- Pemerintah terus melanjutkan pembangunan puluhan proyek bendungan di berbagai wilayah di Indonesia meskipun banyak persoalan muncul dan berrisiko. Hingga 2022, sebanyak 36 bendungan selesai terbangun dari target 61 bendungan sejak 2015.
- Sejumlah negara di dunia kini bahkan beramai-ramai menghancurkan bendungan mereka setelah menyadari berbagai ancaman dan kerugian dari infrastruktur ini. Di Eropa, misal, lebih 200 bendungan mereka hancur pada 2021.
- Indonesia berkepentingan untuk mitigasi terkait ancaman krisis air di masa depan tetapi alih-alih mendapat jalan keluar, acapkali solusi yang diambil justru menghadirkan persoalan baru.
- Rere Cristanto, Manajer Kampanye Walhi Nasional mengatakan, satu penyebab utama krisis air adalah kehilangan hutan seperti untuk industri ekstraktif termasuk perkebunan monokultur. Hutan sebagai kawasan penting, kehilangan peran sebagai pengatur siklus hidrologi.
Pemerintah terus melanjutkan pembangunan puluhan proyek bendungan di berbagai wilayah di Indonesia meskipun berbagai persoalan muncul dan risiko mengancam. Hingga 2022, sebanyak 36 bendungan selesai terbangun dari target 61 bendungan sejak 2015.
“Sebanyak 22 bendungan lain ditargetkan tuntas tahun ini, “ kata Adenan Rasyid, Direktur Bendungan dan Danau, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mengutip Indonesia.go.id, 19 Mei.
Dia berharap, 36 bendungan itu dapat menambah produksi pertanian hingga 245.103 hektar, meningkatkan produksi padi 2 juta ton per tahun. Bendungan juga dia klaim menyediakan tambahan air baku 17,19 m3 per detik yang dapat memenuhi kebutuhan bagi 10 juta penduduk.
Dengan penyelesaian 61 bendungan sampai 2024, katanya, akan meningkatkan indeks penanaman dari 143% jadi 200%. Layanan air irigasi akan meningkat dari 231 bendungan eksisting 10,6% (761.000 hektar) pada 2015 menjadi 19,3% atau 1,4 juta hektar sawah irigasi pada 2024.
Apa yang terjadi?
Kendatipun begitu, bendungan bukan tanpa persoalan. Sejumlah negara di dunia kini bahkan beramai-ramai menghancurkan bendungan mereka setelah menyadari berbagai ancaman dan kerugian dari infrastruktur ini. Di Eropa, misal, lebih 200 bendungan mereka hancur pada 2021.
Jon Honea, asisten profesor asal Emerson College banyak memberikan ulasan mengenai dampak pembangunan bendungan. Sebuah penelitian menunjukkan, bendungan menghambat laju sedimen ke laut, hingga memperburuk erosi pantai.
“Mereka juga melepaskan metana, gas rumah kaca yang kuat, seiring membusuknya vegetasi yang tenggelam di bawah waduk bendungan, “ tulisnya dalam ulasan yang dipublikasikan The Conversation.
Salah satu kerugian terbesar yang tidak banyak disadari dari bendungan adalah keanekaragaman hayati tergerus. Sungai yang sebelumnya menjadi jalur migrasi ikan dari dan menuju laut terblokade atau alami pengurangan debit.
Dalam beberapa kasus, katanya, bendungan mendorong beberapa populasi menuju kepunahan, seperti ikan baiji yang ikonik, atau lumba-lumba Sungai Yangtze , dan salmon Atlantik yang dulu penting secara ekonomi di sebagian besar pantai timur Amerika Serikat.
Di Indonesia, kondisi juga tak lebih baik. Proyek-proyek bendungan yang dibangun pemerintah memunculkan berbagai persoalan dari warga kehilangan tempat hidup (terusir), kerusakan bentang alam, deforestasi, hingga menyebabkan bencana.
