- Hampir lima bulan gajah Rahman mati di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau, tetapi belum ada kejelasan. Direktorat Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Polda yang menangani kasus masih belum menemukan pelaku. Mereka sudah olah tempat kejadian perkara dan pemeriksaan sejumlah saksi maupun ahli.
- Banyak orang mengenal Rahman sebagai gajah unik dan serba bisa. Pembawaan kalem. Beda dengan gajah jantan lain di camp elephants flying squad Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Meski garang dan tipe petarung, ia mudah akrab dengan pengunjung. Sekali dikasih makan, cukup dengan gula merah, misal, ia akan mengingat si pemberi. Orang-orang aman memegang bahkan bergelantungan di gadingnya.
- For Gajah Rahman adalah komunitas pegiat satwa, khusus gajah terbentuk sebagai respon kematian gajah latih yang dikenal tangguh itu. Komunitas ini memulai advokasi dengan membuat petisi di change.org setelah dua minggu kematian gajah Rahman.
- Fitriani Dwi Kurniasari, Koordinator For Gajah Rahman, menilai, kematian Rahman sebagai gajah latih satu peristiwa janggal. Gajah itu berada pada areal terlindungi karena hanya pihak tertentu yang bisa masuk dan berinteraksi dengan gajah di sana.
Rahman, gajah dari Flying Squad di Taman Nasional Tesso Nilo, Pelalawan-Riau dalam kondisi lemah dengan gading sebelah kiri hilang pada 10 Januari pagi. Rahman tak bertahan, mati sore harinya. Dari pemeriksaan gajah latih ini kena racun. Hampir lima bulan gajah Rahman mati di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau, tetapi belum ada kejelasan.
Direktorat Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Polda yang menangani kasus masih belum menemukan pelaku. Mereka sudah olah tempat kejadian perkara dan pemeriksaan sejumlah saksi maupun ahli.
Kompol Nasrudin, Kasubdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Riau, mengatakan, mereka telah mengumpulkan informasi ke masyarakat sekitar kejadian gajah Rahman terbunuh. Diduga gading gajah masih tersimpan di sekitar tempat kejadian perkara (TKP).
Dia mengisyaratkan untuk bersabar. Belajar dari sejumlah kasus serupa sebelumnya, pengungkapan perburuan gading gajah dianggap agak sedikit lama karena penadah gading terdeteksi hanya orang tertentu saja.
“Tetap kita pantau. Masyarakat pemerhati gajah juga banyak berikan informasi. Segera akan kami ungkap pelakunya. Masih terus mendalami,” kata Nasrudin, ketika dihubungi.
Didin Hartoyo, Kepala Seksi Wilayah I Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), mengatakan, Polda Riau masih terus menyelidiki kasus kematian gajah Rahman. Semua upaya merujuk prosedur penegakan hukum sudah dilaksanakan, namun masih minim petunjuk. Meski begitu, proses belum berhenti sampai sekarang.
“Intinya, Polda Riau dan Balai TNTN sudah kerja ekstra mengungkap (kasus) ini. Belum bisa disampaikan detail ke media, masih dalam proses,” katanya.
Fitriani Dwi Kurniasari, Koordinator For Gajah Rahman, menilai, kematian Rahman sebagai gajah latih satu peristiwa janggal. Gajah itu berada pada areal terlindungi karena hanya pihak tertentu yang bisa masuk dan berinteraksi dengan gajah di sana.
Dia dan rekan-rekan peduli satwa terkhusus gajah berharap, kepolisian segera menangkap peracun dan pencuri gading gajah ini. “Supaya (gajah) Rahman mendapat keadilan. Ini sudah terlalu lama. Sudah lebih empat bulan dan belum ada perkembangan signifikan,” tegas Ani, panggilan akrab Fitriani.
For Gajah Rahman adalah komunitas pegiat satwa, khusus gajah terbentuk sebagai respon kematian gajah latih yang dikenal tangguh itu. Komunitas ini memulai advokasi dengan membuat petisi di change.org setelah dua minggu kematian gajah Rahman.
Sampai medio Mei 2024, lebih 11.000 orang lebih beri tandatangan sebagai bentuk dukungan pemerintah dan penegak hukum usut tuntas kematian gajah Rahman.
Komunitas juga beberapa kali menyelenggarakan diskusi publik hingga aksi damai dengan melibatkan berbagai aliansi masyarakat dan mahasiswa. Gerakan mereka menarik simpati aktor Chicco Jerikho.

Pemain film Filosofi Kopi itu sempat bermalam di Camp Elephants Flying Squad TNTN dan menyempatkan diri mampir ke Mapolda Riau, untuk mengetahui perkembangan penanganan kasus pembunuhan gajah Rahman, akhir Maret lalu.
