“Tetapi dari sisi yang lain, kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar … maka pendanaan pemerintah lebih difokuskan untuk membantu program pendidikan wajib belajar sembilan tahun … pemerintah masih memerlukan bantuan dana untuk bergotong royong memajukan Indonesia melalui penghasilan sumber daya manusia unggul dari perguruan tinggi. Mau tidak mau diperlukan peran serta masyarakat.”
- Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie, di Kantor Kemendikbud Ristek, Jakarta Selatan, pada 15 Mei 2024.
Tjitjik menyebutkan bahwa pendidikan tinggi bukanlah wajib belajar sehingga pemerintah memerlukan bantuan dari masyarakat dalam bentuk dana. Benarkah klaim Tjitjik tersebut?
Untuk memeriksa kebenarannya, The Conversation Indonesia berkolaborasi dengan Andi Hasdiansyah, dosen Ilmu Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Parepare dan Nur Azizah, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Yogyakarta.
Benar, tetapi tidak akurat
Menurut Andi, pernyataan tentang pendidikan tinggi adalah tersiery education tidak pas. Sampai saat ini, tidak ada aturan terkait status pendidikan tinggi sebagai tersiery education. Bahkan, Abdul Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia adalah kebutuhan publik, karena itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus hadir dan harus banyak.
Andi menegaskan, meletakkan pendidikan tinggi dalam posisi tersier adalah salah kaprah mengingat bahwa salah satu tujuan negara ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika negara hanya bertanggung jawab hingga 13 tahun (setara SD sampai SMP), maka bagaimana kita menghadapi tantangan dan perubahan ke depan?
Salah kaprah istilah
Senada dengan Andi, Nur menjelaskan bahwa makna tersier yang mengikuti kata pendidikan merujuk kepada istilah tertiary education yang tentu maknanya berbeda dengan tersier yang mengikuti kata kebutuhan atau tertiary needs (kebutuhan tersier).
Kata ‘tertiary’ pada ‘education’ bermakna education at the college or university level (pendidikan pada tingkat perguruan tinggi atau universitas), sedangkan ‘tertiary needs’ bermakna fulfilling luxury goods with the aim of fulfilling personal pleasure (pemenuhan barang mewah dengan tujuan memenuhi kesenangan pribadi).
Nur menambahkan, dalam hierarki pendidikan di Indonesia, pendidikan tinggi memang merupakan jenjang paling tinggi. Meski demikian, pendidikan tersier tidak sama artinya dengan pendidikan mewah. Sebaliknya, kebutuhan tersier tidak bisa dikaitkan dengan pendidikan tinggi.
Bagaimana seharusnya kontribusi masyarakat?
Jenjang pendidikan di Indonesia dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Pemerintah menetapkan pendidikan dasar (prasekolah hingga sekolah menengah pertama (SMP) dan menengah (SMA) sebagai program wajib belajar 13 tahun, yaitu program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Sedangkan jenjang pendidikan lainnya, termasuk pendidikan tinggi merupakan pendidikan opsional.
Pemerintah sendiri memang belum sepenuhnya bisa membiayai pendidikan tinggi. Hanya sekitar 15% anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Hal ini tentu saja berdampak pada perlunya kontribusi masyarakat dalam membiayai pendidikan tinggi. Jenis kontribusi—seperti iuran pengembangan institusi dan uang kuliah tunggal dan besarannya—tergantung kepada status dari perguruan tinggi negeri.
Karena pemerintah belum bisa mendanai pendidikan tinggi sepenuhnya, maka perlu dipastikan aksesibilitas bagi masyarakat dengan status ekonomi sosial rendah agar mereka tetap bisa berpartisipasi dalam pendidikan tinggi.
Bantuan pendidikan melalui skema beasiswa perlu diperbanyak dan tentu saja kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT)—sistem pembayaran biaya kuliah yang didasarkan pada kemampuan ekonomi calon mahasiswa atau keluarganya)—juga perlu diimbangi dengan kualitas sarana prasarana dan pembelajaran.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).