Para peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN bersama mahasiswa Universitas Tadulako (UNTAD), Palu pada 2020 dan 2021 menemukan dua jenis kepiting muara baru lain dari pesisir barat dan timur Sulawesi Tengah.
Muara sungai merupakan pertemuan antara dua tipe perairan, yaitu, sungai dan laut. Dalam ekosistem ini hidup berbagai jenis fauna akuatik yang memiliki ciri morfologi berbeda dengan kerabatnya yang hidup di sungai dan di laut. Kepiting, adalah salah satu yang umum ditemukan di muara.
Dalam satu komunitas, dapat ditemukan lebih dari sepuluh jenis kepiting. Salah satu jenis yang umum dan mudah dijumpai adalah kepiting biola (fiddler crab) yang memiliki ukuran tubuh relatif kecil (2–3 cm), ukuran capit besar sebelah dan warna tubuh yang mencolok (Gambar 2). Namun, ada jenis lain yang berukuran lebih kecil dan sangat jarang dijumpai, bahkan sering terabaikan oleh kita.
Salah satu kepiting muara berukuran sangat kecil adalah Tmethypocoelis (buddhist crab). Kepiting ini memiliki ciri tubuh berukuran kecil kurang dari 7 mm. Tubuh, berwarna abu-abu atau cokelat, dan memiliki sepasang capit berwarna putih. Kepiting ini sangat sulit terlihat karena tersamarkan dengan habitat tempat hidupnya, kecuali pergerakan capit ke arah atas dan bawah.
Jenis pertama Tmethypocoelis ditemukan di Hong Kong dan dipublikasikan oleh Koelbel pada 1897.
Sedikit sekali peneliti taksonomi di dunia yang meneliti kepiting ini, hingga jumlah jenis yang ditemukan sangat sedikit. Sampai 1995, hanya ada empat jenis Tmethypocoelis di dunia dan tak ada satu pun ditemukan di Indonesia.
Pada 2018, peneliti dari LIPI–sekarang BRIN–dari tim ekspedisi Nusa Manggala berhasil mengoleksi Tmethypocoelis dari Pulau Liki, Papua. Jenis dari Papua ini memiliki morfologi tubuh berbeda dengan empat jenis yang sudah diketahui sebelumnya. Dengan begitu ia ditetapkan menjadi jenis baru dan diberi nama Tmethypocoelis liki yang rilis pada 2022 di jurnal ilmiah Raffles Bulletin of Zoology.
Pada 2020 dan 2021, dua jenis kepiting muara baru lain dikoleksi dari pesisir barat dan timur Sulawesi Tengah oleh peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN dan mahasiswa Universitas Tadulako (UNTAD), Palu.
Tmethypocoelis simplex ditemukan di pesisir barat yaitu di Kecamatan Banawa Tengah, Donggala. Sementara Tmethypocoelis celebensis ditemukan di pesisir timur yaitu di Tuladenggi Sibatang dan Sausu, Parigi Moutong.
Kedua jenis baru kepiting ini memiliki perbedaan bentuk tubuh yang terlihat pada bentuk capit dan alat kelamin jantan. Pemberian nama Tmethypocoelis simplex berdasarkan pada bentuk capit lebih sederhana dari jenis lain, hingga dipilih nama “simplex” yang dalam bahasa latin berarti “sederhana.” Sedangkan Tmethypocoelis celebensis nama jenisnya diabadikan dari nama lama Pulau Sulawesi yaitu “Celebes”. Hasil temuan jenis baru ini dipublikasikan di jurnal ilmiah Zookeys pada 2023.
Sekilas, kepiting berukuran kecil ini nampak seperti anakan dari kepiting lain yang berukuran besar, namun setelah diamati di bawah mikroskop dapat terlihat bahwa bentuk tubuh sangat berbeda dengan anakan kepiting lain. Keunikan lain, bentuk dan ukuran capit kepiting jantan dewasa sangat berbeda dengan betinanya. Kepiting jantan memiliki sepasang capit besar, sedangkan betina sepasang capit sangat kecil.