Chicco mengatakan, perburuan ini jadi perhatian banyak orang. Gajah Rahman mestinya terlindungi. “Biasanya gajah liar (dibunuh). Tapi, ini justru gajah jinak yang mestinya aman dengan kawasan terjaga,” ujar Chicco, saat berbincang dengan Kompol Nasrudin.
Dia berharap, kepolisian mengungkap kasus ini dengan mencari pelakunya. Kalau tidak, akan jadi contoh dan cermin buruk bagi perlindungan gajah begitu juga satwa lain.
Nasrudin yang menerima kedatangan Chicco mengatakan, makin termotivasi menuntaskan kejahatan gajah Sumatera ini. Bukan hanya polisi yang kerja keras mengungkap pelaku juga masyarakat peduli. “Ini bukti masih ada yang pantau dan optimis dengan pengungkapan kasus ini.”
Yuliantoni, Direktur Eksekutif Yayasan TNTN tidak setuju kawasan TNTN terjaga dan terlindungi. Pernyataan itu kurang tepat. TNTN adalah bekas izin hak pengusahaan hutan (HPH) Inhutani IV dan Nanjak Makmur hingga banyak akses terbuka di kawasan itu.
Ketika alih status jadi taman nasional, sebagian kawasan sudah dihuni dan jadi perkebunan. Ditambah lagi ada akses jalan keluar masuk di sekeliling TNTN. Bahkan bisa dikatakan, kawasan itu seperti daerah terbuka.
“Kita jelas menyayangkan kematian gajah Rahman dan kematian gajah liar di TNTN. Mungkin terbukanya kawasan ini dapat menjadi faktor pendukung kematian itu,” kata Yuliantoni.
Nasrudin punya dugaan kematian gajah Rahman berkaitan dengan upaya Balai TNTN yang gencar operasi pengamanan hutan dari para perambah. Belakangan ini, perlindungan kawasan hutan itu menimbulkan gesekan dengan sejumlah oknum terutama pelaku di lapangan terbukti TNTN tidak sepenuhnya aman dari ancaman perusakan.
Gajah Rahman ikut berperan dalam operasi ini, seperti membersihkan pohon dan kayu yang tumbang karena perambah.
Belum lagi, katanya, sebagian masyarakat masih menganggap satwa kunci penjaga keseimbangan ekosistem itu sebagai hama. Nasrudin merujuk pada masyarakat yang berkebun sekitar TNTN maupun yang merambah dalam kawasan konservasi itu.
“TNTN makin rusak. Makin banyak kebun, gajah makin mendapat stigma sebagai hama. Konflik gajah akan terus terjadi,” kata Nasrudin dalam bincang singkatnya bersama Chicco.

Pasca gajah mati
Sejak 2019, pawang yang menjaga gajah Rahman Reri dan Jumadi. Pada 9 Januari 2024, pagi, Reri dan Jumadi memindahkan gajah Rahman berdua.
Setelah gajah Rahman mati, Balai TNTN berbenah. Para pawang lebih dapat perhatian, misal, sebanyak 13 pawang kini dibekali tujuh sepeda motor dan satu kendaraan roda empat. Sebelumnya, hanya tersedia satu kendaraan.
Para pawang juga mulai dilibatkan dalam sejumlah kegiatan selain mengurusi gajah latih di camp flying squad. Seperti patroli hutan dari perambahan hingga ada penambahan pendapatan selain gaji pokok merawat gajah jinak.
“Sebelumnya, (mahout) kurang diperhatikan. Hanya murni dari gaji sebagai mahout,” kata seorang sumber Mongabay.
Perbaikan berikutnya, sejak kematian Rahman, gajah jinak lain diikat di camp flying squad pada malam hari. Sebagai tambahan juga berlaku piket malam terutama untuk menjaga gajah jantan sebagai antisipasi perburuan gading.
Didin Hartoyo, Kepala Seksi Wilayah I TNTN, mengatakan, perubahan dan perbaikan di flying squad TNTN merupakan bentuk pengetatan. Selain itu, balai TNTN kini menghentikan publikasi terhadap gajah bergading.
“Jelas lebih waspada. Penjagaan lebih diefektifkan. Prosedur perawatan gajah ditingkatkan lagi,” kata Didin.
Sementara itu, Jumadi dan Reri tetap bertugas sebagai pawang di TNTN tetapi tak lagi mengurusi gajah bersamaan. Setelah gajah Rahman dikuburkan, masing-masing diberi satu gajah latih untuk diurus.
