- Air dan subak menjadi bagian yang tak terpisahkan di Bali. Tetapi Bali menghadapi makin banyak masalah terkait upaya pelestarian air dan subak. Air hilang, subak pun punah.
- Wisatawan lebih mengenal Jatiluwih sebagai obyek wisata lanskap terasering dibanding sebagai situs warisan budaya dunia (WBD) yang telah ditetapkan UNESCO untuk pelestarian sistem subak sebagai manifestasi filsafat Tri Hita Karana.
- Sejumlah tokoh dan akademisi minta penyelamatan subak dengan penghentian pariwisata massal di kawasan persawahan untuk mengurangi alih fungsi dan menjaga sumber air, juga menghapus pajak petani.
- Ketika air makin terkomersialisasi, akankah konsepsi dan ritual air hanya menyisakan cerita?
Sungai Yeh Baat di Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali mengalir deras. Sungai ini masih berlekuk sesuai kontur alam dan berbatu sebesar manusia bertebaran di sepanjang sungai. Sekelompok warga pun datang untuk menyucikan diri dan mengambil tirtha suci di lokasi pancuran di pinggir sungai pada akhir April lalu sebelum dihelat World Water Forum di Nusa Dua, Bali.
Di sekitarnya, di bagian hulu ada bebukitan dengan pepohonan lebat dan di kakinya hamparan sawah dalam petak-petak kecil. Lansekap yang memanjakan mata dan jiwa.
Namun, lansekap ini mulai rentan. Satu kompleks villa dibangun di antara sawah, mengarah ke sungai, memunggungi bukit. Salah satu unit villa mengubur dua warga asing yang sedang menginap pada Kamis (14/3/2024) dini hari. Jenazahnya baru ditemukan pagi hari. Saat itu hujan deras, sebuah saluran irigasi diduga rusak dan mengarah ke villa.
Villa ini tak sendiri di kawasan warisan budaya dunia (WBD) Caturangga Batukaru, kawasan yang jadi warisan budaya dunia UNESCO. Ada sejumlah akomodasi dan restoran lain di area yang harusnya tidak terbangun ini. Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali menyatakan ini kawasan rawan bencana longsor atau zona merah. Namun, Jatiluwih, sebutan populer kawasan persawahan ini makin digenjot untuk wisatawan massal, tak heran berdampak pada alih fungsi lahan.
Asisten Manajer 2 Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih, Gede Made Alitoya Winaya mengatakan lokasi longsor berada dalam kawasan WBD. Namun aset tanah milik pribadi. Terkait peruntukan tata ruang, ia mengaku tidak bisa berkomentar karena bukan otoritasnya.
Untuk tindak lanjut, ia berharap ada imbauan soal kerawanan bencana. Sementara dari sisi pengelola DTW, ia berharap setiap pengelola properti wisata memastikan tertib administrasi seperti tamunya terdaftar lengkap dengan identitasnya. “Tiap pengunjung yang ke DTW, dikenakan tiket masuk, sudah termasuk asuransi selama menginap kalau ada sesuatu klaim asuransi lebih mudah,” ujarnya.
Pengelola menerapkan harga tiket masuk ke kawasan WBD, untuk WNA Rp50 ribu, Sementara domestik Rp15 ribu. Terkait pengaturan tata ruang dan hasil evaluasi UNESCO, Alit tidak bisa berkomentar karena otoritas pengelola banyak. Menjadi bagian dari WBD, diakui meningkatkan kunjungan kawasan Jatiluwih. Terkait pembangunan fisik, ia mengakui memang ada namun ini tanggung jawab bersama karena DTW dikelola antara pemerintah kabupaten, desa adat yang mewilayahi lanskap yakni Gunung Sari dan Jatiluwih, dan kelompok subak.
Baca : Beginilah Nasib Subak di Bali
Masalah Air di Pusat Budaya Subak
Situs WBD UNESCO ini nama resminya Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak Sebagai Manifestasi Filsafat Tri Hita Karana. Tak banyak yang mengenal Caturangga Batukaru, yang terkenal adalah istilah objek wisata Jatiluwih, berupa terasering lanskap persawahan.
Jatiluwih hanya salah satu dari WBD yang ditetapkan UNESCO pada 2012. Daftar lengkapnya terdiri dari Kawasan Pura Ulun Danu Batur 1,4 Ha (Bangli), kawasan pendukungnya 31 Ha, Danau Batur (Bangli) 1600 Ha, Lanskap Subak dan DAS Pakerisan 529 Ha (Gianyar), Lanskap Subak Catur Angga Batukaru (Tabanan) lebih dari 17.300 Ha, dan Pura Taman Ayun (Badung) 6,9 Ha. Jatiluwih termasuk di Subak Catur Angga Batukaru, kawasan terluas.
Hal menarik, pengelola kawasan membangun sebuah wantilan permanen di tengah sawah untuk menyambut delegasi World Water Forum (WWF) ke-10 yang dihelat di Bali pada 18-23 Mei 2024 ini. Sementara di samping wantilan, ada petak sawah yang diisi pagar oleh petaninya agar turis tidak bisa masuk.
