- Rabies masih menjadi salah satu penyakit tropis terabaikan, yang memiliki tingkat kematian tertinggi dibandingkan penyakit menular lainnya.
- Meksipun 99 persen rabies disebarkan oleh anjing, virus ini dapat ditularkan juga melalui gigitan hewan rabies lain, termasuk monyet.
- Gigitan monyet juga dapat menyebarkan virus cacar monyet atau dikenal mpox, yang sejak tahun 2022, telah menjadi wabah dan mengakibatkan lebih dari 86.000 kasus terkonfirmasi secara global.
- Banyak penelitian menunjukkan bahwa risiko penyakit menular dipengaruhi oleh perubahan keanekaragaman hayati, perubahan iklim, polusi kimia, transformasi lanskap, hingga introduksi spesies.
Abad ke-21 ditandai dengan lonjakan epidemi dan pandemi virus, yang menyoroti tantangan serius kesehatan global akibat berbagai wabah penyakit yang muncul. Atau muncul kembali, seperti rabies dan cacar monyet.
Menurut World Health Organization [WHO], rabies masih menjadi salah satu penyakit tropis terabaikan, namun memiliki tingkat kematian tertinggi dibandingkan penyakit menular lain. Meskipun dapat dicegah dengan vaksin, rabies mampu membunuh ribuan orang setiap tahunnya di seluruh dunia.
“Begitu gejala klinis muncul, rabies hampir 100% berakibat fatal. Penyakit ini menyebabkan puluhan ribu [sekitar 60 ribu] kematian setiap tahunnya, terutama di Asia dan Afrika [95%], dan 40% di antaranya adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun,” tulis WHO dalam situs resminya.
Rabies terdapat di semua benua kecuali Antartika, tersebar di lebih dari 150 negara dan wilayah. Namun, saat ini belum ada pengobatan antiviral yang efektif untuk rabies.
Di Indonesia, kasus rabies pertama kali dilaporkan oleh Esser tahun 1884 pada seekor kerbau, kemudian oleh Pening [1889] pada seekor anjing, dan Eileris de Zhaan [1894] pada manusia. Awalnya, semua kasus terjadi di Provinsi Jawa Barat dan setelah itu rabies menyebar ke daerah Indonesia, sebagaimana dikutip dari Buku Saku Rabies [Kemenkes, 2019] yang diterbitkan Kementerian Kesehatan [Kemkes] Republik Indonesia.
Per April 2023, ada 26 provinsi yang menjadi endemis rabies di Indonesia. Hanya 11 provinsi yang bebas rabies, yaitu Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, dikutip dari situs resmi Kementerian Kesehatan, Sehat Negeriku.

Sudah ada dua kabupaten yang menyatakan kejadian luar biasa [KLB] rabies yaitu Kabupaten Sikka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS], Nusa Tenggara Timur. “Situasi rabies di Indonesia tahun 2020 hingga April 2023, rata-rata per tahun kasus gigitan sebanyak 82.634, kemudian yang diberi vaksin antirabies [VAR] hampir 57.000.”
“Rabies merupakan tantangan besar di Indonesia, karena dalam tiga tahun terakhir kasus gigitan hewan rabies rata-rata setahun lebih dari 80.000 kasus, dengan kematian rata-rata 68 orang,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dr. Imran Pambudi, MPHM, dikutip dari situs Sehat Negeriku.
Anjing peliharaan bertanggung jawab atas 99% kasus penyebaran rabies ke manusia. Penyakit ini menyebar ke manusia dan hewan melalui air liur, biasanya melalui gigitan, cakaran, atau kontak langsung dengan mukosa [misalnya mata, mulut, atau luka terbuka], menurut WHO.
Meski demikian, virus ini dapat ditularkan melalui gigitan hewan rabies mana pun. Kasus rabies pada manusia terjadi karena gigitan kucing, kelelawar, luwak, serigala, rubah, dan hewan karnivora lainnya.
