- Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 pada akhir Mei lalu yang memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat yang ditentang aktivis lingkungan.
- WALHI Sulsel meminta kepada seluruh organisasi masyarakat keagamaan untuk tidak ikut dalam bisnis pertambangan. Pasalnya, ormas keagamaan hadir di tengah masyarakat bukan untuk berkonflik dan menambah kerusakan lingkungan.
- JPIK Sulsel menilai usaha pertambangan seringkali memicu konflik dan memiskinkan masyarakat di wilayah tambang, baik karena konsesinya yang mengaveling tanah masyarakat maupun efek domino dari penurunan kualitas lingkungan hidup di sekitar wilayah pertambangan.
- org menilai keterlibatan NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dalam mengelola tambang akan berdampak buruk, bukan saja bagi NU namun juga bagi masyarakat secara umum.
Upaya pemerintah memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan menuai kritik dari sejumlah organisasi lingkungan. Aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sulsel dan 350.org menilai kebijakan ini kurang tepat dan meminta ormas untuk menolak kebijakan tersebut.
Seperti banyak diberitakan, Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia berjanji akan segera memberikan IUP kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Pemberian izin ini dilakukan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.25/2024 pada akhir Mei lalu.
Regulasi ini merupakan revisi atas PP No.96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam regulasi terbaru itu, salah satunya, mengatur tentang pemberian wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada ormas keagamaan. Dengan regulasi itu, ormas keagamaan memungkinkan untuk ikut serta mengelola tambang batu bara.
Menyikapi kebijakan ini, WALHI Sulsel meminta kepada seluruh organisasi masyarakat keagamaan untuk tidak ikut dalam bisnis pertambangan. Pasalnya, ormas keagamaan hadir di tengah masyarakat bukan untuk berkonflik dan menambah kerusakan lingkungan.
Menurut Direktur WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin, tawaran pemerintah agar ormas keagamaan dapat mengajukan IUP dan menjalankan bisnis pertambangan, seperti upaya adu domba antara ormas keagamaan dengan organisasi lingkungan yang selama ini menyerukan perlindungan dan pemulihan lingkungan.
“Saya berharap sekali supaya ormas Islam, Kristen, Budha, Hindu dan agama-agama lainnya menolak tawaran pemerintah untuk mengajukan IUP dan berbisnis tambang. Ditambah lagi langkah ini seperti upaya pemerintah untuk membenturkan antara masyarakat korban tambang dengan ormas keagamaan,” katanya kepada Mongabay, Senin (03/6/2024).
Baca : Selamatkan Nahdatul Ulama dari Pusaran Energi Kotor Batubara
Dikatakan Amin bahwa saat ini beragam usaha yang dikelola ormas selama ini sudah sangat sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Di mana ormas keagamaan menjalankan usaha atau bisnis yang sesuai dengan visi misi ormas sebagai pengayom masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan usaha bidang jasa lainnya. Sehingga, keikutsertaan ormas keagamaan dalam bisnis tambang justru jauh dari spirit dan visi misi ormas keagamaan.
“Saya mewakili warga yang terdampak tambang, maupun warga yang akan terdampak tambang, memohon dengan sangat agar ketua-ketua ormas untuk tidak berbisnis tambang dan tetap menjalankan amal usaha seperti saat ini.”
Menurut Amin, tambang juga kerap mengorbankan petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan selalu melibatkan perusahaan. Sehingga, ketika ormas keagamaan juga ikut berbisnis tambang, maka konflik bisa jadi akan terjadi antara masyarakat dengan ormas.
“Hal itulah yang saya maksud bahwa pemerintah ingin membenturkan antara masyarakat, organisasi lingkungan dengan ormas keagamaan. Jadi, agar tidak terjadi hal yang kami khawatirkan, kami harap ormas tidak berbisnis tambang dan bisnis ekstraktif lainnya.”
Amin selanjutnya meminta ketua PP Muhammadiyah, PBNU dan ormas lainnya untuk mengeluarkan pernyataan untuk menolak rencana pemerintah tersebut.
“Demi keselamatan rakyat saat ini dan generasi yang akan datang, serta untuk kelestarian lingkungan, saya mohon agar NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas keagamaan lainnya menolak pemberian konsesi tambang dan tidak berbisnis di sektor ekstraktif.”
Baca juga :Nasib Orang Rimba di Tengah Himpitan Perkebunan Sawit dan Tambang Batubara
Krisis Iklim
Menurut Riski Saputra, aktivis JPIK Sulsel, ada sejumlah hal penting yang harus dijadikan pertimbangan mengapa tawaran ini perlu ditolak oleh ormas keagamaan.
“Krisis iklim yang terjadi saat ini semakin nyata terasa ditandai dengan meningkatnya kejadian bencana ekologis. Salah satu sumbernya adalah penggunaan batubara. Dalam hal ini, proses pembongkaran hutan, penambangan, dan pemanfaatan batubara melalui pembakaran melepaskan emisi gas rumah kaca yang besar,” jelasnya.
