.
ICW dalam laporannya mengenai pengawasan sektor air mencatat sejak 2016 hingga 2023 pemerintah telah melakukan pengadaan sebanyak 761 paket yang terdiri dari bendungan, jaringan irigasi, dan jaringan air baku dengan nilai Rp76,8 triliun yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebanyak 29 proyek diantaranya dikerjakan di Bali dengan total anggaran Rp2,5 triliun.
Masuknya investasi ke Indonesia perlu juga diantisipasi oleh seluruh investor karena maraknya praktik korupsi. Berdasarkan hasil pemantauan ICW atas tren penindakan kasus korupsi 2016-2023 menunjukkan, terdapat 128 kasus korupsi berkaitan dengan proyek pengairan. Proyek ini beragam mulai peningkatan jaringan irigasi, pembangunan saluran air bersih, hingga proyek instalasi jaringan pipa PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum).
Risiko kerugian negara akibat korupsi di 128 proyek tadi, mencapai Rp455 miliar. Modus pun beragam, dengan peringkat tertinggi ditempati proyek fiktif (42 kasus), disusul penyalahgunaan anggaran (29 kasus), dan penggelapan (18 kasus).
Indonesia sebagai tuan rumah WWF ke-10, menurut ICW justru menunjukkan kepada negara-negara peserta bahwa pengelolaan sektor air masih sarat praktik korupsi. Ini juga berdampak pada situasi dimana warga di banyak daerah terpaksa membeli air bersih dengan harga yang tidak murah dikarenakan pasokan air bersih yang diterima tidak mencukupi, atau mengeluarkan biaya lebih untuk membeli atau menyewa pompa air. Belum selesai berjuang mendapatkan air, warga juga harus bertarung dengan represifitas saat mempertahankan haknya bahkan saat sekadar ingin berdiskusi.
ICW juga menyoroti represifitas yang menyasar kelompok masyarakat sipil khususnya pejuang lingkungan dan pejuang hak atas air, merupakan bentuk nyata tindakan pemerintah dan aktor berpengaruh non-negara lainnya untuk menutup ruang partisipasi publik. Hal ini tentu dapat mempengaruhi terhadap upaya warga dalam mengawasi proyek pembangunan pemerintah yang cenderung korup, serta menciptakan suasana ketakutan.
Baca : World Water Forum Dorong Global Water Fund dan Komitmen Ketahanan Air
Karena itu ICW mendesak, pertama, investor harus memikirkan ulang untuk berinvestasi ke Indonesia ketika tidak adanya ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan.
Wana Alamsayah, peneliti ICW menjelaskan , Jumat, (24/5/24), ICW baru mengirimkan e-mail ke beberapa orang di K-Water, perusahaan asal Korea Selatan yang baru saja menandatangani kesepakatan. “E-mail kami berisi siaran pers yang terdapat rekomendasi ke investor dengan memberikan fakta korupsi sektor pengairan. Hal ini penting untuk diketahui oleh investor agar mereka dapat mempersiapkan mekanisme yang cukup ketat mengenai penggunaan anggaran oleh pemerintah,” jelasnya.
Kedua, investor wajib menetapkan klausul di dalam kesepakatan dengan pemerintah untuk melibatkan warga secara bermakna dalam seluruh proses pembangunan yang berkeadilan.
Terkait ini, Wana juga contohkan proyek Mandalika yang dibiayai Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Dalam dokumen yang disepakati, AIIB meminta agar ketika ada proses relokasi, seluruh warga mendapatkan kompensasi. Padahal dalam aturan mengenai pengadaan tanah, pemerintah tidak memiliki kewajiban. Namun AIIB memikirkan mengenai hal tersebut.
Ketiga, ICW mendorong pemerintah wajib melibatkan warga dalam setiap perumusan kebijakan dan proses pembangunan. “Pengawasan anggaran tidak mendukung, namun implementasi dari anggaran yang disepakati dapat diawasi. Misal, saat ada proses pengadaan barang/jas,” paparnya.
Keempat, investor wajib untuk melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran yang telah diinvestasikan ke pemerintah agar meminimalisir terjadinya praktik korupsi.
Kelima, investor wajib untuk menarik seluruh dana investasinya dari Indonesia jika terbukti adanya korupsi; keenam, pemerintah harus memastikan mekanisme pengawasan berbasis masyarakat dapat dilaksanakan tanpa potensi SLAPP (Gugatan Strategis Terhadap Partisipasi Masyarakat) atau bentuk tuduhan palsu lainnya.
Berikutnya, ketujuh, pemerintah harus memastikan seluruh laporan warga terhadap pembangunan yang berpotensi maladministrasi dan korupsi harus ditindaklanjuti; dan pemerintah melalui aparat penegak hukum harus berhenti untuk melakukan represifitas kepada kelompok masyarakat sipil yang kritis.