“Banyak hewan menjadi agresif dan menggigit ketika terkena rabies, termasuk kuda dan keledai. Pada hewan yang jarang menggigit, seperti sapi dan kerbau, penularan masih dapat terjadi melalui paparan air liur. Kehati-hatian harus dilakukan sambil memeriksa hewan sakit yang mengeluarkan air liur,” tulis WHO.

Gigitan monyet
Di seluruh dunia, rabies akibat gigitan tikus ataupun monyet [primata non-manusia] jarang terjadi. Namun, WHO mencatat, gigitan monyet di India merupakan sumber cedera gigitan kedua yang paling umum setelah cedera gigitan anjing.
Gautret dkk. [2015], melalui penelitiannya, menyatakan kasus rabies pada primata non-manusia jarang dilaporkan. Meski demikian, saat itu mereka menemukan 134 kasus rabies terkonfirmasi pada primata non-manusia, yang telah dilaporkan dari berbagai sumber di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia, termasuk 13 kasus pada hewan yang diimpor ke Eropa dan Amerika.
Riset tersebut juga menemukan 25 kasus penularan rabies akibat cedera [gigitan] terkait primata non-manusia. “Kami menunjukkan bahwa meskipun jarang dilaporkan, kasus infeksi rabies yang terdokumentasi pada primata non-manusia dan penularan selanjutnya ke manusia memang terjadi.”

Sementara itu, penelitian Vodopija dkk. [2018] menyatakan, para turis yang berkunjung ke lokasi wisata alam, merupakan kelompok yang sangat rentan terkena gigitan monyet.
Dalam analisis mereka, pada 2014, sebanyak 706 orang terdaftar di Klinik Antirabies Zagreb menderita gigitan berbagai hewan, sepuluh di antaranya dilaporkan digigit atau dilukai monyet. Sembilan dari mereka menderita luka-luka selama perjalanan ke India, Thailand, dan Bali.
“Semua cedera terjadi ketika mereka ingin memelihara atau mencoba memberi makan monyet, atau menolak memberi mereka makanan. Monyet-monyet tersebut sebagian besar adalah kera, capuchin, atau jenis yang tidak diketahui,” tulis Vodopija dkk.
Beberapa destinasi di Asia Tenggara khususnya Ubud dan Pura Luhur Uluwatu di Bali; Taman Nasional Angkor di Siem Reap Kamboja; Krabi, Thailand, Gua Batu di Malaysia, sering diberitakan ‘masalah monyet’.
“Banyak wisatawan digigit monyet saat coba memotret, memberi makan, atau memelihara saat mengunjungi Ubud, Bali. Sebanyak 14 orang yang terpapar rabies dirawat oleh layanan kesehatan wilayah Mackay pada 2016, sebagian besar disebabkan gigitan dan cakaran,” jelas penelitian tersebut.

Cacar monyet
Selain rabies, gigitan monyet juga dapat menyebarkan virus cacar monyet atau dikenal mpox, menurut keterangan WHO. “Gigitan monyet berhubungan dengan rabies, simian retrovirus, virus herpes B, dan infeksi mpox.”
“Penularan mpox dari orang ke orang dapat terjadi melalui kontak langsung dengan kulit yang menular atau lesi lain seperti di mulut atau alat kelamin,” tulis WHO.
Sejak Mei 2022, terjadi wabah mpox terbesar dalam sejarah, yang mengakibatkan lebih dari 86.000 kasus terkonfirmasi secara global, sebagian besar di Amerika Serikat [>30.000 kasus].
“WHO menyatakan wabah ini sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional pada 23 Juli 2022,” tulis Wenham dkk. [2022], dalam penelitian (Hoffman & Maldonado, 2024).
Uniknya, hingga saat ini, hewan penyebab penyakit cacar monyet belum diketahui. Cacar monyet dikenal setelah virus pertama kali diisolasi pada 1958, setelah wabah penyakit mirip cacar, menyerang monyet cynomolgus yang dipelihara di fasilitas penelitian di Kopenhagen, Denmark.
