- Masyarakat adat di Desa Kalawa, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, mendapatkan izin hutan desa untuk mengelola kawasan hutan di lahan gambut. Mereka mengelola hutan dengan tradisi adat yang sudah ada turun menurun.
- Masyarakat adat Dayak di Desa Kalawa ini punya handil. Handil secara harfiah berarti parit atau sungai. Masyarakat Dayak yang tinggal di rawa gambut pakai sistem handil dalam mengelola lahan. Konsepnya, setiap pengelolaan masing-masing orang bukan dibatasi garis atau patok, tetapi sungai atau parit.
- Pemerintah pusat punya sistem agroforestri dalam pengelolaan hutan sosial, sementara masyarakat punya sistem kaleka.
- Mohammad Djauhari, Direktur Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK) mengatakan, kaleka ini bisa dipelajari para pemangku kebijakan dan mahasiswa kehutanan. Kaleka jadi contoh dalam pengelolaan hutan rawa gambut baik tentang sistem maupun keragaman tumbuhan.
Bandi mendayung sampan menyusuri sungai kecil di Desa Kalawa, Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Saat itu, September 2023, kemarau panjang melanda hutan rawa gambut Kalawa.
“Sekarang, setelah ada perhutanan sosial, kami bisa menjaga hutan lindung itu. Hutan lindung memagari ladang kami jadi tidak terbakar,” kata pria 47 tahun Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Kalawa ini.
Dia memperlihatkan ladangnya yang terbakar pada 2015. Tumbuhan kayu putih mulai tumbuh sekitar 3-4 meter.
Meski kemarau panjang, sungai (handil )tetap mengalirkan air hingga bisa dilalui sampan (ces) meski hanya sampai batas hutan desa dan ladang. Pada musim hujan, ces ini bisa masuk ke dalam hutan desa.
Hutan Desa Kalawa adalah hutan lindung. Masyarakat Kalawa mengajukan perhutanan sosial agar dapat mengelola hutan ini. Ketika belum dapat izin perhutanan sosial, katanya, masyarakat tak boleh masuk walau sekadar ambil hasil hutan bukan kayu (HHBK) padahal hutan tempat hidup masyarakat ini. Banyak warga yang ‘dianggap’ melanggar karena memanfaafkan hutan ini. Kebakaran pun sering terjadi.
Pada 2012, masyarakat empat desa di Pulang Pisau mendapatkan izin perhutanan sosial dengan skema hutan desa. Izin ini pertama keluar di Pulang Pisau. Masyarakat pun berupaya menjaga agar tak terbakar sekaligus mengamankan ladang mereka.
Handil jaga hutan
Setelah mendapatkan izin perhutanan sosial, masyarakat membentuk LPHD, organisasi sosial standar dari pusat untuk semua wilayah di perhutanan sosial di Indonesia.
“Di Pulang Pisau, masyarakat sudah punya sistem adat handil sementara perhutanan sosial membuat sistem baru yaitu LPHD. Ini sering jadi konflik di lapangan antara organisasi pemerintah dan adat,” kata Mohammad Djauhari, Direktur Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK). Lembaga ini sudah mendampingi empat hutan desa yaitu Kalawa, Mentaren I, Buntoi, dan Gohong sejak 2014.
Handil secara harfiah berarti parit atau sungai. Masyarakat Dayak yang tinggal di rawa gambut pakai sistem handil dalam mengelola lahan. Konsepnya, setiap pengelolaan masing-masing orang bukan dibatasi garis atau patok, tetapi sungai atau parit.
Awalnya, masyarakat bercocok tanam di kanan kiri handil. Mereka membuat ladang (palawija), kebun karet, dan kebun buah. Handil ini memiliki beberapa fungsi lain selain sebagai batas pengelolaan lahan. Ia menjadi sumber pengairan tradisional di lahan pasang surut di kawasan rawa gambut. Juga akses transportasi dalam mengelola lahan maupun transportasi secara umum.
Djauhari menghitung, terdapat 21 handil dari empat desa yang didampingi KPSHK hingga batas akhir ada di batas hutan lindung dan hutan produksi. Sedangkan ada tujuh handil masuk hutan desa yang masuk hutan lindung. Handil di dalam hutan lindung ini dibiarkan karena terdapat sisa-sisa rumah betang (rumah khas Dayak) zaman nenek moyang yang menunjukkan di sana ada handil.
Handil bukan sekadar batas, tetapi organisasi sosial. Beberapa handil ini dipimpin seorang kepala yang bertugas mengatur para pemilik handil hingga menyelesaikan konflik. Rata-rata konflik bisa selesai secara kekeluargaan.
Apabila, konflik tidak bisa selesai di tingkat kepala handil, akan dibawa ke mantir adat. Bila belum bisa selesai juga dibawa ke lebih atas yaitu damang. Sistem ini sudah mampu menjaga keharmonisan masyarakat dalam mengelola pertanian dan menjaga hutan.
“Sebenarnya, handil milik masyarakat bersama. Tidak ada konflik sebab yang ngatur ketua handil yang bisa membagi rata dan dipercaya masyarakat,” kata Darius, mantir adat.
Di Kalawa, LPHD dan handil bersinergi untuk menghindari konflik. Biasanya, Ketua LPHD diambil dari kepala handil. Atau Ketua LPHD kerap diangkat dari mantan kepala desa hingga punya pengaruh kuat. Sedangkan keanggotaan LPHD merekrut tokoh masyarakat yang berpengaruh.
“Sisi lain, tidak bisa dipungkiri, kadang-kadang mereka semua masih ada hubungan sanak-saudara,” katanya.
