- Proyek strategis nasional (PSN) dalam pengembangan Rempang Ecocity mengancam kehidupan nelayan. Konflik hingga dampak lingkungan masih terus menghantui. Nasib nelayan di Rempang masih meninggalkan ketidakpastian.
- Nelayan Rempang menolak relokasi, khawatir kehilangan mata pencaharian dan rusaknya ekosistem laut. Mereka secara konsisten berjuang, melakukan unjuk rasa menolak penggusuran meski pemerintah bergeming.
- Pembangunan pabrik kaca dan perkotaan baru di Rempang akan menimbulkan berbagai dampak. Intrusi air laut dan abrasi akan menjadi ancaman serius bagi keselamatan pulau dan masyarakat sekitar.
- Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai pemerintah tidak transparan mengenai rencana pembangunan di Rempang Eco City. Relokasi yang tidak direncanakan dengan matang, dapat menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang serius.
-
Arahim baru bangun tidur siang, usai semalaman menjaring ikan di laut. Mata masih berat, setengah terbuka, dia langsung bangkit dan duduk di depan pintu rumah yang menghadap laut lepas.
Dia satu dari sekian banyak keluarga di Rempang yang tidak mau meninggalkan kampung. Sejak kecil dia hidup sebagai nelayan di Rempang, di pulau Pasir Panjang. Pria 52 tahun dengan empat anak ini ingin tetap di sana hingga akhir hayat.
“Pindah itu tak menyelesaikan masalah. Kami ini nelayan, perlu paham laut yang baru. Kami tetap bertahan,” kata Kekek, sapaan akrab Arahim, April lalu.
Konflik di Rempang sudah hampir setahun, meninggalkan ketidakpastian atas nasib mereka. Meskipun ada berbagai upaya, termasuk unjuk rasa menolak penggusuran, pemerintah tampak bergeming.
Januari lalu, pemerintah melanjutkan pengembangan Rempang dengan membangun empat rumah contoh dan selesai awal April. Bagi Arahim dan warga lain, rumah-rumah itu tak menjamin keberlangsungan hidup mereka.
Arahim bilang, rumah-rumah yang dijanjikan pemerintah dengan konsep Kampung Nelayan belum tentu menjamin hasil laut sama seperti saat ini.
Baginya, nelayan bukan hanya tentang tempat tinggal layak, juga keberlanjutan sumber daya laut.
“Biar pun rumah kami bentuk gubuk begini, kami tak mau dipindah. Biarpun kadang ikan tak dapat, kami bisa makan enak dan tidur nyenyak,” ujarnya.
Baca juga: Tunda Pengosongan, Warga Rempang Bertahan Tak Mau Kehilangan Kampung
Diselimuti kecemasan
Penolakan warga hingga muncul konflik di Rempang menimbulkan kecemasan bagi Kekek dan keluarganya. Dia tak bisa menikmati ketenangan, apalagi saat isu pengosongan Rempang akhir September 2023 santer terdengar.
Konflik di Rempang bermula dari rencana investasi Rp381 triliun yang disambut sukacita oleh Pemerintah Kota dan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Untuk memuluskan rencana investasi ini, pemerintah memberikan dukungan berupa pengamanan dan cepatnya proses relokasi penduduk. Pemerintah pun menjadikannya sebagai proyek strategis nasional.
Prosesnya berjalan begitu cepat. Pada 12 Juli 2023, BP Batam meluncurkan rencana pengembangan kawasan Rempang menjadi Rempang Eco-City dan menyerahkannya kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) sebagai perusahaan pengembang.
Bahkan pada 28 September 2023 menjadi batas waktu bagi BP Batam untuk menyelesaikan proses clean and clear di Rempang. Proses yang tergesa-gesa ini membuat warga tidak memiliki pilihan lain selain berjuang.
Ribuan masyarakat Rempang menolak. Mereka khawatir tanah leluhur, yang telah dihuni secara turun temurun, bersama sejarah dan budayanya akan hilang tergerus oleh investasi ini.
Upaya penolakan terus dilakukan masyarakat Rempang. Konflik pecah pada 7 September 2023. Masyarakat berusaha bertahan dengan tangan kosong dan perlengkapan seadanya, berusaha menjaga kampungnya agar tak dimasuki aparat. Akibatnya, bentrokan antar keduanya tak terelakkan. Perlawanan warga dibalas aparat dengan tembakan gas air mata dan peluru karet. Bahkan, tujuh orang warga ditahan sebagai tersangka dalam bentrokan yang terjadi.