Namun, beberapa spesies hewan pengerat dari hutan hujan tropis Afrika Tengah dan Barat, termasuk tupai pohon dan tikus berkantung Gambia, saat ini dianggap sebagai kandidat kuat.
“Kera dan monyet Afrika dapat terinfeksi dan dianggap sebagai inang perantara. Banyak hewan, seperti kelinci, anjing padang rumput, hewan pengerat lainnya, dan monyet, rentan terhadap infeksi di penangkaran, termasuk hewan laboratorium,” tulis Antoine dkk. [2022].
Di Indonesia, berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan [Kemenkes], ada 57 kasus konfirmasi cacar monyet di Indonesia per 22 November 2023, mayoritasnya di Pulau Jawa, dikutip dari databokskatadata.
Dari sumber yang sama, kasus cacar monyet paling banyak tercatat di DKI Jakarta, yakni 42 kasus. Kemudian di Banten [6 kasus], Jawa Barat [6 kasus], dan Jawa Timur [2 kasus]. Sementara di Sumatera 1 kasus, di Kepulauan Riau. Dari total kasus, 33 orang dilaporkan sudah sembuh.
Dari kasus tersebut, sebanyak 35 kasus masuk kategori orientasi seksual lelaki seks lelaki [LSL], 11 kasus biseksual, dan 7 kasus heteroseksual. Sementara 2 kasus lain belum diketahui, dan 2 kasus sisanya masih investigasi.
“Rata-rata disertai dengan kondisi penyerta,” kata Achmad Farchanny Tri Adryanto, Direktur Surveilans Karantina Kesehatan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, dilansir dari Kompas.com, Kamis [23/11/2023], dikutip dalam databokskatadata.

Hutan
Setelah badai pandemi COVID-19 melanda Bumi, manusia moderen haarusnya kian sadar bahwa penyebaran penyakit, erat kaitannya dengan kualitas ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada di hutan.
Hal ini diperkuat dengan penelitian terbaru Jones dkk. [2024] yang menemukan bahwa wabah rabies di Kosta Rika yang membunuh hewan ternak, berhubungan dengan deforestasi yang terjadi di negara Amerika Tengah tersebut.
Di Kosta Rika, kampanye vaksinasi sangat efektif dalam mencegah wabah rabies pada anjing. Namun, virus ini terus muncul kembali pada hewan ternak dan disebarkan oleh kelelawar vampir [Desmodus rotundus].
Seperti namanya, kelelawar vampir hanya memakan darah dan ditemukan di daerah tropis dan subtropis di Amerika Tengah dan Selatan. Kemampuan berjalan bahkan berlari darat, menjadi pembeda kontras dirinya dengan kelelawar jenis lain.
“Giginya yang setajam silet dan ketepatan pembedahan memungkinkan kelelawar membuat sayatan pada hewan, seperti pada pinggul sapi, tanpa hewan tersebut merasakannya. Antikoagulan dalam air liur kelelawar vampir menjaga darah tetap mengalir saat kelelawar memakan makanannya,” tulis artikel tersebut.

Setelah menganalisis hubungan antara perubahan penggunaan lahan dan dokumentasi wabah virus rabies sapi di Kosta Rika selama 1985–2020, para peneliti menemukan adanya hubungan antara lokasi habitat hutan dan wabah penyakit.
“Setiap peningkatan jarak 1 km dari kawasan hutan, meningkatkan kemungkinan wabah sebesar 4%,” tulis para peneliti dalam jurnal Emerging Infectious Diseases.
Temuan para ahli ekologi penyakit di Emory University ini, sejalan dengan pemahaman mereka tentang preferensi makanan kelelawar D. rotundus dan risiko penularan virus rabies.