Dalam susunan organisasi sosial, sulit menerapkan sistem keanggotaan hanya berdasarkan kemampuan. Unsur kekeluargaan dan nepotisme masih tetap diterima sebagai jalan untuk menyukseskan perhutanan sosial di tingkat tapak.
Sistem handil juga bisa menjadi analisis dalam alih fungsi hutan untuk perluasan lahan. Para pemilik handil tidak serta merta memperluas lahan sesuai kemauan. Warga hanya mengelola handil di kanan kiri sungai selebar tiga km. Kawasan ini merupakan endapan tanah yang subur. Sedangkan area lima km dari tepi sungai jadi kawasan hutan adat komunal. Pengelolaan hutan adat ini diputuskan bersama.
Robert Siburian, dalam makalah berjudul “Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Pengetahuan Ekologi Tradisional” (2018), menyebutkan, konversi jarak ini berasal dari hukum adat Dayak Ngaju yang menuliskan, suatu tradisi yang berlaku turun temurun, di mana pun sejauh apapun tempat orang berladang atau berusaha, biasa tidak jauh dari ukuran bunyi gong. Batas yang ditetapkan dengan suara gong, biasa kurang lebih lima km dari tepi sungai besar,sungai induk sebagaimanan batas kepemilikian yang sah.
Di Desa Kalawa, yang sebagian besar masyarakat Dayak Kahayan juga mengadopsi sistem sama. Mereka tidak membuka hutan yang jauh dari sungai. Proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektar era Presiden Soeharto pada 1995 melanggar tatanan adat ini. Proyek nasional yang ini meruntuhkan konsep pengelolaan adat masyarakat lahan rawa gambut yang turun temurun menjaga hutan.
Proyek gagal, gambut pun rusak yang bisa terlihat di Sungai Sebangau, Kahayan, Kapuas, Kapus Murung, dan Barito. Proyek ini menyisakan lahan gambut gundul dan kanal-kanal besar yang menjebol kubah gambut. Pada musim hujan, rawan banjir, ketika kemarau berisiko terbakar.
“Kami melakukan re-wetting melalui pembangun sekat kanal di handil-handil milik masyarakat,” kata Djauhari.
Untuk menjaga lahan gambut tak terbakar, katanya, perlu menjaga lahan gambut tetap tergenang. Untuk itu, perlu mempertahankan air melalui handil dengan membuat sekat kanal.
“Setiap ada program, selalu ada sosialisasi. Seperti sekarang, saya ikut sosialisasi pembangunan sekat kanal ini. Tadinya kami khawatir, kalau handil dibangun sekat, kami tidak bisa lewat,” kata Bandi.
Setelah tim KPSHK sosialisasi, akhirnya menemukan jalan tengah dengan membuat sekat kanal lebih fleksibel. Ada sekat kanal tinggi hingga masih memungkinkan ces lewat atau sekat kanal yang bisa buka dan tutup sesuai kebutuhan.
Sosialisasi program ini perlu agar masyarakat merasa memiliki. Selain itu, masyarakat pemilik handil pun mendukung bahkan memberi masukan kawasan yang memerlukan sekat kanal. Mereka lebih tahu hingga program tepat sasaran.
Kaleka
Untuk mengelola lahan, masyarakat punya tradisi kaleka. “Kalau dilihat, tanaman karet warga ini bukan seperti perkebunan rapi dengan jarak seragam. Ini sebenarnya kearifan lokal kaleka yang sudah ada secara turun temurun,” kata Djauhari.
Kaleka, katanya, merupakan sistem agroforestri sambil Masyarakat Dayak membuka lahan untuk tanam padi, sayur-sayaran diselingi menanam buah-buahan seperti durian, manggis dan langsat.
Masyarakat membuka hutan untuk menanam padi. Tanah baru buka masih subur hingga tidak perlu pupuk dan pestisida. Kondisi subur ini menjadikan biaya pertanian rendah. Pun pengelolaan secara komunal (satu keluarga) hingga tidak ada ongkos tenaga kerja. Pekerjaan dilakukan oleh keluarga.
Masyarakat menetap di sekitar ladang sampai kesuburan berkurang, lalu berpindah mencari tempat baru. Lahan tumbuh kembali secara alami.
Kemudian sistem gilir balik membawa masyarakat kembali ke tempat asal, sekitar 10-15 tahun kemudian.Saat itu, kawasan sudah menjadi hutan lebat dengan tanaman karet, durian dan tumbuhan kayu-kayuan untuk kebutuhan pembangunan rumah.
“Jenis tumbuhan kayu yang ditanam dan keberagaman tanaman ini yang kita sebut agroforestri kini. Kalau kita melihat ada pohon karet hutan, sebenarnya bukan alami dari hutan tapi ditanam oleh leluhur mereka,” kata Djauhari.
Dia berharap, kaleka ini bisa dipelajari para pemangku kebijakan dan mahasiswa kehutanan. Kaleka jadi contoh dalam pengelolaan hutan rawa gambut baik tentang sistem maupun keragaman tumbuhan.
Kawasan rawa gambut, katanya, memiliki jenis tumbuhan spesifik, tak semua bisa tumbuh. Belajar dari masyarakat adat akan mengajari cara pengelolaan hutan berkelanjutan.
“Sejauh ini, pengelolaan hutan [konvensional] berkiblat pada sistem pengelolaan hutan dari barat yang melihat hutan sebagai hutan produksi kayu. Padahal, ada banyak hal yang bisa “dipanen” dari hutan,” katanya.
*Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center
*****
Perempuan Dayak Orung Da’an, Penjaga Tradisi Hulu Sungai Kapuas