- Perempuan dan pemuda di masyarakat adat Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, berperan penting dalam menjaga hutan dan laut.
- Kehadiran kelompok-kelompok perempuan dan pemuda telah membantu mereka mengorganisir diri dan memberi kesadaran akan pentingnya menjaga hutan dan laut, sebagai sumber bahan baku produk mereka.
- Sejak dibentuknya, Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta (PGM), generasi muda di Malaumkarta secara berkala bertemu, mendiskusikan segala hal terkait dengan pentingnya egek dan menjaga egek tetap lestari, hingga akhirnya, kesadaran anak-anak muda terbangun.
- PGM ikut berjuang dan berkontribusi atas lahirnya Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Malaumkarta.
Perempuan muda itu berdiri menatap lurus ke arah sebuah pulau yang tak begitu jauh dari pantai. Angin pantai yang sejuk mengibas rambutnya. Nelayan-nelayan baru saja kembali dari laut, duduk berleha-leha di sebuah warung kecil di sekitar pantai.
Perempuan itu, Novelia Marina Mobalen (26), sehari-hari menjadi fasilitator pendamping kelompok perempuan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) di Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.
Novelia mendampingi dua kelompok perempuan di kampung itu, Woronai dan Osinana, melalui program Pendanaan Berkelanjutan untuk Penguatan Penghidupan Masyarakat.
“Saya telah mendampingi ibu-ibu di sini sejak 2021, sejak YKAN masuk ke Malaumkarta. Mereka ada usaha macam-macam, bikin noken, keripik, dan sambal ikan,” ungkapnya ketika ditemui Mongabay, awal April 2024 silam.
Kelompok Woronai, yang berarti bercorak-corak atau banyak motif seperti halnya noken, fokus pada produksi noken dan sambal ikan, sedangkan Osinana yang fokus pada keripik pisang, sebagaimana arti Osinana dalam bahasa Moi yang berarti pisang yang sudah digoreng.
Noken yang diproduksi Kelompok Woronai berasal dari serat pohon dengan nama lokal owsis, yang mudah diperoleh di dalam kawasan hutan. Pohonnya ditebang untuk diambil seratnya yang berada dari bagian dalam kulit, lalu dikeringkan. Jika cuaca terik, maka pengeringan bisa hanya sehari saja. Serat yang telah kering dibersihkan sebelum akhirnya dianyam menjadi noken, tas khas Papua.
“Proses produksi mungkin seminggu namun bisa kurang, tergantung waktu luang ibu-ibu, karena ini kan hanya pekerjaan sampingan yang dikerjakan di waktu luang saja. Siang hari mereka harus ke kebun dulu, jadi kerjanya di malam hari.”
Baca : Pesona Pulau Um dan Semangat Konservasi Masyarakat Kampung Malaumkarta

Noken yang dihasilkan memiliki banyak variasi harga sesuai ukuran. Ukuran paling kecil dijual dengan harga Rp50 ribu, seukuran buku. Ukuran yang lebih besar dijual dari harga Rp100 ribu hingga Rp400 ribu, bahkan ada yang lebih mahal lagi. Untuk pemasaran masih mengandalkan YKAN yang biasa dijual ke Jakarta atau dipamerkan di kegiatan-kegiatan.
“Meskipun kelompok, namun untuk keuntungan produk masih bersifat perorangan, belum ada disisihkan ke kelompok. Sementara ini kita sementara pembangunan rumah produksi, kalau sudah selesai berarti yang macam kelompok punya noken, sambal ikan, dan keripik kita bisa bawa taruh di rumah produksi.”
Sementara untuk produk sambal ikan, bahan bakunya adalah ikan bermoncong panjang yang disebut ikan sako. Ikan ini mudah diperoleh sekitar perairan Malaumkarta.
“Kalau malam, biasanya mama-mama di sini, mereka kasih uang ke teman-teman pemuda atau orang yang mencari ikan ini. Mereka kasih uang untuk BBM rokok, kopi, kemudian mereka ke laut. Ikan yang diperoleh langsung diolah jadi sambal.”
Beda dengan produksi noken, pembuatan sambal ikan ini bukanlah berdasar pengetahuan lokal. Mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan ini dari pelatihan yang diselenggarakan YKAN yang mendatangkan mentor dari Universitas Papua, Manokwari, yaitu Yoni Kekaber dan Sara Usman.
Untuk Kelompok Osinana, sementara ini produknya hanya keripik pisang. Berasal dari pisang lokal yang dinamakan doaka. Mereka juga sudah dapat pelatihan dari mentor yang sama, dilatih bikin keripik pisang balado dan pai pisang. Mereka hanya dilatih terkait varian rasa, sementara pengetahuan menggoreng keripik pisang orisinal merupakan pengetahuan lokal setempat.
Menurut Novelia, setiap kelompok beranggotakan masing-masing 20 orang. Awalnya mereka melakukan pertemuan sosialisasi, lalu disepakati bentuk kelompok.
“Setelah pertemuan setiap orang memilih mau berada di kelompok mana, biasanya sesuai dengan minat dan keahlian,” jelas Novelia.
Baca juga : Egek, Kearifal Lokal Suku Moi Mengelola Sumber Daya Alam