Saat itu, Tim Terpadu yang terdiri dari TNI, Polri Satpol PP dan Ditpam BP Batam datang dengan 1.010 personel ke Rempang. Keberadaan mereka di pulau itu tak lain adalah untuk mengawal pemasangan patok dan pengukuran lahan oleh petugas BP Batam di wilayah itu.
Pasca bentrok, suasana semakin tak menentu hingga saat ini. Aparat TNI Polri bersama Tim Terpadu Badan Pengusahaan Batam lalu lalang di depan rumahnya.
Meski tak ada intimidasi, kehadiran aparat membuat masyarakat merasa tak nyaman. Apalagi, suasana hati tengah tak menentu memikirkan nasib kampung nenek moyangnya.
Saking was-was, membubuhkan tanda tangan untuk keperluan bansos pun Arahim tak mau. Takut, itu hanya jebakan agar mereka setuju pindah. Dia tidak ingin satu goresan pena di atas kertas merobohkan rumahnya.
“Siang malam kepikiran terus. Kami ini orang kecil, kami tak bisa berbuat apa-apa. Melaut pun tak tenang waktu itu. Badan memang di tengah laut, tapi pikirin di rumah,” katanya.
Arahim dan warga Rempang tidak menentang investasi masuk asalkan tidak mengusik kehidupan di kampung mereka. Mereka berharap, konflik ini bisa selesai tanpa mengorbankan kehidupan sosial dan ekonomi mereka.
Baca juga: Masyarakat di Rempang, Ada Sebelum Indonesia
Ancaman pabrik kaca bagi nelayan
Tak hanya nelayan di Pulau Rempang yang khawatir dan hidup dalam ketidakpastian, nelayan pulau-pulau yang berdekatan pun alami hal serupa dengan rencana pembangunan proyek Rempang Eco-City ini. Diantaranya nelayan Pulau Mubut, Kecamatan Galang, Kota Batam.
Mereka khawatir, mata pencaharian terganggu di sekitar perairan Sembulang. Selama ini, perairan itu menjadi tumpuan nelayan di beberapa pulau, seperti, Mubut, Karas, Dapur 6, Tanjung Banun, hingga beberapa pulau lain di Rempang dan Galang.
Dorman, nelayan pulau Mubut prihatin sejak isu pengembangan Rempang Eco-City mencuat. Mereka hanya sekali dilibatkan dalam pembahasan analisis dampak lingkungan (amdal) proyek ini, 30 September 2023.
Katanya, usai pembahasan tersebut, hingga kini, tak ada lagi tindak lanjut dari pemerintah. “Tak ada pernah turun, melihat langsung kondisi nelayan. Cari tahu apa dampak yang akan timbul kalau nanti dibangun,” kata Dorman gelisah.
Baca juga: Warga Terus Melawan Pengembangan Rempang Eco-City
Proyek ini, katanya, akan berdampak serius terhadap wilayah pencaharian mereka. Potensi pengerukan pasir dan reklamasi dari pembangunan pelabuhan dapat merusak lingkungan laut yang menjadi sumber rezeki mereka.
“Otomatis dampaknya pasti kepada kondisi laut, karang rusak, ikan hilang, udang juga akan hilang,” kata Dorman, juga anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Sumber Daya Laut Perikanan Wilayah Perairan Pulau Mubut dan sekitarnya.
Terumbu karang di sekitar wilayah mereka, katanya, menjadi tempat pemijahan berbagai biota laut. Rusaknya terumbu karang akan mengancam kelangsungan hidup para nelayan lokal.
“Nelayan di Pulau Mubut menggunakan alat tangkap bubu, jaring, dan lainnya. Hasil tangkapan mereka, seperti udang, rajungan, dan ikan, memasok restoran seafood di Kota Batam,” tambahnya.
Suara nelayan Pulau Mubut semakin keras menentang rencana pembangunan proyek tersebut, karena mereka menyadari bahwa keberlangsungan hidup mereka sangat bergantung pada kelestarian lingkungan laut yang kini terancam.
Pria 43 tahun itu menceritakan, nelayan tradisional Sembulang, Mubut pernah kehilangan mata pencahariannya, yakni hilangnya udang apolo pada 2015 silam. Bahkan hingga saat ini, mereka tak lagi bisa menangkap udang-udang apolo tersebut.
Masalah itu muncul dampak dari aktivitas kegiatan galian tipe C yang berlangsung di Pulau Bintan.