“Berkurangnya kedekatan lokasi bertengger di hutan tampaknya meningkatkan perilaku makan kelelawar vampir [D. rotundus] pada ternak,” tulis penelitian tersebut.
Sebelumnya, Gibb dkk. [2020], telah memperingatkan melalu hasil risetnya yang menemukan bahwa spesies mamalia yang memiliki lebih banyak patogen secara keseluruhan [baik yang ditularkan melalui manusia atau bukan] lebih mungkin terdapat di ekosistem yang dikelola manusia.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa perubahan global dalam cara dan intensitas penggunaan lahan menciptakan interaksi berbahaya yang semakin besar antara manusia, hewan ternak, dan satwa liar yang merupakan sumber penyakit zoonosis,” tulisnya.
Terbaru, penelitian meta-analisis tentang pendorong perubahan global dan risiko penyakit menular [Mahon dkk. 2024] menemukan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati, polusi kimia, perubahan iklim, dan spesies pendatang berhubungan dengan peningkatan titik akhir atau dampak buruk penyakit menular.
“Secara khusus, mengurangi emisi gas rumah kaca, mengelola kesehatan ekosistem, dan mencegah invasi biologis dan hilangnya keanekaragaman hayati dapat membantu mengurangi beban penyakit tanaman, hewan, dan manusia, terutama bila dibarengi dengan perbaikan faktor-faktor penentu kesehatan secara sosial dan ekonomi,” tulis riset tersebut.
Referensi:
Antoine, G., Emmanuel, N., & Yazdan, Y. (2022). Monkeypox. New England Journal of Medicine, 387(19), 1783–1793. https://doi.org/10.1056/NEJMra2208860
Gautret, P., Blanton, J., Dacheux, L., Ribadeau-Dumas, F., Brouqui, P., Parola, P., Esposito, D. H., & Bourhy, H. (2015). Correction: Rabies in Nonhuman Primates and Potential for Transmission to Humans: A Literature Review and Examination of Selected French National Data. PLOS Neglected Tropical Diseases, 9(5), e0003799.
Gibb, R., Redding, D. W., Chin, K. Q., Donnelly, C. A., Blackburn, T. M., Newbold, T., & Jones, K. E. (2020). Zoonotic host diversity increases in human-dominated ecosystems. Nature, 584(7821), 398–402. https://doi.org/10.1038/s41586-020-2562-8
Hoffman, S. A., & Maldonado, Y. A. (2024). Emerging and re-emerging pediatric viral diseases: a continuing global challenge. Pediatric Research, 95(2), 480–487.
Jones, C., Vicente-Santos, A., Clennon, J. A., & Gillespie, T. R. (2024). Deforestation and Bovine Rabies Outbreaks in Costa Rica, 1985–2020. Emerging Infectious Diseases, 30(5), 1039–1042.
Kemenkes, R. I. (2019). Buku saku petunjuk teknis penatalaksanaan kasus gigitan hewan penular rabies di Indonesia. Infodatin Kemenkes, 53(9), 1689–1699. https://ayosehat.kemkes.go.id/pub/files/447acef9c1dfbe1e72920ac9d32d389d.pdf
Mahon, M. B., Sack, A., Aleuy, O. A., Barbera, C., Brown, E., Buelow, H., Civitello, D. J., Cohen, J. M., de Wit, L. A., Forstchen, M., Halliday, F. W., Heffernan, P., Knutie, S. A., Korotasz, A., Larson, J. G., Rumschlag, S. L., Selland, E., Shepack, A., Vincent, N., & Rohr, J. R. (2024). A meta-analysis on global change drivers and the risk of infectious disease. Nature. https://doi.org/10.1038/s41586-024-07380-6
Vodopija, R., Vojvodić, D., Sokol, K., Racz, A., Beljak, Ž. G., Baranj, N., Mahović, J., & Ulaga, B. (2018). Monkey bites and injuries in the Zagreb antirabies clinic in 2014. Acta Clinica Croatica, 57(3), 593.