- Para penenun di Kelurahan Sulaa, Baubau, Sulawesi Tenggara, perlahan-lahan mulai kembali ke tradisi awal, menenun dengan pewarna alam. Bahan-bahan pewarna alam ini mereka dapatkan dari sekitar rumah atau pemukiman.
- Praktik penggunaan pewarna alami, sebenarnya dilakukan oleh nenek moyang dulu, hanya saja, tergerus dalam perjalanan waktu terlibas bahan sintetis.
- Di pesisir Kota Baubau, menenun jadi sumber pendapatan para perempuan guna menopang perekonomian rumah tangga nelayan tangkap yang terdampak perubahan iklim.
- Para penenun tua mengalami krisis kader, lantaran animo generasi muda minim untuk meneruskan tradisi menenun ini.
Hampir saban hari hujan turun di Kelurahan Sulaa, Baubau, Sulawesi Tenggara, awal Mei lalu. Mus Idah hanya berdiam di rumah. Sesekali dia menghampiri jendela, mendongak ke langit berharap cuaca cerah.
Pikiran melayang ke galeri tenun berjarak ratusan meter dari rumahnya. Tempat dia menyimpan setok benang tenun pewarna alam buatan tangan yang nyaris habis. Hampir setahun suaminya meninggal dunia, Idah kesulitan karena kehilangan sosok yang bersama-sama merintis usaha tenun dengan pewarna alam.
Berhari-hari matahari tidak bersinar terik membuat Idah enggan bikin bahan pewarna alam. Proses pengeringan benang pewarna alam perlu panas matahari. “Dijemur (secara) tidak langsung di cahaya matahari.”
Lama proses pewarnaan benang sangat bergantung pada cuaca cerah yang stabil.
Idah dapatkan sebagian bahan pewarna alam bersumber dari tumbuhan liar di sekitar pesisir Sulaa. Akar mengkudu menghasilkan warna kekuning-kuningan dan pink.
Daun pepaya yang difiksasi dengan kapur hasilkan warna hijau daun, daun pepaya juga dicampur daun kelor atau daun pandan. Semua bahan itu mudah diperoleh karena tumbuh liar di sekitar pemukiman Sulaa.
Ada juga dari pepohonan. Batang pohon nangka difiksasi dengan tawas menghasilkan warna kuning muda, dengan kapur sirih jadi warna kuning pekat. Kalau difiksasi dengan tanaman tunjung bisa jadi warna kuning kehijauan.
Kayu nangka dia dapatkan kalau ada warga menebang batang nangkanya.
Dia bilang, agak kesulitan dapatkan batang nangka atau pohon saka dan kayu bakau, yang bisa hasilkan varian warna lain.
Proses pembuatan pewarnaan alam cukup rumit. Benang yang akan digunakan dicuci bersih–dikeringkan–lalu celup ke pewarna alam tiga kali untuk mendapatkan kualitas warna dengan daya ketahanan warna awet. Lama
Pembuatan bisa satu pekan.
Idah lahir dan tumbuh besar dengan tradisi menenun di Sulaa. Di usia remaja, dia mewarisi keterampilan menenun dari ibu dan neneknya.
Selama berpuluh tahun, dia hanya menenun benang dengan pewarna buatan pabrik. Pada 2012, dia mengetahui cara membuat pewarna alam melalui pelatihan Cita Tenun Indonesia (CTI) yang diselenggarakan di Kendari. Sejak saat itu, Idah fokus mengembangkan teknik pewarnaan alam, berbahan tumbuhan dan tanaman di lingkungan sekitar rumah.
Dalam satu bulan, Idah hanya membuat dua lembar kain tenun dengan pewarna alam. Selembar kain pewarna alami dia jual Rp1 jutaan.
Di Sulaa, ada sekitar 60 penenun tradisional, mereka masih gunakan benang sintetis, belum pewarna alam. Perajin ini para perempuan dengan usia rata-rata lebih 40 tahun.
Idah mencoba mengajak sebagian dari mereka bersama-sama mengembangkan tenun pewarna alam, namun sempat mendapat penolakan dengan alasan ribet. Kalau pakai kain ekstra (pabrik) yang dari toko langsung bisa tenun.
Dia tak lelah mengajak penenun. Perlahan, beberapa penenun mulai tertarik ajakan Idah. Apalagi, mereka merasakan hasil berlipat dari penjualan tenun pewarna alam.
“Bertambah, sampai sekarang hampir 20 orang [pakai pewarna alam],” cerita Idah.
Mereka yang tergabung bersama Idah memiliki latar belakang ekonomi sama, dari keluarga nelayan. Suami mereka, adalah nelayan tradisional yang hadapi persoalan tangkapan ikan terus menurun dari tahun ke tahun. Cuaca tak menentu jadi salah satu penyebab.