Panel antarpemerintah untuk perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (IPCC) mencatat bahwa batubara adalah bahan bakar fosil, dan merupakan bahan bakar paling kotor, dan bertanggung jawab atas peningkatan 0,3 derajat celsius dari kenaikan suhu rata-rata global sebesar satu derajat Celsius.
“Hal ini menjadikan batubara sebagai sumber kenaikan suhu global terbesar. Sehingga, dalam rangka memulihkan bumi, ormas keagamaan justru harus menolak menjadi pihak yang berkontribusi bagi krisis iklim yang dampaknya melintas ruang dan waktu.”
Pertambangan juga dinilai seringkali memicu konflik dan memiskinkan masyarakat di wilayah tambang, baik karena konsesinya yang mengaveling tanah masyarakat maupun efek domino dari penurunan kualitas lingkungan hidup di sekitar wilayah pertambangan.
“Memberikan izin pertambangan kepada ormas dapat memicu konflik antara warga negara, apalagi bila wilayah yang nantinya diberikan kepada badan usaha milik ormas adalah tempat tinggal dan ruang hidup masyarakat adat dan masyarakat lokal.”
Menurut Riski, jika memperhatikan peraturan ini, alasan pemerintah memberikan tawaran prioritas ini adalah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun akan lebih baik bila peningkatan kesejahteraan itu ditawarkan bukan di sektor bisnis ekstraktif.
“Apalagi bila menyadari hulu hilir pertambangan batubara yang rentan konflik, pelanggaran HAM, dan merusak lingkungan. Saya percaya, setiap ormas keagamaan memegang nilai-nilai kemanusiaan dan keberpihakan pada lingkungan hidup yang sehat dan baik.”
Riski juga menilai akan lebih bijak bila wilayah eks perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dipulihkan bila telah rusak dan dipertahankan fungsi sosial-ekologisnya, bila belum ditambang. Bukan malah menarik ormas keagamaan untuk terlibat bisnis ekstraktif.
Baca juga : Kala Tambang Batubara ‘Kuasai’ Sumsel: Lingkungan Rusak, Hidup Warga Makin Susah
Tolak Tawaran Tambang
Indonesia Team Lead Interim 350.org Firdaus Cahyadi mengatakan publik berharap PBNU berani menolak tawaran pemerintah untuk mengelola tambang batubara.
“Keterlibatan NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dalam mengelola tambang akan berdampak buruk, bukan saja bagi NU namun juga bagi masyarakat secara umum,” katanya.
Menurut Firdaus, pemerintah seperti hendak menjerumuskan NU masuk dalam lingkaran industri kotor yang merusak lingkungan hidup.
“Pembakaran batubara berdampak pada meningkatnya emisi gas rumah kaca, penyebab krisis iklim, yang telah menyebabkan berbagai bencana di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.”
Bukan hanya itu, lanjut Firdaus, tambang batubara juga menyebabkan persoalan lingkungan hidup dan sosial bagi masyarakat sekitar.
“Tambang batubara memiliki karakteristik yang merusak karena membuka lahan dan mengubah bentang alam secara luas. Karakteristik yang merusak itu tentu saja akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti penurunan kesuburan tanah, kualitas air, kualitas udara, terjadinya ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan pencemaran lingkungan lainnya di sekitar area tambang.”
PBNU sendiri menilai kebijakan ini sebagai langkah berani Presiden Joko Widodo untuk memperluas pemanfaatan sumber daya alam bagi kemaslahatan rakyat.
Menurut Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), pemberian izin tambang untuk ormas keagamaan dari pemerintah merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya agar tujuan mulia dari kebijakan itu sungguh-sungguh tercapai.
“Nahdlatul Ulama telah siap dengan sumber-sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasi yang lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut,” ujar Gus Yahya, Senin (3/5/2024), di Jakarta, sebagaimana dikutip dari media nu.or.id.
Sedangkan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah menegaskan tidak mau tergesa-gesa dalam menyikapi kebijakan tersebut. Sebab, persoalan izin usaha tambang adalah sesuatu yang baru bagi ormas keagamaan ini.
“Karena ini persoalan yang krusial dan persoalan yang baru bagi Muhammadiyah. Tentu Muhammadiyah tidak ingin tergesa gesa dalam konteks ini,” kata Ketua PP Muhammadiyah Saad Ibrahim, Selasa (4/6/2024) seperti dikutip dari Kompas.com.
Ibrahim memastikan bahwa PP Muhammadiyah tidak akan asal menerima tawaran pemerintah untuk mengelola usaha pertambangan. (***)
Transisi Energi, Perlu Perhatikan Masyarakat Sekitar Tambang Batubara