- Para petani di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kehilangan lahan pertanian dan terancam terusir dari rumah mereka karena berkonflik dengan perusahaan perkebunan tebu.
- Fajar Andhika, pendamping warga dari LBH Semarang mengatakan, pada September 2024, HGB perusahaan akan habis. Dia pun mendesak KATR-BPN mengembalikan lahan kepada para petani, sebagaimana seharusnya. Terlebih, sebagian petani terpaksa kehilangan pekerjaan karena tak memiliki akses lahan.
- Pada 27 Mei lalu, perwakilan petani yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun) mendatangi Komnas HAM Jakarta. Para petani meminta Komnas HAM mendesak perusahaan melakukan tak menanam tebu di lahan 7,3 hektar yang mereka kelola turun temurun.
- Sebelum dikuasai PT Laju Perdana Indah, lahan itu dalam kuasa kolonial Belanda. Setelah Belanda kalah perang, warga kemudian memanfaatkan untuk bercocok tanam. Pasca Gerakan 30 September (G30S)/1965, satuan militer dari rumpun sari Kodam Diponegoro, kemudian menguasai lahan itu.
Para petani di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kehilangan lahan pertanian dan terancam terusir dari rumah mereka karena berkonflik dengan perusahaan perkebunan tebu.
“Tinggal rumah ini yang saya punya. Saya pasrah saja. Mau diapain juga saya siap, ” kata Zainuddin, satu dari ratusan warga Desa Pundenrejo.
Pada 27 Mei lalu, Udin, sapaan akrabnya, bersama perwakilan petani yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun) mendatangi Komnas HAM Jakarta. Kedatangan mereka buntut konflik agraria antara petani versus PT Laju Perdana Indah (LPI), atau Pabrik Gula Pakis yang berlangsung puluhan tahun.
Dalam aduannya, para petani meminta Komnas HAM mendesak LPI melakukan tak menanam tebu di lahan 7,3 hektar yang mereka kelola turun temurun. “Ini masih konflik. Jadi, kami juga meminta supaya Komnas HAM mendesak Kementerian ATR/BPN segera mengembalikan lahan kepada kami,” kata Udin.
Riwayat kasus
Sebelum dikuasai LPI, lahan itu dalam kuasa kolonial Belanda. Setelah Belanda kalah perang, warga kemudian memanfaatkan untuk bercocok tanam. Pasca Gerakan 30 September (G30S)/1965, satuan militer dari rumpun sari Kodam Diponegoro, kemudian menguasai lahan itu.
“Para petani diusir. Yang tidak mau menyerahkan dituduh sebagai PKI. Karena takut, warga pun terpaksa menyerahkan, ” kata Fajar Andhika, pendamping warga dari LBH Semarang. Sejak saat itu, para petani tak lagi memiliki akaes terhadap lahan yang menjadi tempat mereka bergantung hidup itu.
Pada 1973, lahan itu berubah status jadi hak guna bangunan (HGB) dengan pemegang kuasa BAPPIPUNDIP, unit usaha di bawah naungan Kodam IV Diponogoro. HGB berlaku hingga 1994 dan diperpanjang sampai 2024.
Konon, oleh tentara, lahan ini akan dipakai untuk permukiman prajurit, sekalipun bangunan itu tak pernah berdiri. Bahkan, pada 1999, BAPPIPUNDIP bangkrut hingga lahan terlantar.
Warga pun memanfaatkan kembali lahan ini. “Karena mereka punya sejarah yang menguasai lahan itu sebelum diusir. Jadi, warga kembali mengklaim lahan,” kata Dhika.
Udin bilang, ada sekitar 140 petani kembali memanfaatkan lahan dengan menanam berbagai tanaman pertanian, seperti singkong sampai padi. Ada juga yang jadikan tempat tinggal, termasuk Udin.
Sayangnya, ketenangan itu tak berlangsung lama. Dua tahun berikutnya, pada 2001, BAPPIPUNDIP ternyata mengalihkan lahan HGB kepada LPI. Pada 2020, perusahaan yang terafiliasi dengan Indofood melalui Indoagri itu pun masuk. Perusahaan mengusir dan merusak tanaman warga.