Baca juga : Klaim Investasi US$9,4 Miliar di World Water Forum Bali
Kekerasan pada People’s Water Forum
ICW juga mengingatkan, Forum Air milik Rakyat Sedunia (People’s Water Forum – PWF) yang semestinya berlangsung di Bali sejak 20 Mei 2024 lalu mendapatkan ancaman dan kekerasan dari aparat negara dan aktor non negara. Padahal PWF merupakan wadah bagi kelompok masyarakat sipil yang mengkritisi World Water Forum yang diselenggarakan oleh pemerintah atas dasar kepentingan modal tanpa melibatkan warga secara penuh. Akses terhadap air merupakan bagian dari hak asasi manusia yang pemenuhannya wajib dijamin oleh negara.
Sejumlah proyek baru yang perlu diawasi adalah disepakatinya pendanaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) antara pemerintah melalui Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan K-Water, perusahaan milik Korea Selatan dengan nilai investasi senilai Rp2,4 triliun.
Catatan ICW, pada tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menangani kasus suap pembangunan SPAM di Kementerian PUPR yang melibatkan mantan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Djalil. Selain Rizal, ada 8 orang tersangka dari unsur pemerintah dan swasta yang turut ditetapkan sebagai tersangka. Modus operandi yang terungkap oleh KPK terbilang umum, dimana uang suap tersebut diberikan oleh pihak swasta agar pejabat SPAM dapat mengatur lelang proyek dan memberikan kemudahan dalam pengawasan proyek, serta dapat dengan mudah mencairkan anggaran.
Seperti sudah diberitakan sebelumnya, pemerintah menyebut akan ada total 120 proyek strategis terkait air dan sanitasi bernilai USD 9,4 milyar akan disepakati saat di Bali dalam WWF ini. Selain SPAM Regional Karian-Serpong untuk air minum Jakarta dan Banten, nilai investasi sebesar Rp2,4 triliun dengan sejumlah investor luar negeri, juga ada MoU Net-Zero Water Supply Infrastructure Project di Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan perusahaan Korea Selatan.
Baca juga : Kekerasan di Forum Rakyat untuk Air: Kritik World Water Forum di Bali Berujung Anarkis
Komitmen WWF
Menjelang penutupan WWF, website resmi merilis sejumlah komitmen baru seperti “Bali Basin Action Champions Agenda”, yaitu komitmen baru dalam mendukung pengelolaan wilayah sungai sebagai booster pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Bali Basin Champions Agenda mencakup langkah kolaboratif seperti peluncuran Twin Basin Initiative (TBI), sebuah program global peningkatan kapasitas dan pertukaran pengalaman antarsesama organisasi dari seluruh dunia yang bekerja dalam Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Integrated Water Resources Management/IWRM) di tingkat wilayah sungai nasional maupun lintas negara.
Untuk mencapai hal ini, TBI akan mendukung kegiatan peningkatan kapasitas bersama, seperti webinar, pertukaran tatap muka, kunjungan studi, serta penyebaran pembelajaran dalam skala global seperti peer to peer dan ke masyarakat.
Komitmen lain adalah, World Water Forum ke-10 menggagas pembentukan Pusat Keunggulan Ketahanan Air dan Iklim atau Center of Excellence (CoE) on Water and Climate Resilience di kawasan Asia Pasifik. Pusat Unggulan ini dinilai akan menjadi platform kolaborasi bagi negara-negara di dunia belahan selatan yang sering mengalami masalah kebencanaan terkait dengan air dan pengelolaan air.
Hal itu dikemukakan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam Special Session 9 World Water Forum ke-10 di Ruang Pecatu 3, Bali Nusa Dua Convention Center 2 (BNDCC 2), Bali, Rabu (22/5/2024).
“Kolaborasi dan kemitraan adalah hal yang terpenting dalam CoE. Hal ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, sektor swasta, dan akademisi,” katanya.
Kemitraan dikatakannya sangat penting untuk memanfaatkan beragam sumber daya, keahlian, dan teknologi yang diperlukan agar CoE mampu mengatasi berbagai masalah terkait air dan iklim secara efektif. Lebih lanjut Dwikorita menuturkan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia berada di garda depan dalam menghadapi tantangan lingkungan dan iklim ini.
Banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam 30 tahun terakhir mengatasi krisis air. Namun Indonesia, terus memiliki inovasi pengembangan teknologi dan melakukan pengembangan penelitian. Dwikorita juga menuturkan setiap negara sebenarnya sudah memiliki CoE masing-masing, misalnya Indonesia dengan CoE Weather and Climate yang fokus untuk melatih kepakaran dalam bidang sumber daya manusia dan mendapatkan dukungan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
“Lebih dari 13 tahun juga sudah ada Sabo Center, di mana teknologi Sabo diperkenalkan kepada pakar-pakar muda di bidang terkait di Asia Pasifik dan Afrika,” katanya.
Sebagai informasi, sabo berasal dari dua kata dalam bahasa Jepang yaitu “sa” yang berarti pasir dan “bo” yang berarti pengendalian. Teknologi sabo adalah suatu teknik yang digunakan untuk mengantisipasi aliran debris dan pengendalian sedimen dalam suatu bentang alam, khususnya sungai pada gunung. (***)
Hancurnya Air Suci Kami, Kiamat bagi Ritual Keagamaan Indonesia?