“Aktivitas galian tipe C yang berlangsung pada saat itu yakni penambangan bauksit dan juga pasir di Pulau Bintan,” katanya.
Aktivitas itu menyebabkan perairan yang merupakan lokasi tangkap udang apolo oleh masyarakat pulau-pulau sekitar menjadi rusak. Kerusakan ekosistem itu menyebabkan para nelayan udang apolo sudah tidak lagi bisa mendapatkan hasil tangkapan. Bahkan, udang apolo kini sudah tidak ditemukan.
Menurut Dorman, apa yang dulu pernah terjadi kini menjadi pelajaran bagi mereka untuk terus bertahan dan menolak rencana ini. “Kaji dengan seksama dampak untuk kami nelayan tradisional ini. Bukan hanya akan mematikan yang di darat. Kami yang di Mubut dan Karas ikut mati,” kata dia.
Baca juga: Kriminalisasi Warga Rempang Masih Terjadi
Dampak sosial dan lingkungan
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Even Sembiring mengatakan, pembangunan pabrik kaca dan perkotaan baru di Rempang akan menimbulkan berbagai dampak. Intrusi air laut dan abrasi akan menjadi ancaman serius bagi keselamatan pulau dan masyarakat sekitar.
Selain itu, hadirnya pabrik kaca juga akan mengancam ekosistem laut dan habitat ikan di wilayah sekitar. Mengingat bahan baku pabrik kaca, mengutamakan pasir-pasir terdekat di sekitar Rempang, Galang dan Galang Baru.
“Ekstraksi karang dan pasir laut tidak hanya akan merusak lingkungan, juga memaksa nelayan mencari ikan lebih jauh. Ini meningkatkan biaya operasional mereka,” kata Boy.
Tak hanya itu, relokasi paksa terhadap masyarakat sekitar, dapat meningkatkan kerentanan tanpa benar-benar menyelesaikan masalah. Dia bahkan menggambarkan relokasi paksa sebagai upaya mengusir masyarakat Melayu di Rempang dengan cara tidak manusiawi.
“Harusnya proyek dibatalkan,” katanya.
Kalau pemerintah tetap memaksa, akan menimbulkan ekosida maupun pemusnahan sumber daya dan ekosistem yang diperlukan dalam kehidupan manusia karena akan terjadi eksploitasi lingkungan dan sumber alam secara masif.
“[Kalau dengan proyek] ini semakin memperbesar dampak buruk perubahan iklim terhadap Rempang,” kata Boy.
Pemerintah Tidak Transparan
Rina Mardiana, Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga tergabung di Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menilai pemerintah tidak transparan mengenai rencana pembangunan di Rempang Eco City.
“Kita tidak tahu mana yang akan jadi pelabuhan, mana eco city, dan mana eksplorasi pasir kuarsanya,” kata Rina.
Relokasi yang tidak direncanakan dengan matang, dapat menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang serius. Warga yang sebagian besar adalah nelayan, khawatir bahwa sumber nafkah mereka akan terganggu jika area tangkap mereka terkonsentrasi di satu tempat.
“Mereka berhak kelola ruang nafkah hidup mereka, yang secara tradisional memang di laut hingga saat ini,” katanya.
Menurutnya pemerintah harus memikirkan restorasi nafkah bagi masyarakat yang terdampak. Restorasi nafkah dinilai penting, karena nafkah mereka setelah relokasi minimal sama, atau bahkan harus lebih baik, sebab mereka korban pembangunan.
Tak hanya itu, restorasi ekosistem juga penting dalam perencanaan pembangunan pabrik kaca yang akan merusak lingkungan karena pengambilan pasir dari laut. Dampaknya, bisa mengganggu sumber ekonomi nelayan.
Berdasarkan pengamatannya di lapangan, Rina menilai, sejauh ini komunikasi antara BP Batam dan masyarakat hanya berupa iming-iming janji. Warga menuntut adanya jaminan bahwa mereka tidak akan tercerabut dari akar budaya mereka sebagai masyarakat Melayu yang identik dengan profesi nelayan.
“Kalau tidak ada perencanaan yang matang, ini bisa membunuh masyarakat sendiri,” kata dia. ***
*Muhamad Ishlahuddin mengawali karir jurnalis sejak 2020. Kini menjadi redaktur dan koordinator liputan di Batam Televisi. Islah tertarik menulis isu lingkungan dan hak asasi manusia. Dia menjadi salah satu penerima fellowship pelatihan menulis Into the Climate Stories: Fight for the Future di Batam pada Maret 2024.