Beberapa lokasi juga dipasang patok bertuliskan larangan kepada siapapun untuk beraktivitas di lahan itu. Perusahaan juga menanami lahan dengan tebu. Padahal lahan itu HGB, bukan hak guna usaha (HGU).
Dhika bilang, penanaman tebu oleh LPI itu melanggar ketentuan, terutama Pasal 86 Peraturan Menteri ATR/BPN RI No 18/2021 tentang Penggunaan Lahan. “Ini jelas pelanggaran karena tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Dokumen izin yang diberikan HGB, kenyataan perkebunan tebu.”
Juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No.40/1996. Pada Pasal 30 menyatakan, pemegang HGB mempunyai kewajiban untuk, membayar uang pemasukan dengan jumlah dan cara pembayaran ditetapkan dalam keputusan pemberian hak. Juga, menggunakan tanah sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya.
Selama bertahun-tahun, katanya, tanah HGB tidak dipergunakan semestinya oleh LPI. ATR/BPN justru terkesan membiarkan dengan tidak memberikan sanksi atau teguran.
Kembalikan lahan ke masyarakat
Pada September 2024, HGB perusahaan akan habis. Dia pun mendesak KATR-BPN mengembalikan lahan kepada para petani, sebagaimana seharusnya. Terlebih, sebagian petani terpaksa kehilangan pekerjaan karena tak memiliki akses lahan.
Sebagai bentuk protes, puluhan petani menggelar aksi “Laku Melaku,” dari Pundenrejo sampai ke Kantor Pertanahan Kabupaten Pati. Aksi diawali dengan berziarah ke makam Ki Ageng Pekiringan, Mbah Mutamakin, Kajen, Pati.
Selama berjalan kaki, mereka membawa obor sebagai simbol perjuangan mereka selama puluhan tahun mendapatkan hak atas tanah. “Ini sekaligus bentuk kritik kepada penguasa yang seharusnya berpihak kepada petani bukan kepada korporasi, “ kata Dhika.
Semalaman berjalan kaki, warga pun sampai di Kantor ATR/BPN Pati. Kepada Kepala ATR/BPN yang menemuinya, warga menyampaikan sejumlah tuntutan.
- Mencabut HGB PT Pabrik Pakis di lahan nenek moyang petani Pundenrejo yang disalahgunakan.
- Menolak segala bentuk izin baru Pabrik Gula Pakis ( LPI) di atas lahan nenek moyang mereka.
- Menghentikan segala bentuk aktivitas Pabrik Gula Pakis di atas lahan petani.
- Mendorong Kementerian ATR/BPN segera mengembalikan tanah nenek moyang petani Pundenrejo yang dirampas Pabrik Gula Pakis ( LPI).
Atas beberapa tuntutan itu, kata Udin, Kepala ATR/BPN berjanji mengirimkan surat kepada Kementerian ATR/BPN berisi gambaran lahan masih dalam kondisi konflik. “Kami akan terus berjuang untuk mendapatkan lahan kami, “ kata Udin.
Mongabay berupaya meminta penjelasan kepada perusahaan tetapi belum membuahkan hasil. Siswanto, staf bagian komunikasi Pabrik Gula Pakis tak merespons ketika dihubungi. Begitu juga dengan anggota direksi di Indragiri, induk LPI, Fransiskus Welirang. Pesan permintaan wawancara yang Mongabay kirimkan tak kunjung berbalas hingga berita ini terbit.
LPI berdiri sejak 1992. A. Kristanto dalam skripsinya menyebut LPI ini merupakan anak perusahaan Indofood Agri Resources Ltd (IndoAgri), di sektor perkebunan tebu. Perusahaan ini memiliki luas perkebunan tebu hingga 37.000 hektar, sebagaimana laman kearsipan Pemkab Pati.
Perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta ini memiliki dua perkebunan dan pabrik pengolahan tebu, di Desa Meluai Indah, Kecamatan Cempaka, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan. Satu lagi di Tayu, Pati, Jawa Tengah.
Konflik tak kunjung usai, mana keberpihakan negara?
Permasalahan di Pundenrejo menambah daftar panjang konflik agraria sektor perkebunan. Berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sepanjang 2023, tercatat 241 konflik letusan konflik terjadi, naik dari periode sebelumnya sebanyak 212 kasus.