Hingga kini, belum ada catatan penemuan jenis kepiting ini di lokasi lain karena penyebaran larvanya sangat tergantung pada arah arus laut. Arus laut di Selat Makassar, tidak akan menuju ke Laut Maluku dan sebaliknya. Hal inilah yang menyebabkan Tmethypocoelis simplex di pesisir barat, yang dipengaruhi Selat Makassar, tidak bisa mencapai pesisir timur, yang dipengaruhi Laut Maluku, tempat ditemukannya Tmethypocoelis celebensis, dan sebaliknya.
Selain itu, larva kepiting memiliki banyak keterbatasan dan penghalang untuk bertahan hidup dalam menempuh perjalanan jauh menuju pulau lain. Jadi dapat dikatakan, keduanya menjadi jenis endemik Pulau Sulawesi. Hasil ini menambah panjang daftar jenis flora dan fauna endemik yang ditemukan di Pulau Sulawesi.
Pulau Sulawesi merupakan hasil penggabungan pecahan dari Paparan Sunda, Paparan Sahul, dan pulau-pulau oseanik.
Nugraha dan Hall pada 2020 menyatakan, penyatuan Pulau Sulawesi jadi bentuk saat ini terjadi sekitar dua juta tahun lalu. Lengan selatan (south arm) berasal dari Paparan Sunda dan lengan utara (north arm) awalnya merupakan bagian dari kumpulan pulau oseanik.
Pada akhir penggabungan, terbentuk Sesar Matano yang menjadi “jejak” di antara kedua lengan ini. Kalau digabungkan dengan data lokasi Tmethypocoelis, Tmethypocoelis simplex menempati pesisir lengan selatan, sedangkan Tmethypocoelis celebensis berada di lengan utara. Jadi dapat dikatakan, sejak dua juta tahun lalu, nenek moyang kedua jenis ini pun sudah hidup di daratan yang berbeda.
Manfaat kepiting ini terhadap masyarakat sekitar secara langsung belum diketahui. Berdasarkan pengamatan di lokasi menunjukkan ada burung pantai yang memangsa kepiting Tmethypocoelis. Hal ini menunjukkan, komunitas kepiting memiliki peran penting dalam ekosistem pesisir, yaitu, sebagai sumber pakan bagi fauna lain.
Keberadaan atau ketiadaan kepiting ini dapat digunakan sebagai salah satu indikator kesehatan lingkungan. Hal ini terbukti dalam survei di lokasi, di mana kepiting Tmethypocoelis tidak ditemukan di sekitar tambak ikan, perairan yang keruh, atau wilayah yang dekat dengan pemukiman padat penduduk. Hasil pengamatan ini selaras dengan hasil penelitian Dutrieux pada 1997. Hasil eksperimen Dutrieux menemukan bahwa populasi Tmethypocoelis menurun drastis pada lingkungan yang diberi perlakuan polutan. Kondisi ini, berbeda dengan respon kepiting jenis lain yang dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan.
Untuk itu, kondisi lingkungan terjaga sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlangsungan hidup jenis-jenis fauna akuatik di dalamnya.
Dalam hal konservasi, belum ada perlakuan khusus untuk Tmethypocoelis simplex dan Tmethypocoelis celebensis karena penemuan masih terbilang baru. Berdasarkan lokasi penemuan dan data sebaran sampai saat ini, dapat dikatakan kedua jenis ini tersebar hanya di lokasi terbatas dan tertentu.
Tmethypocoelis simplex hanya di dua muara sungai yang terpisah jarak sekitar 2.2 km satu sama lain. Demikian juga Tmethypocoelis celebensis yang ditemukan di dua muara sungai yang menghadap Teluk Tomini dan terpisah jarak satu sama lain sejauh 82.2 km.
Jadi bisa diasumsikan, kedua jenis ini memiliki preferensi atau persyaratan hidup yang sangat spesifik untuk menempati suatu habitat atau memiliki kemampuan adaptasi yang terbatas terhadap perubahan kondisi lingkungan.
Monitoring populasi yang sudah diketahui dan penelusuran potensi sebaran di lokasi lainnya perlu dilakukan untuk penetapan status konservasi dan status lainnya.
Untuk itu, perlu ada kerjasama antara peneliti, sivitas akademis lokal, masyarakat dan pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian jenis kepiting endemik ini.
*Penulis Dewi Citra Murniati, Dharma Arif Nugroho, dan Conni M. Sidabalok dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
********
Spesies Baru, Kepiting Air Tawar Ini Memiliki Tubuh Tiga Warna