Kelestarian Sumber Air dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis

kelestarian-sumber-air-dalam-bayang-bayang-bencana-ekologis
Kelestarian Sumber Air dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis
service
Share

Share This Post

or copy the link
  • Curah hujan yang tinggi dan cuaca ekstrem sering dikambinghitamkan sebagai penyebab bencana alam yang makin sering terjadi di Indonesia
  • Bencana alam yang makin sering terjadi, disebabkan karena krisis lingkungan atau krisis ekologi sebagai akumulasi pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang tidak sesuai aturan dan kaidah alamiah, seperti alih fungsi lahan dan pembalakan liar
  • Data KLHK menyebutkan dalam kurun waktu 27 tahun 1990 hingga 2017 terjadi penurunan vegetasi di Pulau Jawa sebesar 156.761 hektare karena berbagai sebab menyebabkan meluasnya lahan kritis dan terjadinya bencana seperti banjir
  • Perlu evaluasi dan perbaikan menyeluruh untuk mengatasi permasalahan air sebagai mitigasi banjir, seperti perbaikan kawasan hutan dan hulu, pembuatan sarana penampungan air seperti embung dan sumur resapan

Barangkali tidak banyak yang menyadari, pentingnya keberadaan air di muka bumi seperti dua sisi mata uang. Secara alamiah, air berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Tetapi bila tidak dikelola dengan baik dan benar, maka air berpotensi sebagai bencana.

Seperti banjir lahar hujan dan tanah longsor atau galado yang menerjang enam kabupaten dan kota di Sumatera Barat pada Sabtu (11/5/24) dan Minggu (12/5/24) lalu. Data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Kamis (16/05/2024) tercatat  67 orang meninggal dunia, 20 orang hilang dan masih dalam pencarian, 989 KK terdampak, dan 40 orang mengalami luka-luka.

Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan bencana-bencana alam yang terjadi di Sumbar ini merupakan akumulasi dari ketidakadilan mengelola sumber daya alam yang membuat krisis lingkungan atau krisis ekologi.

“Tidak bisa kita lihat dari kejadian hari ini saja. Kita harus melihat dari tahun-tahun sebelumnya yang kemudian terakumulasi,” katanya.

Dia mencontohkan adanya permasalahan pembalakan liar di wilayah seputar Gunung Marapi yang diakui oleh gubernur Sumbar dan Dinas Kehutanan Pemprov Sumbar.  Juga ada kesalahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Sumbar yang seharusnya menjadi instrumen legal menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup. “Termasuk sekaligus mitigasi bencana di Sumatera Barat. Jangan sampai RTRW dibahas dan diubah untuk memenuhi permintaan kebutuhan investor,” katanya.

Hal penting lagi, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), hingga bisa mempertimbangkan dan menentukan sektor yang boleh dan tidak untuk dieksploitasi. “Mempertimbangkan daya dukung, daya tampung lingkungan termasuk mana yang penyangga, konservasi, lindung dan mana yang bisa untuk pertanian pangan berkelanjutan dan lain-lain.”

Baca : Cerita Warga Terdampak Banjir dan Longsor Sumbar, Bagaimana Cegah Bencana Tak Berulang?

Kayu-kayu besar yang terbawa arus banjir bandang dari Gunung Marapi, Sumbar yang terjadi Sabtu malam, (11/5/2024). Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

Sedangkan Eko Teguh Paripurno, Pakar Kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta tidak sependapat bila bencana alam yang makin sering terjadi disebabkan hanya karena hujan lebat dan cuaca ekstrem seperti yang tudingan beberapa pihak.

Ia berpandangan, banjir lahar hujan atau galado yang melanda wilayah Sumbar tersebut bukan semata-mata hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi yang membuat material vulkanik meluncur ke pemukiman maupun lahan-lahan pertanian warga.

Namun, ada indikasi bahwa tata kelola lingkungan di bagian hulu tidak bagus. Sebab, material-material yang meluncur ke bawah bukan hanya vulkanik saja melainkan ada material-material lain yang mengikuti.

“Sehingga hujan serta merta mengalir dipermukaan, tidak menyerap sama sekali. Itu menjadi penyebab yang tidak dipertimbangkan,” katanya kepada Mongabay, minggu lalu.

Alami Kemerosotan

Bukan hanya di Sumbar, Eko juga menyoroti banjir yang melanda Semarang, Demak, Kudus di Jawa Tengah belum lama ini. Menurutnya, curah hujan bukanlah penyebab tunggal terjadinya banjir, akan tetapi karena kondisi kualitas tanggul di beberapa sungai sudah banyak yang memburuk. Begitupun dengan sendimentasi sungai yang dangkal.

Selain itu, Eko juga menyayangkan beralihfungsinya tempat-tempat yang semula sebagai jalur air berubah menjadi pemukiman.

