- Untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas udara pada musim kemarau di Jakarta, upaya mitigasi bisa dilakukan melalui sejumlah langkah kecil.
- Diantaranya dengan menggunakan transportasi umum, tidak membakar sampah, melakukan uji emisi kendaraan pribadi, memilih berjalan kaki menuju tempat aktivitas dan menggunakan masker saat keluar rumah.
- Hingga kini, polusi udara masih menjadi masalah yang belum terselesaikan di DKI Jakarta. Untuk itu, penanganan di hulu terhadap sumber emisi harus selaras dengan penanganan di hilir.
- Pemerintah DKI Jakarta telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 576 Tahun 2023 tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU). Dalam dokumen itu telah tercantum road map isu penyelesaian masalah udara di Jakarta hingga 2030.
Kualitas udara di kawasan megapolitan Jakarta dan sekitarnya seringkali dalam kondisi yang buruk. Pencemaran udara yang memenuhi langit Jakarta dapat membahayakan kesehatan warganya. Apalagi memasuki musim kemarau ini.
Untuk mengantisipasi memburuknya kondisi udara di Jakarta dimusim kemarau, upaya mitigasi bisa dilakukan melalui sejumlah langkah kecil, misalnya dengan menggunakan transportasi umum, tidak membakar sampah, melakukan uji emisi kendaraan pribadi, memilih berjalan kaki menuju tempat aktivitas dan menggunakan masker saat keluar rumah.
Upaya tersebut penting dilakukan agar produksi emisi yang dapat mencemari langit wilayah berpenduduk sekitar 10,56 juta jiwa ini bisa berkurang dan menghindari terpapar cemaran udara.
Hal itu diungkapkan Dwi Oktavia Handayani, Wakil Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dalam acara bertema “Udara Bersih untuk Jakarta” yang diadakan di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Pandawa Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, beberapa waktu yang lalu.
Menurutnya, pengendalian polusi udara ini mempunyai banyak dimensi. Untuk penanganan di hulu terhadap sumber emisi harus selaras dengan penanganan di hilir.
Masyarakat, lanjutnya, sebetulnya sudah banyak yang mengetahui sumber penyebab pencemaran udara. Meskipun begitu, tidak banyak dari mereka yang mau mengurangi emisinya.
Fakta itu didapati ketika pihaknya melakukan studi persepsi yang melibatkan 400 responden di 10 puskesmas tingkat kecamatan di Jakarta, pada Desember 2023 lalu.
“Artinya, tantangan dari promosi edukasi adalah bagaimana mendorong masyarakat agar terjadi lebih banyak perubahan perilaku secara berkelompok,” ujarnya.
Kegiatan serupa yang menyasar masyarakat rentan di permukiman padat penduduk tersebut juga dilakukan di RPTRA Si Pitung Marunda, Jakarta Utara, merupakan salah satu rangkaian strategi tanggap darurat mengantisipasi potensi penurunan kualitas udara pada musim kemarau.
Baca : Kualitas Udara Jakarta Masih Buruk, Ancam Kesehatan Warga
Integrasi Data
Hingga kini, polusi udara masih menjadi masalah yang belum terselesaikan di provinsi yang mempunyai 44 Kecamatan ini. Akibat paparan polusi tersebut masyarakat menjadi terbiasa dengan ancaman udara yang jauh dari ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, yaitu sebesar 15 mikrogram per meter kubik.
Menyadari akan hal itu, berbagai upaya antisipasi juga dilakukan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, salah satunya dengan membangun integrasi data kualitas udara di Jakarta.
Saat ini, untuk mengetahui kondisi udara tersebut DLH DKI Jakarta memiliki lima stasiun pemantau refrensi tambahan dan 23 sensor udara berbiaya rendah.
Alat-alat pemantauan ini diperlukan agar data yang dimiliki kualifikasinya valid dan berkualitas.
“Dengan adanya data yang lebih banyak, kita dapat lebih presisi dalam mengidentifikasi sumber polusi, mengkomunikasikannya kepada publik, dan membuka akses keterbukaan informasi yang lebih luas,” terang Wakil Kepala DLH DKI Jakarta, Sarjoko.