Gede Wayan Edi dari Subak Telabah mengatakan turis tidak boleh masuk areal sawah karena sering merusak dengan mengambil tanaman padi di sawahnya, sehingga ia memasang pagar di pematang dan areal sawahnya. “Tamu sering jatuh menyusuri pematang karena mereka susah jalan di sawah. Tamu juga sering merusak tanaman padi, misal memotongnya. Saya sering minta ganti rugi ke pengelola,” tuturnya.
Lahannya persis di dekat titik pusat untuk foto-foto dengan signage Jatiluwih. Bahkan sebagian lahannya yang disewakan dan dialih fungsikan jadi wantilan penyambutan delegasi WWF itu.
Sebagai petani, menurutnya hal paling penting adalah bantuan pupuk untuk subak. “Sebagai petani di sini harusnya lebih sejahtera tapi saya mengurus saluran irigasi rusak sendiri,” ujarnya. Ia tidak menjual hasil panen karena habis dikonsumsi sendiri. Dari sekitar 2 ton gabah, hanya 8 kuintal jadi padi basah. Tiap panen langsung masuk lumbung kalau padi Bali.
Biaya pertanian menurutnya besar mulai dari merabas ilalang sampai panen bisa habis Rp4 juta selama enam bulan. Untuk penghasilan tambahan ia mengandalkan hasil kebun atau tegalan. Terkait alih fungsi, Wayan Edi tidak bisa banyak berkomentar karena ia tidak mengandalkan hidup dari turis. Ia hanya ingin kemudahan pupuk dan saluran irigasi terjaga.
Demikianlah tradisi air yang menjadi bagian penting dari sistem subak, pengairan tradisional Bali. Gugusan hutan, bebukitan, dan sungai menjadi satu kesatuan hulu hilir. Jika salah satu bagian rusak, maka akibatnya fatal.
Baca juga : Nasib Jatiluwih setelah Menjadi Warisan Budaya Dunia [1]
Hal ini pun terjadi di persawahan perkotaan. Salah satu kawasan persawahan tersisa di Kota Denpasar adalah Subak Sembung di Denpasar Utara. Sejumlah petak sawah di hilir di wilayah paling selatan sedang tidak bisa ditanami padi karena saluran irigasi dalam perbaikan. Air harus dibagi. Dampaknya, ada sawah yang tidak bisa dialiri air karena jumlahnya terbatas.
Petak-petak sawah ini nampak mengering, sedangkan di sisi lain padi sudah meninggi. Demikianlah keunikan subak. Harus ada yang berkorban untuk petani lain ketika pasokan air sedikit. Saluran irigasi yang sudah terbagi-bagi memudahkan pengalihan aliran air ke kawasan yang membutuhkan.
Saat ada kunjungan sejumlah peneliti dari sebuah kampus di Amsterdam, Belanda, pada 20 Mei 2024, para pemimpin subak ikut dalam diskusi untuk memetakan masalahnya. Petugas pengatur air di bendungan Mambal mengatakan pertanian dan air bagian dari religi, ia berharap pemerintah melindungi jalur hijau. “Tanpa subak, kelaparan akan terjadi,” sebutnya.
Pekaseh atau pemimpin subak, I Made Darayasa menjelaskan struktur pengurus dan fungsi sosial religi subak. Dari struktur subak terdiri dari pekaseh, sekretaris, bendahara, dan pangliman dengan tugas urusan administrasi dengan pemerintah, serta kelian (ketua) munduk berjumlah 8 bagian. Luas Subak Sembung saat ini menyusut jadi 103 ha dengan 170 petani. “Tantangan utamanya, kepastian air, ini pokok bagi petani. Kedua, perbaikan irigasi,” jelasnya tentang begitu sentralnya air dan tradisi subak.
Nyoman Sukanaya dari Dinas Pekerjaan Umum Pemkot Denpasar juga berharap para petani bertahan di tengah gempuran alih fungsi lahan. Sistem pengairan dari saluran irigasi Mambal panjangnya sekitar 17 km (bendung) menuju subak. Air yang digunakan mengairi pertanian juga tidak langsung ke laut, namun digunakan oleh subak lain. Menjaga saluran air ini tak mudah karena alih fungsi lahan dan cemaran sampah.
Masa Depan Subak dan Krisis Air di Bali
Begitu bernilainya air mendorong banyak kepentingan baru. Konflik air mulai makin banyak hadir di Bali. Makin banyak desa yang membuat usaha air kemasan, ketika masih ada yang kesulitan akses air.
Jro Penyarikan Beduran Batur, I Ketut Eriada Ariana, salah satu tokoh agama muda yang aktif bicara krisis air berbicara di forum World Water Forum. Ia memberikan pernyataan menggugah untuk masa depan Bali. Lontar Rajapura Batur menyatakan pengelolaan air harus kolektif dan berbasis solidaritas. Pengelolaan air inilah disebut kebudayaan air. Dikutip dari akun Info Batur, ia mengatakan petani tidak boleh melarat, hapuskan pajak untuk melestarikan subak.