Di Jawa Tengah, misal, pembangunan Bendungan Bener, Kabupaten Purworejo mengakibatkan warga kehilangan sumber mata pencaharian, baik di lokasi site bendungan maupun di pengambilan material.
Di Desa Guntur, tempat bendungan itu dibangun, beberapa sumber mata air hilang karena pengerukan lahan untuk bendungan. Pun demikian dengan sumur-sumur warga, tak lagi layak pakai sejak proyek bernilai lebih dari Rp2 triliun itu mulai.
“Air sumur tidak bisa kami pakai lagi karena air keruh, warna agak kekuning-kuningan begitu, “ kata Hafidz, Kepala Dusun Kalipancer, Desa Guntur.
Di Desa Wadas, sekitar tiga kilometer dari Desa Guntur, dampak pembangunan Bendungan Bener lebih parah lagi. Ratusan hektar lahan padat akan vegetasi hilang karena pembukaan lahan untuk penambangan material andesit guna pembangunan bendungan. Padahal, di kebun-kebun itu pula masyarakat menggantungkan hidup.
Sama dengan di Guntur, penambangan material dengan menggunakan dinamit itu berpotensi mengakibatkan matinya sumber-sumber air. Termasuk, juga meningkatkan resistensi banjir karena pembukaan lahan.
Beberapa persoalan ini belum termasuk dampak sosial atau nilai kerugian dari hilangnya tutupan hutan (deforestasi).
Dalam banyak kasus, pembangunan bendungan juga diwarnai dengan perubahan wilayah hutan menjadi non hutan.
Di Kabupaten Trenggalek, misal, sekitar 40 hektar kawasan hutan terbabat habis untuk proyek ini. Bahkan, warga yang tinggal di sekitar terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal tanpa mendapat ganti rugi sepadan.
Gunawan Wibisono, ahli hidrologi asal Universitas Merdeka (Under) Malang mengatakan, perlu kajian matang dalam membangun sebuah bendungan. Terutama, berkaitan dengan dampak air tanah di daerah hilir (downstream).
Menurut Gunawan, salah satu potensi dampak yang kurang mendapat perhatian adalah berkurangnya air tanah di area downstream.
“Karena kan pasokan air ke bawah berkurang setelah dibendung. Maka, potensi dampaknya terganggunya zona perakaran vegetasi yang ada di bawah,” katanya.
Rian Mantasa Salve Practica, kandidat doktor asal Universitas Queensland mengamini pernyataan ini. Dia katakan, bendungan bekerja dengan memblokade aliran air secara alami.
Situasi itu berpotensi mengurangi populasi ikan dalam sebuah ekosistem sungai, bahkan menghilangkannya. Ikan, katanya, tidak dapat kembali bermigrasi ke arah hulu.
“Habitat ikan dan makhluk perairan lain juga tergantung sebagai akibat berkurangnya debit air, “ tulis Rian dalam ulasannya, pada 20 Mei.
Salah satu dampak ini dapat dijumpai pada pembangunan Bendungan Sermo di Kulonprogo, Yogyakarta. Kehadiran bendungan mengganggu habitat sidat di Sungai Ngrancah.
Sayangnya, tidak ada fish way pada bendungan menyebabkan ikan ini kian terancam karena tidak bisa bermigrasi.
Amerika Serikat, bendungan di Sungai Corsica menyebabkan kawasan perairan di sekitar mengalami eutrofikasi alias peningkatan konsentrasi unsur hara, terutama nitrogen dan fosfor, di kawasan perairan.
Eutrofikasi berisiko menyebabkan punahnya spesies akuatik, kehilangan vegetasi, penurunan kualitas air, dan peningkatan hipoksia, yakni rendahnya kandungan oksigen dalam air hingga menyebabkan kematian massal ikan.