Lebih dari itu, kawasan-kawasan yang mestinya menjadi daerah resapan air limpasan banjir kondisinya kini juga sudah banyak yang berubah fungsinya, terutama di Pulau Jawa. Karena itu, sebagai tempat terpadat di Indonesia dan pulau terluas ke-13 di dunia ini, menurutnya, Jawa menjadi kawasan yang paling rentan banjir.

“Jadi, bagian hulunya tidak mampu menyimpan hujan secara alamiah karena hutannya tidak ada, perangkat-perangkat peredam air seperti embung, sumur resapan di hulu juga tidak memadai,” imbuhnya. Bukan hanya meningkatkan frekuensi bencana banjir, bencana ekologis yang kerapkali terjadi juga mengancam kelestarian sumber daya air.

Baca juga : Banjir Demak, Alih Fungsi Lahan dan Hilangnya Selat Muria

Kondisi perbukitan yang kritis terhadap tegakan pohon yang membuat area di bawahnya rawan banjir, longsor dan media pengaturan tata air, termasuk sumber mata air jadi menurun. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Apa yang diungkapkan Eko bukanlah bualan semata, bila merujuk pada data statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dalam kurun waktu 27 tahun 1990 hingga 2017 terjadi penurunan vegetasi di Pulau Jawa sebesar 156.761 hektare.

Adapun penurunan terbesar terjadi pada luasan hutan dan semak belukar. Sedangkan laju penurunan luas tutupan vegetasi tersebut diiringi dengan peningkatan aktivitas manusia dalam pembangunan pemukiman, kawasan tambak dan lahan pertanian lahan kering sebanyak 773.313 hektare.

Pemanfaatan lahan yang melampaui daya dukung dan daya tampung tersebut menyebabkan luasan lahan kritis atau lahan tidak produktif di Jawa sendiri menunjukkan nilai yang mencengangkan, pada 2018 angkanya mencapai 2.128.680 hektare.

Perubahan penggunaan lahan yang bertutupan vegetasi menjadi penggunaan lahan lain yang terjadi secara terus menerus dengan metode pengelolaan yang kurang tepat akan mempercepat laju penurunan kualitas lahan.

Kesuburan baik secara fisika, kimia maupun biologi akan mengalami kemerosotan, begitupun sebagai media pengaturan tata air.

Mulai Mendata

Hilangnya vegetasi akibat tata kelola yang tidak bagus di hulu maupun di hilir yang menyebabkan banjir dan media pengaturan tata air, termasuk sumber mata air jadi menurun, menjadi perhatian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Medrilzam, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas, usai konferensi pers di Pusat Informasi PBB (UNIC), beberapa waktu lalu di Jakarta mengatakan, Bappenas menaruh perhatian tentang isu sumber mata air ini dengan menjadikan region output priority.

Pihaknya bersama pemangku kepentingan terkait akan mengidentifikasi sumber-sumber air di Indonesia, terutama mata air yang eksisting baik dari sisi jumlah maupun debitnya.

Baca juga : Ancaman Tenggelamnya Wilayah di Pesisir Utara Jawa Tengah Makin Nyata?

Selain intensitas curah hujan yang tinggi. Pasangnya air laut juga menjadi pemicu terjadinya banjir di Gresik. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Dia bilang, untuk yang di Jawa, KLHK dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sudah mulai mendata. Hanya sebagian besar yang terpetakan baru di Pulau Jawa.

“Karena kita tahu untuk air ini di Jawa yang paling kritis. Tapi dari itu saja sudah mulai terdeketksi bahwa mata air kita sudah mulai hilang, sebagian sudah berkurang debitnya,” ujar Medrilzam tanpa membeberkan data wilayah Jawa bagian mana yang paling kritis.

Menurut Eko Teguh Paripurno, untuk mengatasi permasalahan itu, perlunya perbaikan di kawasan hulu maupun daerah aliran sungai. Perbaikan dilakukan tidak hanya dengan memperbaiki vegetasi, tetapi juga dengan pembuatan sumur resapan, atau membuat embung di bagian hulu.

Selain sebagai tempat resapan air, embung juga bisa memancing sumber mata air keluar. Bila tidak ada intervensi di hulu dikhawatirkan mata airnya bisa kering, dan bahkan hilang.

“Nenek moyang kita sudah punya sistem manajemen air hujan, tetapi sudah ditinggalkan, yaitu menangkap air hujan sebanyak-banyaknya. Menyimpan selama-lamanya. Menggunakan secukupnya. Mengalirkan sedikit-dikitnya. Sehingga air itu akan tersimpan di dalam tanah,” tandasnya. (***)

Bencana Terus Meningkat, Bagaimana Upaya Mitigasi dan Adaptasi?

Artikel yang diterbitkan oleh

, , , , , , , , , , ,

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Kelestarian Sumber Air dalam Bayang-bayang Bencana Ekologis

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin