- Pertambangan menimbulkan daya rusak multi dimensi, dari kerusakan lingkungan–penghancuran hutan/deforestasi, maupun pencemaran darat, laut dan udara–, persoalan sosial—konflik agraria, hubungan sosial antar warga rusak–, dampak ekonomi sampai kesehatan masyarakat terganggu.
- Tragedi lumpur panas dari perusahaan tambang PT Lapindo Brantas, di Sidoarjo, Jawa Timur, 18 tahun silam, jadi titik awal pengetahuan masyarakat tentang daya rusak industri ekstraktif pertambangan dan awal perayaan Hari Anti Tambang (HATAM) tiap 29 Mei.
- Moh. Taufik, Koordinator Jaringan Anti Tambang Sulawesi Tengah (Jatam Sulteng) mengatakan, berbagi cerita antara warga dari berbagai daerah korban tambang maupun industri dan proyek ekstraktif adalah bagian dari penguatan.
- Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional adalah bagian terpenting dari upaya penolakan dan perlawanan. Kasus di Halmahera Timur, misal, menarik karena seluruh elemen masyarakat bersatu menyelamatkan yang tersisa dari serbuan izin tambang nikel. Dari penuturan para perempuan terlihat, sumber pangan dan air bersih jadi dasar utama penolakan mereka.
Pertambangan menimbulkan daya rusak multi dimensi, dari kerusakan lingkungan–penghancuran hutan/deforestasi, maupun pencemaran darat, laut dan udara–, persoalan sosial—konflik agraria, hubungan sosial antar warga rusak–, dampak ekonomi sampai kesehatan masyarakat terganggu. Tiap 29 Mei pun Indonesia peringati sebagai Hari Anti Tambang (HATAM).
Lumpur panas dari perusahaan tambang PT Lapindo Brantas, di Sidoarjo, Jawa Timur, 18 tahun silam, jadi titik awal pengetahuan masyarakat tentang daya rusak industri ekstraktif pertambangan. Dari tragedi itu, belasan desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ‘hilang’ tertelan semburan lumpur panas Lapindo. Hingga kini semburan masih terjadi, luas genangan melebar. Masyarakat kehilangan kampung, ruang hidup, sampai kesehatan terancam.
Di Halmahera, Maluku Utara, ruang hidup masyarakat dari hutan, kebun, lahan pertanian sampai laut tempat mereka mencari ikan terdampak setelah pertambangan nikel dan industrinya masif.
Tak itu saja, di berbagai daerah, pertambangan membawa duka bagi masyarakat dan lingkungan. Pembangunan Ibukota Negara (IKN) Nusantara pun berbuntut masalah bagi daerah ‘penunjang’ seperti di Sulawesi Tengah, tempat galian material untuk ‘proyek stategis nasional’ itu.
Dalam Hari Anti Tambang (HATAM) yang koalisi masyarakat sipil dimotori Jatam, selenggarakan terpusat di Palu, Sulawesi Tengah, 26-31 Mei ini, mendengarkan cerita dari masyarakat dari berbagai daerah yang hidup dan terdampak pertambangan. Rangkaian agenda HATAM juga ada pameran foto, diskusi, workshop hukum, roadshow kampus,performance art, aksi massa sampai kunjungan lapangan. Pada Rabu, 29 Mei, massa aksi HATAM memenuhi depan DPRD Sulteng dengan membawa berbagai atribut aksi dari spanduk, poster sampai aksi teatrikal.
Sirajan Ade, dari Halmahera Timur, Maluku Utara, mengatakan, kondisi di daerahnya mirip terjadi di Pulau Sulawesi.
Perampasan lahan jadi hal umum. Perusahaan pertambangan banyak di wilayah yang terdiri dari 10 kecamatan dengan luas daratan 6.506,19 km2 dan lautan 7.695,82 km2 ini.
“[PT] Aneka Tambang menjadi pemegang izin dominan di wilayah ini. tapi kesini-kesini (belakangan ini) swasta biar kecil juga menjadi pemain dan banyak,” kata Ade, dalam diskusi peringatan HATAM di Palu.
Di kampungnya, kini tak ada lagi perkebunan warga karena sudah jadi pertambangan.
Kini, mereka berusaha melindungi ruang tersisa dengan meminta pemerintah daerah melarang dan atau tak memberikan izin berbagai aktivitas di hutan lindung sesuai peraturan Kabupaten Halmahera Timur.
Ruang tersisa adalah hutan lindung yang berfungsi sebagai penyangga dan sumber air bersih bagi warga. Buruh tambang, masyarakat, petani dan nelayan bersatu untuk meyelamatkan yang tersisa.
Mirip dengan Halmahera Timur, di Morowali, Sulawesi Tengah, setidaknya ada tujuh perusahaan gamping merampas ruang hidup warga Laroue di Kecamatan Bungku Timur, Morowali.
Menurut Fauzan, desanya kini tak sama lagi. Perusahaan ekstraksi pertambangan gamping ini, dia sebut untuk memasok batu gamping ke PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Penolakan warga tak terbendung. Warga menyadari kehancuran lingkungan dari potret industri nikel Morowali akan terjadi kalau perusahaan masuk dan beroperasi di desa mereka.
Warga Laroue, mayoritas petani dan nelayan khawatir kerusakan hutan dan lahan yang jadi sumber kehidupan ketika mereka kalau tambang beroperasi.