“Mendiang Prof Windia mengingatkan pembabatan hulu, hutan Jembrana, Tabanan, dan Bangli. Habis pohonnya. Alih fungsi lahan tak bisa dibendung ketika lahan pertanian berubah jadi hotel dan villa. Ketika subak diakui jadi WBD, saya kok merasa ini kanibalisme, karena banyak villa yang dibangun di kawasan. Ini harus dikoreksi kita bersama,” kritik Jro yang juga akademisi dan penekun sastra Jawa Kuno ini.
Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendibukristek yang berada dalam satu forum dengan Jro membahas subak juga menyayangkan model pariwisata yang menggenjot jumlah ke kawasan subak karena lebih baik dijadikan kawasan terlindungi atau sakral. “Agar kawasan hulu ini terjaga, memberi dampak pada kawasan hilirnya. Namun tetap terjaga,” sebutnya. Karena menurutnya subak adalah perwujudan seni dan budaya yang hebat di zaman modern ini. Tak hanya berupa lanskapnya juga struktur sosialnya.
Baca juga : Subak, Situs Warisan Budaya yang Saat Ini Terancam
Filosofi Air
Astono Chandra Dana, Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat pada kesempatan berbeda dalam diskusi oleh People’s Water Forum memaparkan konsepsi air oleh umat Hindu. Alam semesta sebagai Bhuana Agung, manusia sebagai Bhuana Alit. Apa yang dalam manusia ada unsur Bhuana Agung. Tubuh manusia berasal dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta, pembentuk alam semesta. Pertiwi (tanah/bumi), Apah (cair), Teja (zat padat), Bayu (udara), dan Akasa (ruang/ether).
Unsur air sangat vital, karena menyebabkan terbentuknya bumi dan isinya. Manfaat air menurut kitab suci Weda di antaranya air sebagai penyembuhan seperti dalam bentuk tirta atau air suci yang dimantrai. Air dipuja dan disucikan, direkomendasikan sebagai sarana paling efektif untuk penyembuhan.
Berikutnya air sebagai simbol kesuburan. Umat Hindu meyakini air perwujudan Dewa Wisnu, manifestasi Tuhan yang menjadi pemelihara dunia. Saktinya Dewa Wisnu adalah Dewi Sri, dalam kehidupan sehari-hari dianalogikan sebagai padi. Karena itu kelompok sistem subak, pengairan tradisional di Bali, air disucikan dalam banyak cara seperti mendak toya, minta izin menggunakan air sebelum mulai bertani.
Setiap hulu mata air, umumnya dibangun tempat pemujaan seperti pura, Bale Basarah (Hindu Kaharingan), karena fungsinya tersebut. Secara simbolik menjadi tempat sakral agar sumber air terjaga. Sumber mata air ini biasanya alami, tidak digali. Tapi kini ada yang sudah menggalinya seperti sumur.
Sedangkan air sebagai keabadian, termaktub dalam kisah Tirtha Amertha. Diceritkan Gunung Mahameru dililit binatang mitologi yang menjaga sumber air, Naga Taksaka dan Naga Basuki dan sejumlah dewa dan asura mengaduk gunung untuk mendapatkan air suci ini karena diyakini mendatangkan keabadian. Air inilah diletakkan di puncak gunung untuk mengalir ke hilir. Banyak perusahaan besar air minum mencari atau eksplorasi air ke kawasan pegunungan karena kaya mineral.
Air sebagai siklus, dalam mitologi Manik Angkeran berupa ekor naga di puncak gunung, kepalanya di hilir atau sungai, laut. Refleksinya, saluran siklus air ini harus dijaga kebersihan dan alurnya agar air ini memberikan kesejahteraan. Jika rusak akan memberi bencana.
Terakhir air sebagai sumber pelestarian. Dua sumber air seperti permukaan dan bawah tanah menjasi sumberdaya alam sangat penting.
Baca juga : Subak, Warisan Budaya Ribuan Tahun, dan Tantangan Pelestarian ke Depan
Kondisi sumber air saat ini menurutnya masih ada yang terjaga keasriannya, namun ada yang rusak. Walau ada ritual Danu dan Segara Kertih, proses penyucian sumber air seperti danau dan sungai. Prosesi lain adalah Wana Kertih, menjaga hutan agar sumber air terjaga. “Tapi makin banyak kegiatan merusak hutan sehingga makin banyak bencana longsor dan banjir,” ujarnya.
Beragama tak hanya kepentingan diri sendiri tapi keberlangsungan alam semesta. Dari sinilah muncuk konsepsi Tri Hita Karana, tiga penyebab keseimbangan alam. Terdiri dari menjaga hubungan antar manusia (Pawongan), manusia dengan Tuhan (Parahyangan), dan manusia dengan alam (Palemahan).
Di Bali, Astono melanjutkan, krisis air terjadi karena kekurangan air baku, terutama di kawasan selatan Pulau Bali. Salah satunya karena eksplorasi oleh industri pariwisata. Ada juga yang sudah tercemar bakteri Escherichia coli, dan terhambatnya pasokan air dari PDAM yang mulai menggunakan air bawah tanah. (***)
Hancurnya Air Suci Kami, Kiamat bagi Ritual Keagamaan Indonesia?