- Kegiatan ekowisata di kawasan Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang berbasis pada intepretasi alam dan melihat orangutan dan satwa liar lainnya di alam, jadi destinasi favorit turis mancanegara.
- Pada tahun 2003, banjir bandang meluluhlantakkan wilayah ini, ratusan rumah dan tempat wisata terdampak. Termasuk pusat rehabilitasi orangutan yang telah berdiri sejak tahun 1973.
- Orangutan yang ada dilepasliarkan ke alam, orangutan dan turunan generasi keduanya sekarang menghuni kawasan hutan di perbatasan TN Gunung Leuser dan Desa Bukit Lawang.
- Saat ini banyak warga Bukit Lawang saat yang hidup dari wisata alam. Jasa pemandu wisata ini menggantungkan pendapatannya kepada turis yang datang.
Pada tanggal 2 November 2003, banjir bandang meluluhlantakkan kawasan wisata Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Banjir bandang akibat meluapnya Sungai Bahorok ini berakibat fatal kepada fasilitas dan infrastruktur di desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Sebuah kawasan konservasi alam dan merupakan tropical forest site heritage UNESCO di Pulau Sumatera.
Banjir banjang meninggalkan kerugian material dan non material. Ratusan rumah, 8 jembatan, puluhan kios, warung dan puluhan wisma wisata hancur diterjang banjir. Dua ratusan lebih jiwa manusia dilaporkan meninggal dunia.
Koalisi LSM menyebut penyebab banjir bandang adalah aktivitas illegal logging di hulu yang menyeret kayu-kayu di sungai, namun ada pula yang menyebut ini karena curah hujan ekstrim. Kejadian ini tercatat sebagai bencana terbesar yang pernah terjadi di Bukit Lawang.
Kondisi ekonomi masyarakat Bukit Lawang saat itu benar-benar berada pada titik nadir. Bahkan, pusat rehabilitasi orangutan yang telah berdiri sejak tahun 1973, -sebuah tempat yang menjadi ikon Bukit Lawang, pun ditutup.
Karena kerusakan fasilitas, para orangutan (Pongo abelii), -salah satu sumber menyebutkan jumlahnya 239 individu, yang sebelumnya menjadi penghuni pusat rehabilitasi terpaksa dilepaskan ke alam atau dipindahkan ke lokasi lain. Meski telah dilepasliarkan, di waktu-waktu tertentu setelahnya, mereka masih mendapat makan di lokasi yang dijadikan feeding site area.
Berjalan dengan waktu, orangutan ini benar-benar telah hidup dan mencari makan secara mandiri di alam. Beberapa orangutan eks pusat rehabilitasi pun dilaporkan telah memiliki keturunan di alam. Dalam dua dekade ini, generasi kedua orangutan ini telah muncul sejak induk mereka dilepaskan ke alam.
Dua puluh tahun setelah banjir bandang melanda Bukit Lawang, kawasan ini sekarang menjadi pusat destinasi sektor pariwisata alam berbasis satwa. Sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19, saat ini warga lokal bertumpu pada jasa ekowisata. Khususnya, jasa pemanduan trekking ke hutan untuk melihat orangutan. Wisata lain seperti river tubing, hotel dan penginapan, warung makan, dan kios cenderamata pun tumbuh menjamur.
Mongabay mewawancarai Ismail, salah seorang pemandu wisata di Bukit Lawang. “Nama yang diberikan oleh orangtua kepada saya hanya satu kata, tidak ada nama tambahan,” jelasnya di akhir April 2024 lalu.
Ismail lahir dan besar di Bukit Lawang, dan telah lebih dari satu dekade hidup menjadi pemandu jasa wisata, kegiatan yang bertumpu untuk melihat satwa liar di alam liarnya.
Sebagai warga lokal, secara otodidak Ismail belajar bahasa Inggris. Dengan kemampuannya ini, dia menjadi salah satu pemandu handal yang ada di Bukit Lawang.
“Trekking ke alam amat digemari turis mancanegara. Mereka datang dari jauh, habiskan waktu dan uang. Tujuannya untuk lihat dan foto orangutan,” sebut Ismail.
Berikut petikan wawancara Mongabay dengan Ismail.
Mongabay: Bisa diceritakan perkembangan wisata alam di Bukit Lawang ini?
Ismail: Jadi ceritanya, sebelum ada wisata alam seperti sekarang ini, dulu di Bukit Lawang itu ada pusat rehabilitasi orangutan. Pada tahun 2003 terjadi bencana longsor dan banjir bandang. Air sungai waktu itu naik sampai 3 meteran. Di beberapa titik dilaporkan tingginya sampai 10-12 meter.
