- Di Hari Lingkungan Hidup, ada kekhawatiran berbagai kalangan, dari masyarakat, termasuk masyarakat adat maupun organisasi masyarakat sipil mengenai lingkungan hidup di Indonesia bakal makin hancur ke depan.
- Kondisi ini terlihat dari banyak proyek-proyek industri ekstraktif yang sudah dan bakal terus dibangun menggunakan lahan skala besar. Begitu juga proyek-proyek mega infrastruktur.
- Syahrul Fitra, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia mengatakan, model pembangunan Indonesia masih penuh dengan solusi ekonomi yang mengandalkan industri skala besar. Kondisi ini, kerap mengesampingkan hak-hak masyarakat di sekitar lokasi industri.
- Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, UU fundamental untuk memastikan hak masyarakat adat seperti UU Masyarakat Hukum Adat justru belum ada titik terang. Pemerintah, tidak memliki keberpihakan terhadap lingkungan hidup yang kuat.
“Restorasi lahan, penggurunan dan ketahanan terhadap kekeringan” jadi tema usungan UNEP pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024. Di Indonesia, kerusakan lingkungan hidup terjadi di darat maupun perairan di mana-mana, tetapi pembangunan dan investasi masih andalkan ekstraksi sumber alam skala besar.
Di Hari Lingkungan Hidup, ada kekhawatiran berbagai kalangan, dari masyarakat, termasuk masyarakat adat maupun organisasi masyarakat sipil mengenai lingkungan hidup di Indonesia bakal makin hancur ke depan. Kondisi ini terlihat dari banyak proyek-proyek industri ekstraktif yang sudah dan bakal terus dibangun menggunakan lahan skala besar. Sawit, berbagai kenis tambang masih terus ekspansi, ditambah lagi, hutan tanaman energi sampai jutaan hektar perkebunan tebu di Papua. Begitu juga proyek-proyek mega infrastruktur.
Yulia Pihang, perempuan keturunan Tobelo Boeng Heleowruru mengkhawatirkan ancaman kehancuran hutan-hutan karena eksploitasi tambang nikel di Halmahera, Maluku Utara.
Dia sesalkan eksploitasi, perampasan, penggundulan hutan luar biasa dan besar-besaran korporasi.
Dalam beberapa dekade, kata Yulia, kehidupan komunitas adat di Pulau Halmahera, O Hongana Manyawa ini terancam.
Satu kasus Hairani, perempuan Tobelo Dalam–O Hongana Manyawa–yang tersingkir dari hutan Tofu, Halmahera Timur. Ia jadi catatan buruk perlindungan negara terhadap masyarakat adat yang hidup nomaden.
Mewakili perempuan adat, Yulia berharap di Hari Lingkungan Hidup ini tidak ada lagi ekspansi dan merusak hutan lebih besar oleh negara bekerja sama dengan korporasi.
Baginya, semua yang industri dapatkan dari hasil merampas ruang hidup O Hongana Manyawa.
Dia juga khawatir kala mendengar pemerintah akan beri izin tambang ormas-ormas keagamaan. Padahal, katanya, seharusnya institusi keagamaan itu malah untuk mendorong menyadarkan orang, pemerintah, dan pihak-pihak terkait untuk menjaga kelestarian alam.
“Kalau ormas-ormas diberikan IUP untuk mengelola izin tambang ini sesuatu yang sangat mustahil, Dimana posisi unsur keagaaman mengktritik kerusakan lingkungan. Kita berharap khotbah-khotbah lingkungan terus digaungkan lewat gereja, mesjid, Vihara lain-lain.
Kita berharap itu, kenapa kita berharap bahwa ormas keagamaan ini tidak harus terlibat dalam pengelolaan ijin tambang karena tadi itu adalah model daripada proses kejahatan kemanusiaan yang cukup berasa besar di Indonesia salah satu.”
Keterlibatan unsur ormas-ormas ini dalam pengelolaan izin-izin tambang, menjadi ancaman ke depan karena mereka akan berhadapan dengan masyarakat.
“Lalu siapa yang akan menyampaikan kita kebenaran ketika pemerintah salah, negara salah, oknum-oknum turut terlibat salah?” tanya perempuan Desa Saolat ini.