Idah semangat berkreasi. Baginya, teknik pewarna alam merangsang keingintahuan mengembangkan ragam tenun dengan bahan pewarna alam yang pernah berjaya selama berabad-abad di masa lampau.
Meskipun begitu, kelancaran sedia bahan-bahan alami untuk pewarna bergantung cuaca. Anomali cuaca membuat Idah sering termangu di dalam rumah. Bikin pewarna alam, maupun menenun sangat bergantung pada terik matahari.
Jejak pewarna alam
Praktik penggunaan pewarna alami, sebenarnya dilakukan oleh nenek moyang dulu, hanya saja, tergerus dalam perjalanan waktu terlibas bahan sintetis.
Imran Kudus, budayawan lokal Baubau, mengatakan, tidak menemukan deskripsi yang menjelaskan fase berakhirnya penggunaan pewarna alam pada tenun di wilayah eks Kesultanan Buton.
Kudus dan rekannya, Agus Slamet, telah riset selama bertahun-tahun,hasilnya terbit dalam buku berjudul Kerajinan Tradisional Buton; Warisan Negeri yang Menakjubkan.”
Tenun Buton mereka deskripsikan sebagai kerajinan yang diperkirakan tumbuh dan berkembang di Buton sejak era kerajaan dan kesultanan hingga kini.
Ditemukan satu manuskrip surat Gubernur VOC, Pieter Both, yang memberikan gambaran saat kunjungan ke Buton pada 29 Agustus 1613, melihat warga Buton di pelabuhan melakukan transaksi dengan kampua, alat pembayaran sah di Kesultanan Buton masa itu. Both gambarkan kampua seperti ‘lap kecil’.
Kampua berupa tenun kasar dengan bahan terbuat dari benang kapas budidaya penduduk lokal, yang dalam proses pewarnaan benang dengan pewarnaan alam.
Sejak abad 16, kampua dan uang Belanda menjadi alat pembayaran sah di Kesultanan Buton.
Kala itu, Pelabuhan Buton sangat strategis, berperan penting dalam rantai distribusi rempah dari Maluku ke Eropa.
Sementara era revolusi industri di Eropa pada abad 17 ditandai dengan penemuan mesin uap terus berkembang. Termasuk temuan serat buatan manusia berasal dari batubara, air, dan udara yang disebut serat sintetis atau nilon oleh perusahaan DuPont di Amerika pada 1938.
Temuan bahan sintetis menyaingi benang tradisional alami seperti sutra, katun, dan wol – yang akhirnya benang sintetis jadi bagian dari kehidupan modern pada 1949. Produsen dan konsumen global beralih ke bahan sintetis dengan warna-warna baru.
Sintetis merambah jauh ke Timur Indonesia, membuat penenun meninggalkan benang dari serat kapas, beralih pakai ke benang impor dengan harga relatif murah. Benang sintetis diperoleh dari Pulau Jawa dan Singapura.Ssampai tahun 1950-an masih ditemukan perdagangan di kampung-kampung gunakan kampua.
“Itu fakta tertua tentang tenun (di Buton),” kata Kudus.
Menurut dia, kampua merupakan representatif kain tenun benang dan bahan pewarnaan bersumber dari alam, di Pulau Buton.
***
Ade Mardiya, terperangah melihat kain dan sisa setok benang dengan pewarna alam buatan tangan Idah. Dia sumringah, memegang satu satu gulungan aneka benang berwarna tegas yang terasa lembut di kulit. Mardiya adalah pemilik Ade Buton Ethnic, UMKM yang sejak 2018 bergerak di bidang ekonomi kreatif sektor mode.
Dalam berkarya, Mardiya mengembangkan aplikasi berbahan tenun tradisional Buton ke dalam rancangan produknya. Dia selektif dalam memilih jenis benang dan kain tenun yang berkualitas.
Untuk mendapatkan kualitas itu, dia berkolaborasi dengan penenun-penenun lokal, antara lain, dengan penenun di pesisir Sulaa.
Dari sekian produk mode yang gunakan tenun pewarna alam, Mardiya hanya fokus memproduksi aplikasi tenun dengan pewarna alam gelap jadi kampurui, sebutan lokal untuk aksesoris tradisional di kepala terkhusus pria.
Back to local wisdom adalah satu-satunya kalimat asing yang menyadarkan Mardiya untuk melestarikan kekayaan tenun Buton kepada generasi sekarang. Dia contohkan, salah satu frase warisan leluhur yang berbunyi Kabarakatina Tana Wolio atau Keberkahan Tanah Wolio, sebutan lain terhadap wilayah darat Kesultanan Buton, khusus di Kota Baubau sekitar.
Mardiya memaknai frasa itu berupa ada tanah yang harus dijaga kualitas kesuburannya, dengan memastikan memperoleh tampungan air cukup, bebas kontaminasi dan cemaran limbah kimia. Frasa itu mereka tujukan kepada generasi mereka yang rentan terdampak perubahan iklim. “Itu tentang sustainable.”
