Israel mendapatkan kecaman dunia atas serangan udara yang menelan banyak korban sipil di Rafah, Jalur Gaza, pada Minggu (26/5) kemarin. Mengapa tindakan-tindakan Israel ini bisa jadi “kiamat” bagi ke-adidaya-an Amerika Serikat (AS)?
“Amerikkkan Idol, one hand on my bible, one hand on my rifle” – Joey Bada$$, “AMERIKKKAN IDOL” (2017)
Sebuah dualitas yang begitu kontras disajikan dalam potongan lirik di lagu penyanyi rap (rapper) asal Amerika Serikat (AS) yang bernama Joey Bada$$. Dalam lagu yang berjudul “AMERIKKKAN IDOL” (2017) itu, Joey menceritakan bagaimana sebagian masyarakat AS masih mengedepankan kepemilikan senjata api dan nilai-nilai moral keagamaan secara bersamaan.
Ketika agama mendorong nilai-nilai perdamaian, kasih sayang pada sesama, dan kekeluargaan, Amerika juga menjadi tempat di mana banyak terjadi kekerasan yang menggunakan senjata api, mengakibatkan korban-korban jiwa yang sebenarnya bisa dihindari.
Kontrasnya nilai ini seakan-akan menjadi wajah dan identitas AS yang selama ini juga menjadi negara “pemimpin dunia” secara de facto. Inipun tampaknya juga tercermin dalam kebijakan luar negeri Paman Sam.
Soal Israel, misalnya, AS dinilai memiliki standar ganda yang diterapkan dalam politik luar negerinya. Meski dikenal dengan nilai-nilai perdamaian dan hak asasi manusia (HAM), di saat yang sama AS juga mendukung upaya perang Israel yang dinilai melanggar hukum humaniter internasional yang menelan banyak korban sipil di Jalur Gaza, Palestina.
Padahal, selama ini, AS selalu menjadi negara terdepan yang mendorong penerapan nilai-nilai demokrasi dan perlindungan HAM di banyak negara. Gelombang demokratisasi-pun akhirnya terjadi di banyak negara pada abad ke-20 dan ke-21.
Salah satunya adalah Arab Spring yang terjadi pada tahun 2010-an. Kala itu, gelombang demokratisasi ini berusaha meruntuhkan kekuasaan-kekuasaan absolut yang berdiri di negara-negara Timur Tengah.
Lantas, bila AS memang benar-benar leader of the free world, mengapa negara Paman Sam itu tampaknya melakukan pembiaran terhadap Israel? Siasat apa yang sebenarnya terjadi di balik tirai kekuasaan Amerika?
Amerika = HAM?
Pada tahun 1998, sebuah perubahan besar terjadi di negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara. Kala itu, gelombang demokratisasi terjadi di negara yang memiliki beragam kelompok dengan kepentingan politik yang berbeda-beda.
Sebelumnya, di era Orde Baru, kekuasaan politik berpusat pada satu orang tertentu. Namun, era Reformasi membuat semua itu berubah, banyak pusat kekuatan baru kemudian muncul di wilayah-wilayah lain di Indonesia, tidak hanya di pemerintah pusat.
Mengacu ke tulisan Songok H. Thornton yang berjudul Lesson of the “Broken Hearts”: the Rise and Fall of Indonesian Reformasi, kehadiran institusi-institusi internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia menjanjikan satu hal dalam paket bantuannya dalam mengatasi krisis moneter kala itu, yakni untuk lepas dari otoritanisme pembangunan.
Akhirnya, liberalisasi ekonomi dilakukan. Liberalisasi ini juga diikuti dengan reformasi di bidang politik dan pemerintahan.
Menariknya, seperti yang dijelaskan oleh John J. Mearsheimer dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail: the Rise and Fall of the Liberal International Order, IMF dan Bank Dunia adalah dua organisasi yang termasuk dalam tatanan dunia yang dibangun oleh AS, yang mana disebut sebagai tatanan dunia liberal.