Simon Kamsi, Masyarakat Adat Pulau Aru, Maluku, khawatir nasib Aru ke depan. Dia was-was rencana masuk peternakan sapi skala besar di Kepulauan Aru. Dia was-was, kalau usaha budidaya peternakan sapi itu mendapatkan izin, maka masyarakat akan kehilangan lahan dan tak bebas secara pribadi.
“Yang namanya usaha skala besar, khusus soal investor peternakan sapi di Kepulauan Aru akan berdampak, warga akan kehilangan lahan dan tidak akan bebas,” katanya.
Simon pun mengatakan, masyarakat tetap menolak, bukan karena anti investasi tetapi berkaitan dengan masalah lingkungan dan dampak bagi manusia.
Begitu juga pemuda adat Moi, yang was-was hutan dan alam mereka jadi sawit. Fiktor Klafiu, Pemuda Adat Moi Sigin kepada Mongabay mengatakan, hutan adat bagi orang Papua adalah tempat berburu dan meramu.
“Kalau hutan adat kami hilang, mau ke mana lagi kami pergi?” kata
Seharusnya, pemerintah dan negara lebih memperhatikan lingkungan hidup sebagai salah satu hak dasar. Terlebih, sudah banyak daerah jadi area investasi hingga hutan hingga alam rusak. Papua pun, katanya, sebagai benteng terakhir.
Makin buruk?
Kelompok Masyarakat Sipil meyakini kondisi lingkungan hidup ke depan akan makin buruk. Hal ini terlihat dari beberapa kejadian dan regulasi pemerintah yang cenderung makin berpihak pada korporasi dan eksploitasi sumber alam.
Syahrul Fitra, Juru Kampanye Greenpeace Indonesia mengatakan, model pembangunan Indonesia masih penuh dengan solusi ekonomi yang mengandalkan industri skala besar. Kondisi ini, katanya, kerap mengesampingkan hak-hak masyarakat di sekitar lokasi industri.
Di kawasan hutan, misal, terjadi deforestasi yang ‘direstui pemerintah’ lewat perizinan, banyak mengorbankan masyarakat adat/lokal di sekitar. Terbaru, deforestasi besar-besaran hutan alam yang didominasi 80% gambut di konsesi perusahaan HTI, PT Mayawana Persada, di Kalimantan Barat.
“Miris. Bukannya dihadang, malah diberikan izin untuk dibuka,” kata Syahrul lewat sambungan telepon.
Kondisi ini, akan makin parah, mengingat ada kuota deforestasi hingga 7 juta hektar yang termaktub dalam dokumen long-term strategy on low carbon and climate resilience 2050 (LTS-LCCR 2050). Pemerintah, kata Syahrul, seperti memberikan restu karena lakukan pembiaran buka hutan.
Syahrul menyebut, kondisi dunia sedang tidak baik-baik saja. Merujuk rekor kenaikan suhu lebih dari 2° celsius pada Oktober-November, tahun lalu, bencana klimatorologi seperti banjir dan kebakaran karena kekeringan pun eskalasinya, kata Syahrul, makin naik dari tahun ke tahun.
Pemerintah, katanya, cenderung melindungi entitas bisnis ketimbang masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari kurangnya transparansi operasi perusahaan yang mengobrak-abrik lingkungan hidup. Masyarakat dan organisasi masyarakat sipil pun, katanya, tidak bisa melakukan pengawasan komprehensif.
“Sementara yang menderita karena kerusakan lingkungan seperti kebakaran dan banjir adalah masyarakat. Bagaimana cara mengawasinya kalau pemerintah melindungi para pemodal?”
Sesat pemahaman itu pun makin menjadi-jadi lantaran banyak industri ekstratif yang diberi baju proyek strategis nasional. Masyarakat pun tak bisa melawan atau menolak proyek yang masuk ke pekarangan rumah mereka.
Laman resmi Sekretariat Kabinet menyebut, pemerintah berhasil menuntaskan pembangunan 195 PSN senilai Rp1,519 triliun periode 2016-Februari 2024. Juga menargetkan penuntasan pembangunan 41 PSN tahun ini.
“Masyarakat tidak bisa menolak. Kalau menolak, akan berhadapan dengan kekuatan negara yang represif,” kata Syahrul.
Pembungkaman masyarakat ini pun makin diperparah dengan rencana pemberian izin usaha pertambangan (IUP) pada ormas keagamaan. Dengan langkah ini, katanya, elemen Penahan kritik dari masyarakat akan bertambah lewat pemuka agama.