Dia meyakini, dengan mengembangkan produksi tenun bahan alam akan membuka lapangan kerja baru kepada para perempuan.
Dalam laporan Blah Blah Briefing of the Textile and Apparel Sector oleh c Kinetics menyebutkan, produksi dan penjualan di sektor tekstil dan pakaian jadi hasilkan 2,5 miliar ton emisi gas rumah kaca setiap tahun. Dua sektor itu mewakili 7,25% dari emisi buatan manusia, dan diperkirakan mencapai 9,5% emisi global pada 2030. Sektor tekstil menyentuh setiap aspek kehidupan sehari-hari manusia.
Edia Rahayuningsih, Guru Besar Bidang Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM), mengungkapkan, kalau pewarna alami memiliki prospek global sangat cerah. Pasar pewarna alami global diperkirakan hasilkan pendapatan sekitar Rp70 triliun pada 2024. Pertumbuhan rata-rata per tahun antara 2018–2024 sebesar 11%.
Peningkatan konsumen sadar lingkungan, katanya, menjadi penyebab permintaan tenun pewarna alami naik.
Prospek penggunaan kembali pewarna alami sesuai beberapa semboyan yang sedang bergaung di tingkat global, antara lain, go back to nature, slow fashion, go green, dan lain-lain.
Penggunaan kembali pewarna alami, katanya, jiga sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs).
Indonesia, katanya, pernah jadi penghasil pewarna alami blue indigo terbesar di pasar dunia pada masa VOC awal abad 16 – pertengahan abad 16.
Di Indonesia, katanya, kini, telah teridentifikasi 150 jenis pewarna alami.
Rahayuningsih menyebut, saat ini pemenuhan kebutuhan zat warna untuk industri tekstil di Indonesia sebagian besar masih mengandalkan impor.
”Para produsen tradisional diminta untuk melakukan sejumlah inovasi dalam produksi dan rantai pasok untuk bisa membawa produk pewarna alami menembus pasar global.”
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Baubau juga mengidentifikasi kerajinan tenun di Baubau. “Ini menjadi penopang utama rumah tangga mereka,” kata Ali Hasan, Kepala Disperindag Baubau.
Disperindag Baubau mencatat, ada 800 penenun tersebar di berbagai wilayah Baubau, tergabung dalam 80 kelompok tenun. Di tangan mereka lahir berbagai jenis motif dan corak tenunan tetapi hanya sebagian kecil gunakan pewarna alami.
Hasan tidak menampik kalau pembuat pewarna alami kesulitan mendapatkan sumber pewarna alami. Mereka tengah bekerja dengan Dinas Pertanian untuk membudidayakan tanaman-tanaman bahan pewarna alam guna menjaga ketersediaan bahan baku.
Yahya, Antropolog Universitas Hasanuddin (Unhas), menilai, upaya Pemerintah Baubau menumbuhkan banyak pepohonan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku penenun pewarna alam, ide baik. Ia bisa melindungi masyarakat dari ancaman perubahan iklim.
“Sekurang-kurangnya untuk menyerap karbon, salah satu strategi untuk menurunkan efek rumah kaca”
Yahya bilang, industrialisasi yang membuat masyarakat meninggalkan kearifan lokal. Dia mengimbau, Pemerintah Baubau mendorong kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang memanfaatkan alam di sekitar secara arif, untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Kearifan lokal, katanya, kompatibel dengan masyarakat yang orientasi bukan memaksimalisasi produksi dan keuntungan. Keinginan penenun menggunakan pewarna alam ada kecenderungan mencari sesuatu yang eksotis, dan lebih pada konsep identitas.
Kalau di kemudian hari terjadi sebaliknya, produksi dan keuntungan hanya untuk memenuhi permintaan pasar yang tinggi, katanya, akan merusak alam.
Dia sarankan, pemerintah dan masyarakat yang mau terlibat bersama memenuhi kebutuhan bahan baku pewarna alam jangan sampai menerapkan pola monokultur dengan pakai lahan baru. “Itu [bisa jadi] masalah,” kata Yahya.
***
Penenun di Sulaa, sedikit demi sedikit mulai beralih ke pewarna alam. Meski begitu, Idah bersama penenun lain punya kekhawatiran mengenai keberlanjutan tenunan mereka karena generasi makin tak tertarik neneruskan tradisi ini. Di Sulaa, sekitar 60 penenun aktif, sebagian besar berumur lebih 40 tahun, dua penenun muda 30 tahunan.
“Mudah-mudahan [generasi muda] bisa meneruskan,” harap Idah.
***
*Liputan ini bagian dari fellowship bertajuk ‘Perempuan, bisnis berkelanjutan dan perubahan iklim,’ yang diselenggarakan oleh ASPPUK bekerjasama dengan AJI Indonesia dan Konde.com
Margaretha Mala, Pelestari Tenun Iban dan Tanaman Pewarna Alami