- Selama dasawarsa terakhir, beberapa habitat burung air migran di Indonesia kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Padahal keberadaan burung air migran juga penting untuk keseimbangan alam.
- Selain berubah fungsi, beberapa perairan maupun lahan basah yang dijadikan lokasi persinggahan mereka kondisinya kini juga banyak yang tercemar polusi plastik maupun limbah.
- Di Indonesia, studi jangka panjang terkait seberapa berdampak kerusakan habitat terhadap penurunan populasi burung air migran ini masih belum banyak dilakukan.
- Pemerintah telah menetapkan tujuh Situs Ramsar sebagai perlindungan kelestarian dan fungsi lahan dengan total luas 1,37 juta hektare dan bekerjasama dengan berbagai pihak dalam pemantauan ataupun perlindungan burung bermigrasi.
Sebagai salah satu negara yang memiliki bentang alam pesisir pantai yang panjang, setiap tahunnya wilayah Indonesia dijadikan tempat persinggahan burung-burung jenis air migran.
Bukan hanya untuk menghindari cuaca buruk akibat peralihan musim di wilayahnya, burung yang secara ekologis memiliki ketergantungan besar pada lahan basah ini bertandang ke wilayah tropis untuk menyambung kelangsungan hidupnya yaitu mencari makan.
Akan tetapi, selama dasawarsa terakhir beberapa habitat burung air migran di Indonesia kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
Iwan Febrianto, aktivis Burung Pantai Indonesia (BPI) mengungkapkan, selain beralih fungsi untuk pembangunan seperti menjadi areal tambak, pabrik maupun permukiman padat, beberapa perairan maupun lahan basah yang dijadikan lokasi persinggahan burung air migran kondisinya kini ada yang tercemar limbah rumah tangga, pabrik, ataupun tercemari sampah plastik.
Keberadaan sampah plastik, limbah rumah tangga serta limbah pabrik yang mencemari habitat burung air migran itu bisa menghambat pertumbuhan pohon-pohon bakau.
Padahal, mangrove secara ekologis dapat memberikan manfaat bagi sebagian burung air migran ini untuk mencari makan. Berkat tegakan pohon mangrove membuat makanan di lahan basah lebih berlimpah.
“Jalur migrasi burung air ini masih banyak yang belum dilindungi, bahkan habitatnya sudah banyak yang berubah menjadi pusat-pusat aktivitas manusia,” ujar pria yang juga tergabung di Yayasan Ekologi Satwa Alam Liar Indonesia, saat diwawancarai Mongabay awal Mei lalu.
Ia mencontohkan, di Gresik, Jawa Timur misalnya, beberapa lokasi lahan basah yang awalnya menjadi persinggahan burung air migran kini sudah banyak yang beralih menjadi pergudangan.
Baca : Burung Migran yang Pasti Datang ke Tanjung Panjang
Berpindah Tempat
Ketidaknyamanan burung air di habitatnya juga diakui Akhmad David Kurnia Putra, petugas Polisi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang pernah berdinas di Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Halmahera, Maluku Utara.
Pria yang juga menggeluti fotografi burung alam liar ini mengungkapkan, berdasarkan pengamatan yang pernah dilakukan, akibat tingginya aktivitas bongkar muat barang di Pelabuhan Darko sejak tahun 2022 membuat beberapa jenis burung air migran seperti kedidi leher-merah sudah tidak bisa dijumpai lagi.
Padahal, sebelum tahun 2022, burung bernama latin Rufficollis calidris kerapkali muncul di sekitar pelabuhan yang berada di Pulau Halmahera tersebut.
Selain itu, di kawasan hutan mangrove di pesisir Maluku Utara bagian lain yang mulanya dijadikan sebagai persinggahan burung air migran kini sebagian sudah berubah menjadi stadion sepak bola. Sementara, sebelum lapangan yang diklaim menjadi stadion kebanggan bagi Kabupaten Halmahera Tengah itu ada, hutan mangrove dilokasi tersebut merupakan tempat berlabuhnya burung air migran seperti cerek krenyut (Pluvialis fulva), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan burung berkik (Galinago sp).
“Banjir kiriman akibat cuaca yang ekstrem juga turut berkontribusi terhadap kerusakan habitat burung air migran,” kata pria penulis buku Burung-Burung Migran Maluku Utara ini, awal Mei lalu.
Untuk mendokumentasikan burung migran di provinsi berjuluk Moloku Kie Raha ini, David melibatkan anak-anak muda yang tergabung dalam Komunitas Pemerhati Satwa Liar (KPSL) Akejiri dan Halmahera Wildlife Photography (HWP).