Dari ratusan konflik itu, sektor perkebunan menduduki peringkat pertama dengan 108 konflik seluas 124.545 hektar, korban terdampak 37.553 keluarga. Tren ini mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya. Pada 2022, sektor perkebunan menyumbang letusan konflik agraria 99 kasus.
KPA juga mencatat kasus tindakan represif dan kekerasan dari operasi perkebunan-perkebunan itu mengakibatkan 252 orang (248 laki-laki dan empat perempuan) mengalami krimininalisasi. Kemudian, 52 orang (43 laki-laki dan 9 perempuan) alami penganiayaan, tiga orang meninggal dunia.
“Data sudah cukup mencerminkan bagaimana krisis agraria terus menerus terjadi di industri perkebunan, utamanya bisnis sawit, dan melahirkan korban-korban kekerasan serta hilangnya nyawa masyarakat di daerah konflik agraria,” tulis KPA.
Eko Cahyono, sosiolog juga peneliti Sajogjo Institut sepakat bila penanaman tebu oleh LPI sebagai pelanggaran serius. Yang lebih substansial, katanya, petani kehilangan akses lahan garapan yang jadi sumber mata pencaharian mereka.
“Legalitas izin (HGB) itu yang akhirnya menjadi sandaran bagi otoritas menghalangi rakyat untuk mendapatkan haknya atas tanah,” katanya.
Karena itu, konflik agraria di Pundenrejo ini tidak hanya bisa dilihat sebagai konflik yang melibatkan petani dan pengusaha (korporasi). Ia harus dilihat ketidakberpihakan negara terhadap petani.
Mereka yang menuntut pengembalian lahan itu, katanya, adalah para petani penggarap yang tak memiliki lahan. Keinginan mereka menggarap lahan semata untuk makan, bukan bisnis. Untuk itu, katanya, dalam konteks ke-Indonesiaan, yang terjadi di Pundenrejo bisa menjadi cermin bagaimana keberpihakan negara terhadap kaum lemah.
“Pertanyaannya, jika dimensi keberpihakan, keadilan tidak lagi tercermin dari kebijakan negara, lalu politik agraria seperti apa yang sedang dijalankan pemerintah saat ini? Mereka jelas-jelas hanya butuh untuk makan.”
Selama ini, katanya, kebijakan agraria yang ditempuh pemerintah belum banyak bergeser sejak masa Orde Baru. Alih-alih, justru berwatak borjuasi dan berorientasi menguntungkan korporasi ketimbang memprioritaskan petani. Situasi itu, katanya, jelas bertolakbelakang dengan semangat reforma agraria.
“Jadi, kalau kemudian kita menyebut kapitalisme agraria atau neoliberalisme agraria pada kebijjakan yang dibuat pemerintah ya jangan marah. Karena watak politik agraria yang berlangsung saat ini belum bergeser dari orientasi korporasi atau modal itu.”
Dia bilang, ada dua hal bisa pemerintah lakukan untuk berganti peran dari antagonis menjadi protagonis, yakni dengan menyetop dulu (moratorium) dan audit seluruh dokumen perizinan yang terbit.
Moratorium inidengan tidak menerbitkan izin-izin HGU/HGB baru, katanya, agar persoalan agraria tak makin menumpuk. Selain itu, memberi ruang bagi pemerintah untuk audit guna mendeteksi lahan-lahan bermasalah.
“Nanti kan dicek ulang, mana yang boleh lanjut dan mana yang tidak. Yang selama bertahun-tahun bermasalah, terjadi konflik, tidak perlu diperpanjang,” usul Eko.
Desakan untuk moratorium dan audit ini sejatinya sudah lama, termasuk oleh mereka yang tergabung dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA). Namun, tidak ada niat baik pemerintah menjadikan agenda ini jelas. Padahal, langkah ini sangat penting untuk melihat ulang dampak pemberian HGU/HGB di lapangan.
“Ambil saja contoh di Jawa. Apakah izin yang diberikan terjadi konflik di masyarakat atau tidak? Pemerintah perlu melakukan itu agar mengetahui output izin-izin yang diberikan itu tidak satu warna.”
*****
Hampir Seabad, Mengapa Konflik Agraria di Pakel Tak Ada Penyelesaian?