Bendungan juga dapat meningkatkan ketinggian muka air di hulu sungai hingga menenggelamkan daerah vegetasi, terutama akar-akar di sekitar. Tanah tergenang air menjadi anoksik, yaitu, kehabisan oksigen terlarut yang dapat merusak akar tumbuhan.
Beberapa tanaman sebenarnya dapat beradaptasi secara sementara untuk mengatasi kurangnya oksigen dalam tanah. Namun, tetap saja, dalam jangka panjang ada beberapa spesies akan berhenti tumbuh dan mati kalau terus tergenang.
Dalam kasus lain, bendungan juga bisa berkontribusi terhadap pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Contoh, proyek Bendungan Tucuruỉ di Sungai Amazon, Amerika Selatan.
Bendungan Tucuruỉ merendam 20 juta kubik kayu yang membutuhkan waktu lama untuk terurai. Dalam proses penguraian ini, katanya, dapat melepaskan gas karbondioksida (CO2) dan metana (CH4) ke atmosfer. Pelapukan kayu juga dapat melepaskan metil merkuri yang beracun bagi ikan-ikan.
Proses dekomposisi material tanah yang tergenang air waduk juga melepaskan nitrogen dan fosfor. Kedua material ini menjadi nutrisi yang meningkatkan pertumbuhan tanaman terapung raksasa seperti kiambang (Salvinia molesta), enceng gondok (Eichhornia crassipes), dan selada air (Pistia stratiotes).
Picu krisis lain
Indonesia berkepentingan untuk mitigasi terkait ancaman krisis air di masa depan tetapi alih-alih mendapat jalan keluar, acapkali solusi yang diambil justru menghadirkan persoalan baru.
Salah satu proyek bendungan yang banyak ditentang dan memantik perhatian global adalah Bendungan Batang Toru untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Proyek ini menuai protes banyak pihak karena berada di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Batang Toru, merupakan habitat orangutan Tapanuli.
Pasopati.id mendefinisikan Batang Toru merupakan ekosistem kaya biodiversitas. Setidaknya ada enam tergolong rentan dan terancam punah, seperti siamang (Symphalangus syndactylus), owa ungko (Hylobates agilis), bersama orangutan Tapanuli menjadikan Batang Toru satu dari sedikit ekosistem di dunia dengan tiga spesies kera bisa hidup berdampingan.
Beruang madu (Helarctos malayanus), tapir (Tapirus indicus), burung kuau raja (Argusianus argus) juga hidup di ekosistem ini. Bahkan, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) pun ada di Batang Toru.
Rere Cristanto, Manajer Kampanye Walhi Nasional mengatakan, masifnya pembangunan bendungan oleh pemerintah tidak akan mengatasi ancaman krisis air di masa depan. “Itu bukan solusi. Yang terjadi justru picu krisis baru di banyak tempat,” katanya.
Rere mengatakan, satu penyebab utama krisis air adalah kehilangan hutan seperti untuk industri ekstraktif termasuk perkebunan monokultur. Hutan, sebagai kawasan penting, kehilangan peran sebagai pengatur siklus hidrologi.
“Kalau sumber krisis tidak diatasi, ya percuma.”
Sayangnya, kata Rere, pemerintah tidak pernah terbuka dan menjelaskan ke publik apa yang menyebabkan krisis air terjadi.
“Semua tahu bahwa alih fungsi lahan, deforestasi menyebabkan sistem hidrologi terganggu. Tetapi, pernah tidak pemerintah mengakui itu dan menjelaskannya mengapa krisis itu terjadi?“
Yang terjadi, katanya, justru sebaliknya. Tanpa memberi banyak penjelasan, pemerintah sekonyong-konyong membuat daftar proyek bendungan.
Celakanya lagi, proyek-proyek ini dibangun tepat di wilayah-wilayah yang secara ekologi memiliki peran penting, seperti di Batang Toru, Sumatera Utara. “Artinya, pemerintah hanya menawarkan solusi palsu karena tidak menyentuh akar persoalan.”
*****