Bukan hanya itu, beralihfungsinya habitat menjadi tempat wisata yang tidak ramah bagi satwa juga turut menambah daftar panjang permasalahan yang dihadapi burung-burung pengembara ini.
Baca juga : Foto: Cantiknya Burung Migran
Menyadari berbagai persoalan yang dihadapi burung air migran itu, David mengaku seringkali melakukan kampanye dengan mengajak masyarakat untuk sadar bahwa keberadaan burung air migran juga penting untuk keseimbangan alam.
Kampanye dilakukan baik melalui media sosial juga pertemuan tatap muka. Menurutnya, dengan adanya burung air migran mestinya juga bisa menjadikan tempat yang disinggahi itu menjadi tempat wisata minat khusus, seperti wisata konservasi pengamatan burung (bird watching).
Penurunan Kualitas
Rusaknya habitat burung air migran akibat alihfungsi lahan dan pencemaran ini juga menjadi perhatian Mohammad Irham, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ia menilai, kerusakan habitat bagi burung yang berasal dari dataran Asia Timur ini tidak hanya terjadi di luar kawasan konservasi, bahkan di dalam area konservasi seperti taman nasional maupun yang lebih ketat seperti cagar alam dan suaka margasatwa.
Penurunan kualitas ini disinyalir karena berbagai hal, seperti pemanfaatan lahan yang tidak sesuai peruntukan dan juga faktor pencemaran.
“Selain alih fungsi lahan, plastik juga menjadi permasalahan bagi habitat burung air migran ini ya. Secara logika pasti berpengaruh, hanya seberapa besar pengaruh plastik dalam ketahanan burung ini juga perlu kajian lebih mendalam,” terang pria yang kerapkali terlibat dalam penulisan jurnal ilmiah tentang avifauna di beberapa tempat di Indonesia ini.
Selain itu, ia juga menyayangkan, di Indonesia studi jangka panjang terkait seberapa berdampak kerusakan habitat terhadap penurunan populasi burung air migran ini masih belum banyak dilakukan.
Meski begitu, Irham menilai selama kurun waktu 10 tahun terakhir penelitian maupun pengamatan burung mengalami perkembangan yang cukup baik. Hal ini ditandai dengan semakin berkembangnya sains warga (citizen science) dari berbagai kalangan.
Bahkan, pada setiap pekan kedua di bulan Mei, tepatnya pada tanggal 11 selalu diperingati sebagai Hari Migrasi Burung Sedunia. Tahun 2024 ini, kampanye peningkatan kesadaran untuk konservasi burung migran dan habitatnya yang dimulai sejak tahun 2009 mengambil tema serangga (insects).
“Mudah-mudahan informasi tentang burung semakin banyak,” harapnya.
Baca juga : Burung, Bioindikator Kualitas Ruang Terbuka Hijau Perkotaan di Jakarta
Sebagai upaya perlindungan, pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor P.106 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi telah melindungi 124 jenis burung bermigrasi.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan tujuh Situs Ramsar dengan total luas 1,37 juta hektare dan bekerjasama dengan berbagai pihak dalam pemantauan ataupun perlindungan burung bermigrasi.
Situs Ramsar (Ramsar Site) merupakan kawasan-kawasan yang ditetapkan untuk melindungi kelestarian dan fungsi lahan basah di dunia. Lahan basah sendiri berfungsi sebagai sumber air, pemurni air, pelindung pantai, dan penyimpan karbon terbesar di Bumi.
Lahan basah juga berfungsi untuk pertanian dan perikanan. Situs Ramsar bermula dari Konvensi Lahan Basah pada 2 Februari 1971 di Kota Ramsar, Iran. Karena letaknya di Ramsar, konvensi ini disebut sebagai Konvensi Ramsar. Setiap negara yang meratifikasi Konvensi Ramsar wajib menetapkan minimal satu kawasan lahan basah yang terdapat dalam wilayah negaranya, untuk dimasukkan dalam Daftar Lahan Basah Internasional Penting.
Ketujuh kawasan di Indonesia yang ditetapkan sebagai Situs Ramsar yaitu :
- Taman Nasional (TN) Berbak, Jambi
- TN Sembilang, Sumatera Selatan
- TN Danau Sentarum, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
- TN Wasur di Kabupaten Merauke, Papua Barat
- TN Rawa Aopa Watumoha di Sulawesi Tenggara
- Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Sribu, DKI Jakarta
- TN Tanjung Puting, di Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah
Terobosan Sains, Saat Ilmuwan Bantu Burung Migran Beradaptasi dengan Perubahan Iklim