Sebaliknya, pemuka agama pun dinilai Syahrul tak bisa lagi mengkritik kerusakan alam karena sudah menjadi bagian dari pelaku dalam praktik pertambangan.
Syahrul skeptis terhadap praktik pertambangan ormas keagamaan. Pertambangan yang dijalankan perusahaan dengan modal dan sumber daya besar saja masih menghasilkan dampak buruk bagi lingkungan.
“Ini menunjukkan kalau kebijakan kita tidak memandang lingkungan sebagai sesuatu yang harus dijaga.”
Riset internal Greenpeace menunjukkan, masyarakat di daerah kaya sumber alam sebagai masyarakat miskin. Jadi, katanya, masyarakat sekali lagi tetap akan jadi pihak yang dirugikan karena kebijakan ini.
“Pemerataan ekonomi tidak akan terjadi.”
Dia bilang, ada tiga hal dilakukan pemerintah untuk bisa membuat perbedaan progresif dan signifikan. Pertama, tidak boleh lagi ada izin di kawasan hutan alam.
Alih fungsi kawasan hutan untuk kebun sawit, tambang maupun kebun kayu seharusnya sudah cukup. Dengan begitu, katanya, perlu ada peninjauan ulang kebijakan.
“Seperti adanya B30 dan seterusnya yang menjadi motor deforestasi atas nama energi,” kata dia.
Kedua, perlu ada model ekonomi yang tidak lagi berfokus pada industri ekstraktif. Ke depan, harus ada model ekonomi yang berkelanjutan dan berfokus pada pengembangan inovasi.
“Jangan lagi terlena dengan negara kita yang disebut kaya sumber alam. Saat ini, kita justru mulai krisis sumber daya alam karena terus dikeruk,” kata Syahrul.
Kebijakan parah
Salah satu yang mendorong pemerintah ugal-ugalan dalam melakukan praktik merusak lingkungan adalah karena masih ada kebijakan yang memperbolehkan hal itu terjadi. Dalam hal ini, masyarakat sipil memandang Undang-undang Nomor 6/2023 tentang Cipta Kerja sebagai biang keladinya.
UU yang dilahirkan serampangan ini turut menginspirasi proses perumusan pada UU lain. Terkait isu lingkungan, ada revisi UU 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam yang berpotensi mengesampingkan masyarakat adat dan lingkungan.
Uli Artha Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, revisi UU KSDAE bisa membuat negara melakukan praktik asal tunjuk kawasan konservasi. Hal ini tidak ada bedanya dengan azas domein verklaring.
“Pemerintah bisa semena-mena. Sementara kita tahu kecenderungan mereka untuk mengesampingkan masyarakat dan tidak mengakomodir konservasi ala masyarakat.”
UU ini dia sebut melegalkan praktik biodiversity offset dan carbon offset yang selama ini ditolak pegiat lingkungan. Ia jadikan dua hal ini sebagai komoditas dagang berpotensi membuat. Ujung-ujungnya, masyarakat yang selama ini menjaga kawasan dikesampingkan demi permintaan pasar.
Ada juga RUU Energi Baru dan Terbarukan yang masih digodok. Undang-undang ini disebut Uli penuh dengan solusi palsu seperti bofuel, wood pellet dan biomasa.
“UU ini pun akan diketok (disahkan) di masa transisi pemerintahan dengan ruang partisipasi yang tertutup,” kata Uli.
UU fundamental untuk memastikan hak masyarakat adat seperti UU Masyarakat Hukum Adat justru belum ada titik terang. Pemerintah, katanya, tidak memliki keberpihakan terhadap lingkungan hidup yang kuat.
Untuk itu, tak heran jika Walhi masih memproyeksikan kerusakan lingkungan masif di masa mendatang. Apalagi, tongkat pemerintahan akan beralih pada presiden dan wakil presiden– mengedepankan kelanutan pemerintahan lalu.
Walhi pun khusus menilai berbagai regulasi yang serampangan disiapkan oleh pemerintah bertujuan membungkam suara kritis rakyat. Represi terhadap People Water Forum di Bali tanpa ada tindakan dari aparat menjadi awal dari tindakan serupa di masa depan.
Karena itu, perlu konsolidasi masyarakat tingkat tapak dan kelompok masyarakat sipil untuk mengantisipasi alarm tanda bahaya yang akan segera berdering. “Kita harus mulai konsolidasikan perlawanan rakyat,” ucap Uli.
******