Tatanan dunia ini mengatur bagaimana tata cara, tata laku, hingga aturan bagi negara-negara untuk saling berinteraksi. Kasarnya, tatanan dunia liberal menjadi semacam norma dan hukum sebagai koridor dalam politik internasional.
Nilai-nilai yang dipromosikan dalam koridor norma ini adalah demokrasi dan perlindungan HAM. Dalam perspektif konstruktivis di Hubungan Internasional (HI), norma ini menjadikan negara-negara dalam satu masyarakat internasional bersama.
Alhasil, seiring berlakunya tatanan ini, negara-negara juga secara tidak langsung akan mengikuti rangkaian norma yang dibangun oleh AS. Inipun termasuk nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Namun, bila tatanan dunia liberal ini ditujukan untuk menjaga perdamaian dalam hubungan antarnegara, sebagai negara yang membangun tatanan itu, mengapa AS kini malah membiarkan sejumlah pelanggaran HAM dilakukan oleh sekutunya sendiri, seperti Israel?
Siasat ‘Pragmatis’ ala Amerika?
Meski AS membangun tatanan dunia liberal, bukan berarti tatanan itu menjadi satu-satunya tatanan yang ada. Dalam kondisi tertentu, tatanan dunia liberal bisa berakhir.
Mengacu ke penjelasan Mearsheimer, tatanan dunia bisa menjadi realis bila keseimbangan kekuatan tidak lagi berpusat pada satu negara (unipolar). Ketika pola kekuatan menjadi bipolar atau multipolar, tatanan dunia menjadi bersifat realis, yang mana hanya akan didasarkan pada upaya pemenuhan kepentingan daripada atas dasar moral atau prinsip.
Mengapa ini bisa terjadi? Ini dikarenakan negara-negara yang membangun tatanan itu perlu berkompetisi dengan negara kuat lainnya di tengah anarki internasional, yakni situasi di mana tidak ada otoritas terkuat yang mengatur hubungan antarnegara.
Seperti yang diketahui, AS kini bisa dibilang tidak lagi menjadi satu-satunya negara adidaya. Di tengah bangkitnya kekuatan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), pergeseran kekuatan mulai terjadi.
AS akhirnya dihadapkan dengan kompetisi dengan negara lainnya, yakni Tiongkok. Apalagi, pertumbuhan ekonomi Tiongkok diprediksi bisa melampaui AS.
Lalu, mengapa persaingan antar-negara adidaya ini berkaitan erat dengan Israel? Jawabannya adalah alasan strategi. AS membutuhkan sekutunya, termasuk Israel, untuk menghalau kekuatan Tiongkok.
Fokus geopolitik memang bukan lagi berpusat di kawasan Timur Tengah, di mana Israel berada. Namun, Israel memiliki kekuatan kunci lainnya yang penting bagi negara Paman Sam.
Kekuatan kunci itu adalah inovasi teknologi. Di abad ke-21, persaingan antar-negara bukan lagi soal keamanan seperti dahulu. Kini, persaingan juga terjadi di bidang lainnya, termasuk teknologi.
Israel sendiri, berkat investasi yang dilakukan AS sejak abad ke-20, menjadi negara dengan perkembangan inovasi teknologi yang pesat. Pusat penelitian dan pengembangan (litbang) milik Intel, misalnya, telah didirikan di Israel sejak tahun 1974.
Israel juga dinilai unggul dalam sejumlah teknologi. Beberapa di antaranya adalah kecerdasan buatan (AI) dan prediksi kuantum, yang mana merupakan dua teknologi yang memiliki keuntungan strategis untuk menghalau Tiongkok.
Pada akhirnya, pembiaran yang dilakukan oleh AS bisa jadi merupakan kebijakan strategis yang diambil Washington. Mungkin, ini menjadi bukti bahwa Amerika yang dahulu menjadi garda terdepan dalam perlindungan HAM sudah menemui “kiamat” dan akhirnya. (A43)