Habis semua ini yang ada di Bukit Lawang, termasuk pusat rehabilitasinya. Shelter orangutan itu sampai hancur [diterjang banjir]. Sejak itu, orangutannya dilepasliarkan kembali ke alam. Sebagian lagi dipindahkan ke pusat rehabilitasi di tempat lain.
Dari yang dilepasliarkan itu, awalnya para orangutan itu masih diberi makan (feeding time), dua kali sehari pagi dan sore. Saat waktunya makan, mereka dipanggil pakai bunyi tokok-tokok kayu. Karena kan saat itu mereka belum bisa benar-benar hidup cari makan sendiri di hutan.
Lama-kelamaan, mereka sudah bisa beradaptasi. Dari yang dilepasliarkan itu itu, sekarang sudah ada yang punya anak, kawin dengan orangutan liar. Kalau saya perhatikan perkembangan mereka di alam bagus.
Orangutan yang re-wild itu, mereka punya pengalaman interaksi dengan manusia. Jadi meski sudah hidup di hutan, mereka sudah terbiasa dan tidak takut kalau jumpa manusia. Kebiasaan ini menurun ke anak-anak mereka, meski mereka ini lahir di alam.
Jadi kelompok orangutan ini sekarang tinggal area di sekitar perbatasan area hutan TN Gunung Leuser yang ada di Bukit Lawang ini. Jumlah mereka sekitar 200-an individu. Kalau orangutan yang benar-benar liar, mereka sulit untuk kita jumpai.
Mongabay: Bisa jelaskan asal turis-turis yang datang ke sini?
Ismail: Kalau turis asing yang paling banyak berasal dari Eropa. Ada dari Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol dan negara lainnya. Dari Australia, Jepang, Amerika, beberapa negara Asia lain juga ada. Non Eropa sekitar 20 persen.
Mereka itu datangnya ada yang rombongan, ada juga yang couple. Kalau turis mancanegara, mereka biasanya sudah booking kamar dan jasa wisata sebelumnya.
Kalau turis domestik, ada juga. Tapi tidak sebanyak turis mancanegara. Kalau turis domestik lebih pilih bermain di sungai, river tubing. Mereka lebih pilih menikmati alam dan pemandangan. Turis domestik biasanya datang di akhir pekan, ada yang dari Medan, Binjai, Aceh, bahkan sampai Jakarta.
Mongabay: Apa yang dicari turis mancanegara itu hingga tertarik berkunjung ke Bukit Lawang?
Ismail: Di sini ada ragam spesies langka yang tidak ada di tempat lain. Tentu, yang paling jadi ikon itu orangutan sumatera. Tapi di sini juga ada yang lain, misalnya kedih (thomas leaf monkey, Presbytis thomasi), monyet endemik Sumatera, primata dan satwa lain juga ada.
Para turis itu, biasanya sudah cari tahu dulu tentang Bukit Lawang dari internet. Jadi mereka punya ekspektasi, dan sudah tahu apa yang mereka mau lakukan di sini.
Mongabay: Apakah ada semacam panduan kepada turis, hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan di sini?
Ismail: Turis-turis asing yang datang biasanya sudah tahu perihal etika alam. Hal standar misalnya jangan buang sampah sembarangan, jangan berisik jika di dalam hutan. Jangan ganggu satwa dan tetap tenang kalau jumpa satwa. Mereka biasanya ikuti instruksi kita sebagai pemandunya.
Umumnya kalau sudah jumpa orangutan, mereka excited. Keluarkan kamera atau HP untuk foto-foto orangutan di alam.
Selain melihat satwa-satwa endemik dan menikmati alam, kita sebagai pemandu juga beri wawasan kepada tamu-tamu kita tentang konservasi alam. Mereka juga kita perkenalkan dengan ragam kuliner lokal, buah-buahan lokal di sini, yang tidak ada di negaranya.
Sudah sekitar 10 tahun saya memandu di sini, tidak pernah ada kejadian [yang aneh-aneh]. Mereka paham bagaimana berkegiatan di alam itu.
Mongabay: Sebagai pemandu turis dalam kegiatan wisata alam ini, apakah Anda pernah dapat pelatihan?
Ismail: Iya, kami dapat pelatihan dari Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Kabupaten Langkat. Ada juga rekan pemandu yang dapat pelatihan di Medan, bahkan ada yang sampai ke Jakarta. Berbagai modul pelatihan yang kita dapat, seperti cara memandu, berinteraksi dengan tamu, sikap sopan, menjaga lingkungan dan kebersihan, dan sebagainya.
Kami juga anggota dari HPI. Jadi kalau sewaktu-waktu diperlukan untuk jasa wisata, kami dilibatkan. Untuk masuk ke hutan di kawasan konservasi TN Gunung Leuser, kami juga selalu ada koordinasi dan laporan ke pihak pengelola TN.