Lain Lagi dengan Pandi. Mantan Ketua RT Sepaku, Penajam Utara yang memilih mundur dari jabatan. Dia tak ingin memberi ruang bagi oknum pemerintah mengambil tanah mereka demi kepentingan pembangunan taman untuk IKN yang letaknya sangat dekat dengan pemukiman Masyarakat Suku Balik, Kalimantan Timur.
“Kami punya ruang ekonomi salah satunya Goha, walet alami yang hidup dan bersarang di tebing-tebing tinggi. Sekarang sudah sekarat. Hasilnya menurun,” kata Pandi.
Pembangunan IKN dan kebisingan bisa jadi satu penyebab walet tak lagi bersarang di area itu.
Perempuan melawan
Para perempuan gigih berjuang melawan industri ekstraktif yang menghancurkan kehidupan masyarakat dari lahan pangan sampai sumber lain. Di Desa Torobulu, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, misal, para perempuan jadi garda terdepan yang berjuang menolak pertambangan nikel di wilayahnya.
Ayu, warga Torobulu mengatakan, desanya, bagian timur sudah dikuasai pertambangan. Kini, perusahaan merangsek ke bagian barat desa yang jadi sumber air bersih warga.
“Desa kami desa pesisir. Di timur sudah selesai, sekarang mereka (perusahaan) ke barat. Sumber air kami pun turut ditambang. Tamat riwayat kami jika tak melawan.”
Warga penolak tambang jadi terperiksa, dua sudah jadi tersangka.
Setali tiga uang di Dairi, kabupaten di bagian barat laut Sumatera Utara ini pun jadi sasaran pertambangan.
Hermin Lumban Batu, Inang asal Desa Lae Markelang, Dairi, mengatakan, berupaya mempertahankan hutan lindung di wilayah mereka bagian dari upaya melindung yang tersisa dari serbuan tambang timah hitam.
Warga sembilan dusun yang bernaung di Lae Markelang pun, menguatkan diri dengan informasi dan pengetahuan tapal batas hutan lindung yang menjadi incaran.
Di hutan lindung itu, katanya, adalah kampung tua pendahulu mereka dan mengikat ketetapan itu dengan upacara keadatan.
“Baru-baru ini, ada oknum pemerintah datang dan patok-patok hutan lindung itu, maka kami sembilan dusun ini mau kumpul dan membuat batas-batas hutan adat mereka [agar tak dipatok pemerintah].”
Devi Sianipar, pendamping warga Dairi mengatakan, pertambangan di Dairi berupa berupa timah hitam dan seng.
Ada lima desa di ring satu konsesi tambang. Beberapa desa terdampak kebocoran limbah pada 2012. Pada 2018, katanya, terjadi banjir bandang yang mengakibatkan kerusakan lahan pertanian.
Ada desa, Bongkaras, dulu terkenal sebagai penghasil beras tetapi kini tak lagi ada.
Hidayah, perempuan asal Buluri, Kecamatan Ulujadi, Sulawesi Tengah juga terus protes debu ke pemerintah karena tambang galian C tepat di depan rumahnya.
Dia tak menampik, ada uang debu Rp200.000 per bulan perusahaan berikan kepada warga sekitar tambang.
Nilai itu, katanya, tidak menjamin kesehatan warga justru sebaliknya, menimbulkan dampak buruk bagi ribuan warga di tiga kelurahan, yaitu, Tipo, Buluri dan Watusampu.
Hidayah mau solusi nyata dari pemerintah dan tindakan tegas kepada perusahaan yang menyebabkan polusi.
“Disemprot air itu jalan waktu ada orang dinas datang tapi cuma di jalan,” katanya.
Partikel halus dari gilingan batu jadi makanan sehari-hari Hidayah dan warga di tiga kelurahan bahkan pengguna jalan poros Palu-Donggala.
“Kami sudah teriak-teriak dan rame, baru datang itu orang DLH [Dinas Lingkungan Hidup] suruh kasih berenti mesin.”
Moh. Taufik, Koordinator Jaringan Anti Tambang Sulawesi Tengah (Jatam Sulteng) mengatakan, berbagi cerita antara warga dari berbagai daerah korban tambang maupun industri dan proyek ekstraktif adalah bagian dari penguatan.
“Ada usaha, ada penolakan dan perlawanan terhadap penghancuran ruang hidup atas nama investasi. Saling menguatkan dan berbagi informasi juga cara menghadapinya. Ini bagian dari usaha menjaga alam dan ruang hidup.”
Ragam cerita yang bergulir dari diskusi memperigati HATAM ini, kata Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional adalah bagian terpenting dari upaya penolakan dan perlawanan.
Kasus di Halmahera Timur, misal, menarik karena seluruh elemen masyarakat bersatu menyelamatkan yang tersisa dari serbuan izin tambang nikel.
Dari penuturan para perempuan terlihat, sumber pangan dan air bersih jadi dasar utama penolakan mereka.
“Penguatan pengetahuan bagian terpenting. Apa hak-hak kita sebagai warga dalam urusan tanah, air dan lingkungan. Pengetahuan tentang ini jauh lebih efektif ketika kita mampu menerapkan dalam gerakan atau aksi-aksi selanjutnya di daerah,” kata Melky.
*****
Pemerintah Mau Bagi-bagi Izin Tambang untuk Ormas, Jatam: Itu Ngawur!