Dia mengungkapkan, dalam mengatasi persoalan pencemaran udara pihaknya juga telah mengintegrasikan sistem Elang Biru Jaya dan sistem uji emisi kendaraan roda dua dan empat milik KIR Dinas Perhubungan Jakarta.
Sinergi dilakukan untuk mengintervensi emisi langsung dari sumbernya, serta mendorong kepatuhan emisi gas buang kendaraan bermotor agar memenuhi standar. Disamping itu, Pemprov DKI Jakarta juga telah mengembangkan sistem peringatan dini risiko paparan polusi udara, mengkaji skema-skema disinsentif perparkiran.
“Manajemen transportasi juga ditingkatkan, serta mengimplementasikan konsep kawasan rendah emisi terpadu,” imbuhnya
Baca juga : Polusi Udara Jakarta Parah, Desak Pemerintah Serius Atasi Pencemaran
Sedangkan, Asep Kuswanto, Kepala Dinas DLH DKI Jakarta mengatakan, sebagai kesigapan dalam menghadapi penurunan kualitas udara saat memasuki musim kemarau pihaknya sebelumnya juga sudah mengumpulkan berbagai stakholder untuk merumuskan upaya antisipasi.
Langkah ini dijalankan karena isu polusi udara sudah menjadi perhatian yang serius dalam dua tahun belakangan.
Sebagai bentuk komitmen untuk mengatasi persoalan polusi udara, lanjutnya, pemerintah Jakarta telah mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 576 Tahun 2023 tentang Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU). Dalam dokumen itu telah tercantum road map isu penyelesaian masalah udara di Jakarta hingga 2030.
“Prioritas pembangunan di Jakarta lima tahun ke depan, tujuh prioritasnya ada di bidang pembangunan lingkungan hidup,” ungkap Asep merujuk pada naskah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) DKI Jakarta.
Tak Kunjung Membaik
Sementara itu, Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menilai, pencemaran udara yang terus berulang di Jakarta menandakan pemerintah masih belum belajar dari kesalahan sebelumnya.
Meskipun saat ini pemerintah Jakarta sudah membangun integrasi data kualitas udara maupun mempunyai sejumlah alat sensor berbiaya rendah. Namun, data yang menyajikan konsentrasi particulate matter atau PM2.5 itu tidak pernah dipublikasikan.
Selain itu, data terakhir yang menjelaskan terkait lima sumber polusi udara di Jakarta sudah tidak diperbaharui lagi. Adapun data sumber emisi udara yang dimaksud yaitu dari sektor transportasi dengan jumlah 67,04 persen, industri 26,8 persen, pembangkit listrik 5,7 persen, perumahan 0,42 persen, dan komersial 0,02 persen.
“Kalau pemerintah masih gagap menyajikan data terbaru mengenai sumber pencemaran udara artinya pemerintah masih belum melakukan banyak hal,” ujarnya kepada Mongabay, beberapa waktu lalu.
Seharusnya, melalui alat pantau yang dimiliki pemerintah paling tidak bisa memberikan himbauan kepada masyarakat agar bisa mengambil langkah antisipasi.
Dilain sisi, katanya, kebijakan yang benar-benar memberikan efek jera ke pabrik-pabrik yang masih menjadi penyumbang polusi udara juga masih belum ada. Ia menilai, adanya kawasan rendah emisi juga belum banyak memberikan perubahan yang signifikan terhadap kondisi langit Jakarta yang tercemar.
Untuk mengatasi permasalahan itu, Bondan berpendapat sebaiknya pemerintah dengan kekuatannya bisa mendorong atau menginisasi terwujudnya hari bebas kendaraan bermotor di hari aktif kerja, misalnya di hari Jum’at.
Sementara, Satya Budi Utama, Project Manager untuk Clean Air Catalyst dari World Resource Institut (WRI) mengungkapkan, terkait dengan pengembangan kawasan rendah emisi pihaknya akan terus melakukan kajian, juga mendorong terjadinya perubahan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik di Jakarta.
“Pemerintah harus bersinergi dengan berbagai pihak dalam merespon perubahan iklim, salah satunya dengan bersinergi mengantisipasi polusi dari emisi sektor transportasi,” tandasnya. (***)