Selain kedua kelompok perempuan tadi, ada juga kelompok yang terdiri dari nelayan lelaki bernama Persekutuan Kaum Bapak (PKB) yang fokus untuk pembuatan perahu sampan, namun tidak untuk diperjualbelikan, tapi digunakan nelayan untuk melaut mencari kan atau pariwisata.
Menurut Novelia, kehadiran kelompok-kelompok tersebut telah membantu perempuan dan pemuda mengorganisir diri dan memberi kesadaran akan pentingnya menjaga hutan dan laut, bukan sekedar melindungi alam tetapi juga memberi manfaat ekonomi, karena menjadi sumber bahan baku produk mereka.
“Mereka menjadi lebih berdaya, mandiri dan bertanggung jawab, dan sekaligus bangga menjadi bagian dari masyarakat adat yang menjaga alam,” katanya.
Keterlibatan Generasi Muda dalam Konservasi
Selain kehadiran kelompok perempuan, jauh sebelumnya, di Malaumkarta juga telah terbentuk kelompok bernama Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta (PGM). Lembaga pemuda ini berdiri sejak 2001, yang dibentuk oleh Oktovianus Mobalen dan Torianus Kalami, bertujuan sebagai wadah komunikasi antarwarga dan dengan pemerintah.
PGM memfasilitasi kegiatan masyarakat terkait pengelolaan kawasan, konservasi serta fasilitasi komunikasi dengan pemerintah dengan pihak-pihak lain.
“Dulu kita melihat ada banyak ancaman yang terjadi di wilayah kita ini. Makanya kita harus membuat satu kelompok organisasi yang terbentuk di kampung. Untuk mengorganisir semua aspek yang ada di masyarakat, sebagai wadah aspirasi masyarakat juga,” ujar Jefri Mobalen, Kepala Kampung Malaumkarta sekaligus pembina di PGM.
Baca juga : Masyarakat Kampung Malaumkarta: Dulu Konsumsi dan Buru, Sekarang Sayangi Penyu

Menurut Jefri, sejak dibentuknya lembaga ini, secara berkala, mereka bertemu, mendiskusikan segala hal terkait dengan pentingnya egek dan menjaga egek tetap lestari, hingga akhirnya, kesadaran anak-anak muda terbangun. Egek sendiri merupakan praktik perlindungan kawasan melalui aturan pembatasan.
“Kesadaran itu ditularkan kepada keluarga, tokoh masyarakat dan adat, generasi yang lebih tua, hingga generasi yang lebih muda sampai akhirnya sejak usia lima tahun, anak-anak Malaumkarta mengetahui ada satwa yang tak boleh ditangkap.”
Kesadaran inilah yang kemudian mendorong generasi muda Malaumkarta memastikan egek dipatuhi, di mana generasi secara bergantian berpatroli di pesisir.
PGM ikut berjuang dan berkontribusi atas lahirnya Peraturan Bupati (Perbup) Sorong Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Malaumkarta.
Di perbub ini diatur sembilan jenis biota laut yang dilindungi, tiga jenis biota laut yang di-egek, hingga tiga jenis alat tangkap ikan yang dilarang yakni jaring, bahan peledak, dan racun sianida, potas, serta obat-obatan lain yang mengandung racun. Tertera pula sanksi yang bisa dijatuhkan jika larangan itu dilanggar. (***)