Pasca kejadian itu, komposisi pawang dan gajah yang dipegang berubah tetapi tak ada sanksi terhadap keduanya. Didin bilang, lakukan evaluasi menyeluruh, tidak ada evaluasi khusus Reri dan Jumadi.
Kejadian serupa, katanya, bisa terjadi pada gajah mana saja. “Kalau hanya (evaluasi) mereka berdua tidak fair. Tak ada sanksi atas kelalaian itu. Belum ada pembuktian secara hukum keduanya lalai.”

Mengenang gajah Rahman, penengah konflik sampai tim patroli
Banyak orang mengenal Rahman sebagai gajah unik dan serba bisa. Pembawaan kalem. Beda dengan gajah jantan lain di camp elephants flying squad Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Meski garang dan tipe petarung, ia mudah akrab dengan pengunjung. Sekali dikasih makan, cukup dengan gula merah, misal, ia akan mengingat si pemberi. Orang-orang aman memegang bahkan bergelantungan di gadingnya.
“Rahman gajah jinak yang sering membawa kami ketika ada wisatawan. Ia gajah jinak pertama yang saya lihat ketika camp flying squad masih di kampung,” kata Tengku Marlin, Ketua Perkumpulan Masyarakat Ekowisata (PME) Tesso Nilo.
Awalnya, Camp Elephants Flying Squad Balai TNTN berada di luar kawasan. Baru pada 2007 pindah ke kawasan TNTN atau tempat saat ini berada. Seharusnya, TNTN lebih aman dan terlindungi dari perburuan.
Marlin bilang Rahman gajah pintar. Banyak kenangan dan pengalaman dilalui bersama gajah itu. Satu hari, gajah ini bertarung dengan gajah liar, Rahman pulang ke camp flying squad meminta pertolongan dan kembali membawa rombongan, keesokan paginya.
Marlin mendesak, penegak hukum membongkar kasus kematian gajah Rahman dan menangkap pelakunya. Pegiat ekowisata ini khawatir karena kemungkinan kejadian serupa menimpa gajah jinak lain di TNTN.
Rahman, satu dari 30 gajah dari Koto Panjang, Kampar. Mereka tergusur karena proyek pembangkit listrik tenaga air, kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang pada 1990. Puluhan rombongan gajah itu lalu pindah ke Pusat Latihan Gajah (PLG) Sebanga, Duri, Bengkalis, sebelum lepas liar ke Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil (GSK).
Meski lepas ke alam bebas, Rahman justru kerap kembali ke PLG Sebanga. Sampai akhirnya menetap dan jadi gajah jinak, sekaligus pelatih gajah liar yang baru ditempatkan di sana.
Sekitar 2001, Rahman sempat pindah ke PLG Minas, Kabupaten Siak. Ia juga buat melatih gajah liar di sana. Ketika WWF Riau memulai kerjasama perlindungan gajah dengan BKSDA Riau, sekitar 2004, gajah Rahman pindah ke TNTN. Di sana, tugas Rahman lebih banyak.
Rahman paling andal memitigasi konflik gajah dan manusia. Bila konflik satwa liar ini sudah tak tertangani manusia, Rahman akan turun menggiring gajah liar kembali ke habitat lebih aman. Ia jadi kapten dengan berjalan di barisan depan.
Sudah tak terhitung jumlah penanganan konflik satwa dan manusia dengan melibatkan jasa gajah Rahman. Mainnya tidak sekadar di camp flying squad tetapi menjelajah seluruh kawasan TNTN yang membentang di tiga kabupaten, Pelalawan, Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi.
Selain urusan menghadapi sesama gajah, Rahman juga terlibat dalam patroli pengamanan hutan dan kebakaran di TNTN. Kegiatan itu rutin dua kali dalam satu minggu. Terkadang interaksi ini keluar dari kawasan taman nasional.
Fitriani Dwi Kurniasari, Koordinator For Gajah Rahman, juga punya kesan tersendiri terhadap gajah jantan 46 tahun itu. Rahman kharismatik dan mudah dikenali.
“Mata Rahman itu teduh juga kelihatan paling mengayomi,” kenang perempuan yang akrab disapa Ani ini.
Koordinator Riau Satwa Foundation (RSF) Zulhusni Syukri, memandang kematian Rahman adalah gambaran betapa lemahnya pengelolaan upaya perlindungan gajah Sumatera. Perlindungan satwa, termasyk gajah bukan hanya tanggung jawab negara dan masyarakat. “Perusahaan, harus terlibat penuh karena andil mengurangi kuantitas dan kualitas hutan sebagai habitat gajah.”

*******
Menanti Terungkapnya Kasus Gajah Mati Tanpa Kepala di Aceh Timur