Mongabay: Apa ada pengalaman unik bersama turis yang Anda pernah rasakan?
Ismail: Saya pernah memandu tamu yang sudah berumur. Usianya sekitar 75-80-an tahun. Di awal saya sudah bilang kalau kita ada jalur pendakian bukit yang masuk ke hutan. Mereka bilang tidak apa-apa. Awalnya saya agak sanksi juga [apa mereka kuat].
Tapi semangat mereka itu luar biasa. Pantang menyerah. Saat jalan mendaki bukit, nanjak selangkah demi selangkah.
Saya terbayang, usia 70-an tahun lebih itu, mereka datang jauh-jauh ke sini, untuk lihat alam kita, naik turun gunung. Itu kan luar biasa.
Mongabay: Atraksi utama di sini adalah melihat satwa liar, khususnya orangutan di hutan. Apakah Anda punya pengalaman, saat memandu turis, tapi tidak jumpa dengan satwanya?
Ismail: Iya pernah, satu kali kejadian. Jadi waktu itu kita berangkat dari penginapan pukul 8 pagi, cuaca awalnya cerah, tapi saat tiba di hutan berubah jadi mendung. Insting orangutan itu kan, kalau cuaca berubah mereka pindah tempat, cari tempat perlindungan ke tempat yang lebih aman.
Sekitar satu jam, saya putar-putar cari orangutan, tidak ketemu. Hujan deras sudah mulai turun. Saya tunggu, hampir 2 jam hujan tidak juga reda. Mau tidak mau kita kembali lagi ke penginapan [dengan tangan kosong].
Lalu saya tanya ke tamu saya, Apa kalian masih ada waktu? Mereka bilang pesawatnya besok sore pukul 17.00. Saya bilang kalau kalian mau, besok pagi kita cari lagi orangutannya di hutan. Tidak perlu biaya ekstra. Mereka setuju.
Besoknya kami berangkat lebih pagi, sekitar pukul 07.00. Tidak lama di hutan Alhamdulilah ketemu dengan orangutannya. Tamu saya ambil foto-foto. Mereka senang sekali.
Sekitar pukul 10 pagi, kita sudah bisa kembali ke penginapan. Jadi mereka masih ada waktu untuk balik ke bandara.
Prinsipnya saya usahakan yang terbaik buat mereka. Mereka datang jauh-jauh ke sini, kasihan kalau mereka lalu kecewa [tidak ketemu orangutan di alam]. Terbayang berapa dana yang mereka sudah keluarkan, sampai datang ke sini.
Sampai sekarang beberapa turis yang pernah saya pandu, masih kontak ke saya. WA ke saya, kalau mereka atau teman dan keluarga mereka ada yang mau datang ke Bukit Lawang.
Mongabay: Kapan saat musim turis tertinggi, berapa banyak turis yang datang pada saat itu?
Ismail: Biasanya dari Juni sampai September. Itu musimnya paling banyak turis. Sedikitnya ada 200-an turis per hari. Jarang kurang dari itu. Kalau sudah seperti itu, sekitar 300-an orang pemandu yang ada di Bukit Lawang turun semua, kami temani para turis.
Saya kerja sistem freelance, jadi jika diperlukan saya memandu turis, jika low season seperti Oktober sampai Desember, kami kerja giliran. Bisa seminggu sekali, atau dua minggu sekali kena giliran memandu.
Mongabay: Di saat musim tidak banyak turis, apa yang Anda kerjakan sebagai nafkah keluarga?
Ismail: Saya biasanya kerja di sawah. Olah lahan, sampai siap ditanami padi. Setelah itu kita jaga sawah kita, beri pupuk ke tananam. Kalau orang lain ada juga yang kerja di kebun karet, ada yang kerja di bangunan, atau seperti saya ada juga yang kerja di sawah.
Mongabay: Apa harapan Anda untuk pengembangan wisata alam di Bahorok?
Ismail: Sebagai pelaku jasa wisata, saya minta pemerintah untuk perhatikan jalan yang menuju ke Bukit Lawang.
Jalan dari Medan itu kan sudah banyak yang berlubang. Kadang saya tanya ke tamu saya, bagaimana perjalanannya “A little bit bumpy” kata mereka. Jalannya sebagian rusak.
Padahal Bukit Lawang ini kan salah satu destinasi wisata alam populer turis mancanegara di Sumatera Utara. Kalau jalannya mulus, sekitar 2-3 jam sudah sampai ke Bukit Lawang dari bandara. Tapi sekarang bisa lebih dari waktu itu.
Saya sih inginnya para turis yang datang ke Bukit Lawang ini bisa nyaman. Wisata ini sudah jadi mata pencarian kami, warga di Bukit Lawang.